Mohon tunggu...
Boeng Tan
Boeng Tan Mohon Tunggu... Buruh - Philosophy Activist

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradigma Kesadaran: Sebuah Eksplorasi Filsafat

11 Oktober 2024   03:14 Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:40 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.dictio.id

Paradigma, etimologi ini berasal dari bahasa Yunani "paradeigma" dari frasa "para" yang artinya di sebelah, dan "deigma" artinya memperlihatkan "contoh" atau "model." Secara terminologi, istilah ini merujuk pada pola atau kerangka berpikir yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan sesuatu. Dalam konteks ilmiah, paradigma mencakup teori, metode, dan asumsi dasar yang membentuk cara suatu disiplin ilmu beroperasi.

Thomas Kuhn, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, menjelaskan bahwa paradigma adalah cara berpikir dan beroperasi dalam suatu disiplin ilmu, yang membentuk cara para ilmuwan melihat dan memahami dunia.

Paradigma dapat berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan baru, yang sering kali disebut sebagai "pergeseran paradigma."

Kesadaran (consciousness) merujuk pada pengalaman subyektif seseorang terhadap dunia dan dirinya sendiri. Ini adalah aspek fundamental dari pikiran manusia yang telah menjadi pusat dari banyak perdebatan filosofis. Pemahaman tentang kesadaran sangat bervariasi tergantung pada aliran filsafat yang mendekatinya, tetapi beberapa tema utama dapat ditemukan di hampir semua diskusi tentang kesadaran.

Dalam epistemologi paradigma, kesadaran adalah salah satu tema yang luas dan kompleks, sering kali berkaitan dengan isu-isu tentang pikiran, identitas, dan realitas. Sehingga tidak mengherankan jika topik tentang kesadaran menjadi sangat penting dan sering dibahas oleh berbagai filsuf dan/atau ilmuwan dengan pendekatan yang beragam. 

Paradigma kesadaran merujuk pada suatu pendekatan dalam memahami fenomena kesadaran, baik dalam konteks filosofi, biologi, psikologi, maupun ilmu pengetahuan lainnya untuk memahami kompleksitas kesadaran.

Dalam memahami ilmu pengetahuan, paradigma begitu urgent dan menyejarah karena mampu memengaruhi persepsi dunia. Sebab, kerap membahas bagaimana kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dan bagaimana hal ini membentuk perilaku dan pemikiran.

Paradigma kesadaran berusaha memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa artinya menjadi sadar dan bagaimana kesadaran memengaruhi kehidupan kita.

Konsep ini menganggap kesadaran sebagai pusat pengalaman manusia, termasuk perasaan, pikiran, dan persepsi.

Berikut beberapa pemikiran dan teori untuk memahami paradigma kesadaran:

1. Rene Descartes (1596–1650). Kesadaran dan pikiran sebagai esensi dari diri.

Rene Descartes menyatakan bahwa kesadaran adalah bukti utama alias bagian yang paling inti dari keberadaan atau eksistensi manusia, dengan ungkapan terkenalnya, "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada). Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pemikiran adalah inti dari eksistensi.

Dalam karya terkenalnya, Meditations on First Philosophy, ia menyatakan bahwa kesadaran diri adalah satu-satunya hal yang dapat diandalkan. Meskipun semua hal lain bisa diragukan, fakta bahwa kita sadar atau berpikir tidak dapat diragukan. Dari sini, muncul adagium terkenalnya: Cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). 

Descartes juga mengembangkan pandangan dualisme (dualisme cartesian), yang memisahkan pikiran (atau jiwa) dan tubuh. Dalam pandangan ini ada dua substansi yang berbeda: res cogitonas (pikiran) bahwa kesadaran sebagai sifat non-fisik terpisah dengan res extensa (materi) aspek dunia fisik.

Terjemahan dari Cartesian ini sebagai anggapan bahwa kesadaran merupakan aspek non-fisik dari keberadaan, sementara tubuh dan otak adalah entitas fisik. Bagi Descartes, kesadaran tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh ilmu pengetahuan materialistik.

2. Daniel Dannett (1942-2024). Kesadaran adalah aktivitas dan proses biologis.

Dennett adalah seorang materialis fisik yang percaya bahwa semua fenomena mental, termasuk kesadaran, dapat dijelaskan dalam istilah proses fisik. Ia menolak posisi dualisme yang memisahkan pikiran dan tubuh.

