Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan lima faktor, yaitu: a) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal atau konsonan) diucapkan dengan tepat?; b) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta rekaman suku kata memuaskan?; c) Apakah ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internall memahami bahasa yang digunakan?; d) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?; e) Sejauh manakah “kewajaran” dan “kelancaran” ataupun “kenative-speaker-an” yang tecermin bila sesorang berbicara?
Tes Kompetensi Berbicara
Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosakata yang bersangkutan.[2][2] Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahai bahasa lawan bicara.
Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para penutur asli. Penutur yang demikian mungkin bahkan tidak menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak “mengerti” sistem bahasanya sendiri. Kenyataan itu sekali lagi membuktikan bahwa peguasaan bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan berbicara seharusnyalah mendapat perhatian yang cukup dalam pembelajaran bahasa dan tes kemampuan berbahasa.
Dalam situasi yang normal, orang melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin menemukan sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu yang didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang demikian, kejelasan penuturan tidak semata-mata ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal) yang dipergunakan saja, melainkan amanat dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik seperti gerak-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam komunitas tertulis. Situasi pembicaraan (serius, santai, wajar, tertekan) dalam banyak hal juga akan memengaruhi keadaan dan kelancaran pembicaraan.
Hal lain yang mempengaruhi keadaan pembicaraan adalah masalah apa yang menjadi topik pembicaraan dan lawan bicara. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya harus diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik dalam suatu bahasa (Oller: 1979:305).[3][3] Atau paling tidak, tes berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang menghadirkan kedua faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang memertimbangkan faktor-faktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati situasi yang normal, boleh dikatakan telah memenuhi harapan tes pragmatik dan bermakna sebagaimana tuntutan tes otentik.