Dari penolakan Dannett terhadap apa yang diasumsikan Descartes di atas dikenal sebagai materialisme/monisme, bahwa kesadaran adalah produk material terhadap realitas—tidaklah terpisah dari dunia fisik. Kesadaran merupakan hasil dari proses neurobiologis (interaksi kompleks dalam sistem saraf) di otak. Dennett beranggapan bahwa apa yang kita sebut sebagai "kesadaran" hanyalah hasil dari aktivitas otak, dan tidak ada yang perlu dianggap sebagai entitas khusus di luar proses fisik ini.

Bukunya, Consciousness Explained, menjelaskan kesadaran bukanlah satu pengalaman terintegrasi, tetapi merupakan hasil dari berbagai pemrosesan jaringan informasi (neuron-neuron) yang terjadi secara bersamaan di otak.

3. Edmund Husserl (1859-1938) dan Maurice Merleau-Ponty (1908-1961). Kesadaran sebagai fenomena intensionalitas.

Filsafat fenomenologi berfokus pada pengalaman subjektif dan cara fenomena muncul dalam kesadaran. Dalam tradisi fenomenologi, kesadaran dipandang sebagai cara kita mengalami dan memberi makna pada dunia. Fenomenologi menekankan pentingnya pengalaman subjektif. Dan di sisi lain fenomenologi juga mempelajari bagaimana objek-objek dunia dipersepsi oleh kesadaran kita, tanpa memandang apakah objek-objek itu benar-benar ada di luar kesadaran.

Husserl, pendiri fenomenologi, menekankan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional, dan untuk memahaminya, kita harus fokus pada pengalaman individu tanpa melibatkan penilaian eksternal. Ini berarti bahwa kesadaran selalu tentang sesuatu—tidak pernah terjadi dalam ruang hampa; selalu ada objek kesadaran. Bagi Husserl, penting untuk mengesampingkan semua asumsi tentang dunia luar dan berkonsentrasi pada pengalaman kesadaran murni (metode epoche atau reduksi fenomenologis).

Merleau-Ponty tampaknya berbeda dengan reduksi fenomenologis Husserl. Argumennya bahwa tubuh memamg merasakan namun dunia yang dialaminya tidak dapat dipisahkan. Merleau-Ponty percaya bahwa kita tidak bisa menangguhkan atau memisahkan diri kita dari dunia karena kesadaran itu sendiri terwujud dalam pengalaman dunia melalui tubuh. Tubuh sebagai situs utama untuk mengetahui dunia, bahwa kesadaran selalu berhubungan dengan dunia dan tidak dapat dipisahkan dari konteks dunia fisik. 

Edmund Husserl menjelaskan kesadaran secara reduktif. Fenomenologi menekankan peran subjektivitas dan pengalaman individu dalam memahami kesadaran. Namun Maurice Merleau-Ponty mendekati kesadaran melalui interpretasinya bahwa fenomena tentang kesadaran muncul dari hubungan keterkaitannya manusia dengan dunia.

4. David Chalmers (1966). Bagaimana fungsi otak menghasilkan pengalaman kesadaran tetap menjadi misteri.

Chalmers berpendapat bahwa untuk memahami kesadaran sepenuhnya, kita mungkin memerlukan kerangka penjelasan baru yang melampaui materialisme tradisional. Dia mengajukan gagasan bahwa kesadaran mungkin merupakan aspek fundamental dari alam semesta, seperti halnya ruang dan waktu, dalam konsep yang disebut panpsikisme atau teori informasi terintegrasi. Yang mengatakan bahwa kesadaran, atau setidaknya elemen dasar dari kesadaran, mungkin hadir di seluruh alam semesta, bahkan dalam objek yang tidak bernyawa. Panpsikisme memberikan pendekatan radikal terhadap masalah kesadaran dengan menyatakan bahwa kesadaran bukanlah fenomena eksklusif dari otak manusia, tetapi sesuatu yang mungkin melekat pada semua materi.

Kemudian bagaimana hubungan antara kesadaran subjektif (pengalaman pribadi, atau "qualia") dan proses fisik di otak. Akhirnya Chalmers membedakan antara dua masalah kesadaran: masalah mudah (easy problem) dan masalah sulit (hard problem)

Masalah mudah kesadaran (easy problem of consciousness) ini mencakup pertanyaan serta memahami tentang bagaimana otak dengan melakukan tugas-tugas kognitif (mekanisme kesadaran) seperti persepsi, ingatan, pengambilan keputusan, pengolahan informasi lalu menghasilkan perilaku. Meskipun kompleks, masalah ini dianggap "mudah" karena, secara teori, bisa dijelaskan melalui mekanisme otak dan pemrosesan informasi. Contohnya, kita bisa menjelaskan bagaimana neuron-neuron di otak bekerja bersama untuk mengenali objek visual atau bagaimana ingatan disimpan.

Namun, masalah sulit kesadaran (hard problem of consciousness) justru melibatkan aspek-aspek pengalaman yang sangat subyektif, makanya menjadi sulit dan misterius.

Bagian ini mempertanyakan dan menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana pengalaman subyektif, atau "qualia" fenomena kesadaran muncul. Dalam kata lain, mengapa proses fisik di otak disertai dengan pengalaman sadar? Misalnya, mengapa aktivitas neuron tertentu memunculkan sensasi seperti rasa, warna, suara dan emosi? Pertanyaan-pertanyaan inilah akhirnya memperkuat argumen Chalmers bahwa fungsi otak menghasilkan pengalaman kesadaran tetap menjadi misteri.

5. Immanuel Kant (1724–1804). Kesadaran sebagai pengetahuan subjektif.

Kant menyatakan bahwa kesadaran kita terhadap dunia eksternal tidak langsung, tetapi selalu dibentuk oleh struktur mental kita sendiri. Dengan kata lain, dunia yang kita sadari adalah hasil dari interaksi antara data indrawi dan kategori pemahaman yang ada di dalam pikiran kita. Menurut Kant, kesadaran tidak hanya terkait dengan apa yang kita persepsikan, tetapi juga dengan bagaimana kita memahaminya melalui waktu, ruang, dan kausalitas.

Berikut adalah beberapa poin penting yang menjelaskan pikiran Immanuel Kant:

A. Pengetahuan Terbentuk oleh Subjek: semua pengalaman kita tentang dunia diproses melalui struktur pikiran kita sendiri. Ini berarti bahwa dunia sebagaimana yang kita alami tidak benar-benar "apa adanya", melainkan apa yang telah dibentuk oleh kategori-kategori kognitif kita. Kant menyebut ini sebagai "revolusi Copernican" dalam filsafat, di mana subjek (manusia) aktif berperan dalam membentuk pengetahuan.

B. A Priori: Pikiran kita memiliki konsep-konsep bawaan yang Kant sebut sebagai kategori-kategori a priori (sebelum pengalaman), seperti ruang, waktu, sebab-akibat, dan lain-lain. Kategori ini tidak berasal dari pengalaman, melainkan sudah ada sebelum kita mengalami sesuatu, dan mereka membentuk bagaimana kita mengorganisir pengalaman kita. Dengan kata lain, semua yang kita ketahui dan alami tentang dunia selalu diwarnai oleh subjektivitas kita.

C. Fenomena dan Noumena: Kant membedakan antara fenomena (apa yang tampak bagi kita/pengalaman indra) dan noumena (realitas sebagaimana adanya, di luar kemampuan persepsi kita).

Fenomena adalah hal-hal yang dapat kita alami secara langsung. Bahwa dunia dan kesadaran dibentuk oleh struktur kognitif kita sendiri. Kesadaran subjektif kita hanya mampu mengakses fenomena atau hal-hal yang muncul di hadapan kita setelah diproses oleh pikiran. 

Noumena atau hal itu sendiri (thing-in-itself), adalah apa yang tetap berada di luar pengalaman indra dan jangkauan kesadaran kita. Kita tidak bisa mengalami atau mengetahui noumena secara langsung karena persepsi dan pengetahuan kita selalu dibatasi oleh subjektivitas. Meskipun kita menyadari bahwa ada dunia noumenal, kita tidak bisa mengaksesnya dengan kesadaran langsung.

"Kita tidak bisa mengetahui dunia dalam dirinya (noumenon), hanya dunia sebagaimana muncul bagi kita melalui kesadaran kita (phenomenon)."

6. Thomas Nagel (lahir 1937). Kesadaran, Apa rasanya menjadi sesuatu?

Dalam esainya yang terkenal "What Is It Like to Be a Bat?" Kesadaran memiliki aspek internal atau "bagaimana rasanya" (what it is like) yang tidak dapat direduksi ke fakta-fakta fisik. Adalah pengalaman subjektif—hal yang sifatnya dari dalam, yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang mengalaminya.

Pengalaman subjektif tidak dapat sepenuhnya dijelaskan ilmu pengetahuan objektif, sehingga ada batasan pada penjelasan ilmiah tentang kesadaran.

Pandangannya Negel tentang pengalaman subjektif, ini membuka wacana lebih lanjut tentang kesadaran, dualisme pikiran-tubuh, dan batas-batas pengetahuan ilmiah.

7. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Kesadaran sebagai proses dialektik.

Kesadaran adalah proses interaktif yang dinamis, di mana pikiran berkembang melalui pertemuan dan penyelesaian kontradiksi.

Menurut Hegel, kesadaran bukanlah suatu keadaan statis, tetapi selalu bergerak melalui tahap-tahap yang terus-menerus berkembang (sejarah). Kesadaran (tesis) bergerak-berkembang melalui konflik dan pertentangan (antitesis), yang memicu refleksi dan pemikiran lebih lanjut (sintesis)

Dalam pemikiran Hegel, kesadaran individu terkait dengan konsep "Geist" atau "Spirit," yang mencakup kesadaran kolektif dan sejarah. Kesadaran individu merupakan bagian dari proses yang lebih besar, di mana pengalaman dan budaya saling memengaruhi dan membentuk satu sama lain. Dalam konteks sejarah, Hegel melihat sejarah sebagai manifestasi dari perkembangan kesadaran dan kebebasan manusia. Dia percaya bahwa setiap fase sejarah merupakan langkah dalam proses dialektik menuju kesadaran yang lebih tinggi.

Kesadaran melibatkan kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagai subjek yang terpisah dan berinteraksi dengan dunia.

8. John Locke (1632–1704). Kesadaran dan Identitas Pribadi

Ada hubungan antara kesadaran dan identitas pribadi. Dalam karyanya: An Essay Concerning Human Understanding, John Locke mengaitkan identitas pribadi dengan kontinuitas kesadaran. Pendapatnya bahwa kita adalah orang yang sama selama kita bisa mengingat pengalaman masa lalu kita. Perspektif ini membawa pertanyaan tentang bagaimana kesadaran berubah dari waktu ke waktu dan bagaimana ini terkait dengan siapa kita.

Locke berargumen bahwa identitas pribadi tidak ditentukan oleh tubuh fisik, tetapi oleh kesadaran. Ia menyatakan bahwa seseorang dianggap sama dengan dirinya di masa lalu jika ia memiliki kesadaran yang sama. Dengan kata lain, identitas pribadi terletak pada kontinuitas kesadaran.

Kesadaran dan identitas pribadi menekankan bagaimana peran memori. Sebab, ingatan adalah cara manusia menghubungkan pengalaman masa lalu dengan saat ini. Jika seseorang dapat mengingat pengalaman tertentu, maka ia dapat dianggap sebagai orang yang sama yang mengalami pengalaman tersebut.

Locke juga percaya bahwa identitas pribadi terkait dengan tindakan moral dan tanggung jawab. Seseorang diakui sebagai individu yang sama karena ia bertanggung jawab atas tindakan yang diingat dalam kesadarannya. Jika seseorang tidak dapat mengingat tindakan tertentu, ia tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut.

Locke menolak pandangan bahwa identitas pribadi ditentukan oleh substansi tubuh (materi fisik) atau jiwa. Ia berargumen bahwa dua individu yang berbeda dapat memiliki tubuh yang sama, tetapi jika kesadaran mereka berbeda, maka identitas pribadi juga berbeda.

Pemikiran Locke tentang kesadaran dan identitas pribadi memiliki implikasi penting dalam etika dan filosofi, termasuk dalam diskusi tentang tanggung jawab moral, pembalasan, dan konsep individu dalam masyarakat.

Secara keseluruhan, teori Locke tentang kesadaran dan identitas pribadi menekankan bahwa apa yang membuat kita menjadi "diri kita" adalah kesadaran dan ingatan kita, bukan tubuh fisik atau substansi spiritual.

9. Jean-Paul Sartre (1905–1980). Kesadaran sebagai kebebasan radikal.

"Kesadaran bukanlah objek; ia adalah "tidak-ada" yang membuka kemungkinan kebebasan. Karena kesadaran tidak terikat oleh esensi apapun, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas dirinya."

Sebagai filsuf eksistensialis, Sartre memandang kesadaran sebagai sumber kebebasan dan tanggung jawab manusia.

Sartre menekankan bahwa kesadaran manusia bukan hanya sekadar kesadaran akan objek, tetapi juga kesadaran akan diri sendiri dan kebebasan yang menyertainya.

Sartre berargumen bahwa manusia ada terlebih dahulu sebelum menentukan siapa mereka. Tidak ada esensi yang mendahului eksistensi; manusia menciptakan diri mereka sendiri melalui pilihan dan tindakan.

Manusia memiliki kebebasan untuk membuat pilihan, dan ini adalah kebebasan yang total dan radikal. Namun, kebebasan ini juga datang dengan tanggung jawab. Setiap pilihan yang dibuat membawa konsekuensi, dan individu harus siap untuk menghadapi akibatnya.

Kesadaran dalam anggapan  Sartre adalah "kekosongan" yang mampu menampung berbagai kemungkinan. Manusia tidak terikat pada satu identitas atau takdir tertentu, melainkan memiliki kemampuan untuk meredefinisi diri mereka sendiri melalui pilihan.

Kesimpulan

Paradigma Kesadaran merupakan pendekatan multidisiplin dan komprehensif yang berupaya memahami fenomena kesadaran dari berbagai perspektif, termasuk filsafat, biologi, dan psikologi. Dalam konteks ini, kesadaran dipahami sebagai aspek fundamental dari pengalaman manusia.

Dari Descartes hingga Sartre, beragam pemikiran ini menyoroti esensi dan kompleksitas kesadaran sebagai pusat pengalaman manusia. Descartes menekankan pentingnya kesadaran sebagai bukti eksistensi, sementara Dennett menjelaskan kesadaran sebagai produk aktivitas otak. Di sisi lain, Husserl dan Merleau-Ponty menekankan pengalaman subjektif dan keterhubungan antara kesadaran dan dunia fisik. Sementara Chalmers membedakan antara masalah mudah dan sulit kesadaran, Kant menyoroti bagaimana struktur mental membentuk pengetahuan subjektif. Pemikiran Locke tentang kesadaran dan identitas pribadi serta pandangan Sartre tentang kebebasan radikal.

Dengan demikian, secara keseluruhan dari paradigma kesadaran menyuguhkan beragam pendekatan untuk memahami kompleksitas kesadaran dan hubungannya dengan eksistensi manusia. Kesadaran tidak hanya menjadi pusat pengalaman individu, tetapi juga landasan untuk memahami identitas, moralitas, dan interaksi kita dengan dunia. Dengan demikian, paradigma kesadaran berfungsi sebagai alat untuk mengeksplorasi hubungan antara individu dan dunia, serta untuk menyoroti peran penting kesadaran dalam pengalaman hidup manusia.

Daftar Referensi:

1. Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

2. Descartes, R. (1641). Meditations on First Philosophy.

3. Dennett, D. C. (1991). Consciousness Explained. Little, Brown and Company.

4. Husserl, E. (1931). Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology.

5. Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception. Routledge.

6. Chalmers, D. J. (1996). The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford University Press.

7. Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.

8. Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human Understanding.

9. Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness.

10. Nagel, T. (1974). "What Is It Like to Be a Bat?" The Philosophical Review, 83(4), 435-450.

11. Koch, C., & Crick, F. (2001). "The Action of Consciousness." Nature, 411, 893-894.

12. Tononi, G. (2004). "An Information Integration Theory of Consciousness." BMC Neuroscience, 5(1), 42.

13. Tye, M. (2000). Consciousness, Color, and Content. MIT Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun