Siang riang membakar jiwaku jadi mabuk kepayang. Nggak nyangka hari ini gua ketemu sama cowok gula jawa lagi. Gua seneng banget bisa seangkot bareng sama dia, ya walaupun gua sama mama. Aaaa....seneng banget.
      Tak henti-hentinya benak Sintia memutar peristiwa manis yang menimpanya di hari kamis. Tangannya dengan mahir menulis kembali setiap detik peristiwa indah yang dialaminya. Setiap hari, temannya hanya buku diary warna hijau yang menjadi teman bercerita. Setiap aksara yang indah tertidur lelap di barisan lembaran buku. Bukan berarti, Sintia tidak mempunyai teman yang siap mendengarkan jutaan ceritanya. Namun, kalau urusan hati dia memilih untuk diam dan curhat ke diary.
      Baru pertama kali menuliskan diary tentang hatinya mulai jatuh cinta kepada pria yang disebutnya sebagai gula jawa. Lembaran buku itu hampir habis tak tersisa untuk lahan menulis lagi. Pria gula jawa itu sebenarnya satu sekolah dengannya. Namun, kelas dan jurusan membelah jarak antara mereka berdua. Pria yang tidak diketahui inisialnya itu adalah anggota osis di sekolah. Desas-desus yang dia dengar bahwa lelaki itu mempunyai seorang gebetan. Di dalam kamus hidupnya boleh berharap asal tidak berlebihan.
      Abizar. Ya, nama asli dari seorang pria yang dijulukinya sebagai gula jawa itu. Hatinya sangat senang ketika salah satu teman kelas yang bernama Saci memberitahu namanya. Desir rasa senang dan kerinduan menghiasi malam Sintia. "Sin, kok belum tidur?" Yanti membuka pintu kamar. Karena panik melihat kehadiran mamanya karena lampu kamar masih menyala, Sintia cepat-cepat menutup buku.
"Eh, ada mama. Dikit lagi ma, tugasnya belom kelar." ujarnya dengan menutupi aktifitas yang dilakukannya tadi.
"Ya udah, tidurnya jangan malem-malem. Besok hari senin, kamu harus sekolah."
Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Tangannya dengan gesit membereskan semua peralatan yang tercecer di meja belajar. Dia ingat, bahwa hari senin yang sering membuat orang-orang merinding dan memasang muka malas. Hari senin yang menyebalkan. Dia terus bergumam mengutuki hari yang tidak bersalah. Pagi akhirnya tiba membuatnya khawatir karena bangun terlambat. Di dalam angkutan umum, dia berdesak-desakan dengan orang-orang sibuk. Di depannya, terlihat seorang wanita cantik berkemeja hitam terus-menerus menatap jam tangan yang melekat manis di kulit putihnya. Sintia tak kalah panik dengan wanita itu. Matanya selalu mondar-mandir melihat setiap detik jarum jam yang semakin lama berputar cepat. Lima belas menit lagi, dia pasti akan terlambat. Kendaraan di depannya tak kunjung bergerak. Hatinya semakin gusar, dia mencoba mengirim pesan pada Saci, menanyakan keadaan hari senin di sekolahnya.
Tidak ada respon, sepertinya Saci sudah turun ke lapangan. Keresahan semakin menyelubungi dirinya. Akhir keresahannya terobati oleh angkot yang melaju dengan cepat. Dengan napas yang tersengal-sengal, dia mencoba menerobos antrian para pasukan osis yang sedang menyidak kelengkapan atribut. Kriiingg!!! Bel sekolah berbunyi. Dugaannya benar, dia pasti terlambat. Ya, sekarang dia berada di barisan para siswa yang dicap oleh guru sebagai siswa yang tidak pernah disiplin. Bukan hanya Sintia yang terlambat, banyak adik kelas dan kakak tingkat yang senasib dengannya.
Tak seperti hari senin minggu lalu, hari ini terlihat sedikit siswa yang melanggar aturan. Buruknya lagi, Sintia adalah salah satu perempuan yang berdiri di antara siswa laki-laki yang biasa dikenal Guru BP sebagai siswa pelanggar yang paten. Sedari tadi, dia hanya menunduk. Pak Umam sebagai pembina upacara tidak henti-hentinya mencemooh barisan Sintia berada. Sintia semakin malu, ketika melihat pria gula jawa itu menjadi pemimpin upacara. Posisinya sejajar dengan dirinya. "Hei, kamu yang perempuan sendiri. Kenapa kamu berdiri di depan. Pelanggaran apa yang telah kamu buat?" nada bicara Pak Umam terdengar meninggi.
"Maaf, pak. Saya terlambat." ujar Sintia hati-hati dan kembali menunduk karena malu di depannya ada Abizar.
"Jangan menunduk lagi kamu! Cepat minta maaf kepada teman-teman. Gara-gara kalian, jam pembelajaran telat lima belas menit."
Dengan berat hati, Sintia mewakili lima orang laki-laki yang tak dikenal sebaris dengannya. Ketika mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata Abizar yang menatapnya dengan tajam. Tak ada wajah manis yang membuatnya terpesona. Kini, di hadapannya hanya raut wajah datar. Setelah mengucapkan kata maaf kepada ribuan siswa, dia tak berani melihat wajah Abizar yang selalu membuatnya tergila-gila.
***
Senin adalah hari yang kacau. Tidak ada burung yang berkicau, yang ada hanya Pak Umam yang sedari tadi meracau. Kesel banget gua, padahal kan gua cuman telat tiga menit, upacara juga belum mulai, eh malah dihukum kacau...kacau... dah mana lagi dia jadi pemimpin upacara, bukannya seneng liat dia, eh malah malu. Aaaa hari senin yang nyebelin...
Senin bagi Sintia memang hari yang penuh musibah. Namun, tidak dengan teman sekelasnya. Hari ini adalah rezeki bagi kelas mereka. Jam kosong, ya jam kosong adalah jam yang sangat diminati oleh para siswa. Tak seperti teman yang lainnya, Sintia sangat sibuk dengan diary. Berbeda dengan Saci yang dari tadi sibuk dengan lipgloss barunya. Beberapa kali lipgloss itu menyentuh bibirnya dengan lembut. "Lu nggak mau nyobain lipgloss baru gua?" katanya. "Nggak ah. Nggak suka gua pake begituan. Makasih. Buat lu aja, Ci." Sintia merasa jijik ketika melihat kilauan lipgloss yang menempel di bibir. Dia mencoba berputar posisi melihat sekelilingnya.
Kelas yang seharusnya untuk belajar berubah menjadi pasar. Ada yang rebahan di lantai, tidur, dan menyanyi dengan bahagia. Walaupun membuat penderitaan bagi teman sekelasnya. Penderitaan itu berasal dari suara cempreng khas Riska yang menyanyikan lagu barat dan tidak jelas artikulasinya. Yandi terkenal sebagai mata-mata kelas. Jika ada guru yang datang, pasti Yandi selalu siap siaga. Tempat favorit Yandi adalah jendela pojok sebelah kiri belakang. Dari jendela itu, mata Yandi leluasa melihat lantai empat sampai lantai bawah dan ruang guru matematika tidak pernah lepas dari mata elangnya. Sebelum Yandi memberitahu teman sekelas jika ada razia, ada seorang siswa yang berteriak lebih dulu dan menimbulkan kegaduhan.
Keadaan di luar kelas menjadi ribut. Suara siswa kelas sebelah terdengar berisik sampai. Mendengar hal itu, Saci dengan sigap mencari tempat untuk menyimpan barang berharga miliknya. Kini, suasana kelas Sintia berubah keadaan ribut dan berisik. Semuanya kalang kabut mencari tempat untuk menyembunyikan barang yang seharusnya tidak mereka bawa.
Sintia tak terlihat panik seperti teman-temannya. Dia hanya santai merapikan atribut dan terlihat tenang. Sekelompok osis berompi orange dan biru datang dengan wajah datar dan sinis. Sintia ingin tertawa lepas ketika melihat Andera, temannya yang menjadi anggota osis dan ikut menyidak kelas. Dia terlihat memasang muka judes terpaksa. Andera bukan terlihat seperti orang yang galak, namun muka yang tidak bisa akting terlihat seperti orang yang sedang menahan buang air besar. Sintia berusaha menahan gelagatnya, agar Kak Ranti ketua osis yang terkenal galak tidak memarahinya.
Suara tawa bahagia melihat raut muka Andera di dalam hati seketika padam. Dia melihat Abizar ada di antara kelompok osis yang akan melakukan razia. Wajahnya terlihat datar dan alis tebal nampak lurus bersamaan dengan bibirnya.
"Yang perempuan silakan ke belakang dan yang laki-laki silakan berbaris di depan dan menghadap papan tulis!" perintah Kak Ranti terdengar sangar.
Semuanya menuruti perintah Kak Ranti bak bebek yang biasa diangon di sawah. Satu per satu anggota osis memeriksa setiap siswa dari ujung kaki hingga kepala. "Kenapa kamu?" Ranti melirik gerakan Saci yang terlihat gusar.
"Nggak kak. Gapapa hehehe." Saci terlihat menyeringai.
Siswa wanita telah selesai digeledah atributnya. Siswa laki-laki pun sama, tinggal nasib tas mereka yang menjadi tempat persembunyian barang haram dan dilarang dibawa ke sekolah karena tidak sesuai dengan aturan. Abizar dengan temannya sibuk mencari dan mengeluarkan satu per satu isi tas. Sintia terus menatap wajah manisnya, dan pura-pura menunduk ketika muka judes Ranti menerawang siswi kelas Sintia. Abizar memang terkenal sebagai osis yang berwajah tampan. Ketampanannya bisa jadi menyeramkan hanya dengan satu tindakan.
"Kak, aku nemuin ini." Abizar menyodorkan sebuah buku berwarna hijau ke Ranti. Sintia terbelalak, padahal buku itu sudah disembunyikan di tempat yang aman. "Buku Diary?" pertanyaan Ranti terdengar mengejek.
"Hari gini masih punya diary? Kalian itu dah gede, masa iya masih punya buku kek gini! Kekanakan tau nggak!
"Punya siapa ini?" tidak ada yang merespon pertanyaan Ranti.
"Punya siapa ini?" Ranti kembali bertanya, namun semuanya bungkam karena takut.
"Sekali lagi saya tanya. Kalau tidak ada yang jawab, saya laporkan kelas kalian ke wali kelas! Punya siapa ini?" nada bicara Ranti semakin naik.
"Maaf kak, itu punya saya." Sintia akhirnya membuka suara. Sudut bibir kiri Ranti naik terlihat mengejek perempuan di depannya.
"Ternyata kelas kalian banyak juga yang nggak taat aturan. Apalagi ceweknya. Ada yang bawa headset, kepala charger, lipgloss, terus masih ada anak SD di sini. Masih bawa buku dairy, ya? Nggak dewasa ya kalian." Kata sarkasme keluar dari mulut Ranti menikam tajam mental siswa di kelas.
"Buku diary ini milik kamu ya? Yang tadi berdiri di depan kan gara-gara terlambat?" pertanyaan Abizar terdengar menyindir dan membuat Sintia mematung sekaligus menahan malu. Hati kecilnya terasa seperti diiris oleh perkataan pria gula jawa. Ingin membalas perkataan Abizar, namun dia hanya bungkam dan kembali menunduk menatap lantai yang mengkilat. Beberapa teman yang berbaris dengannya terlihat heran apalagi dengan Saci dan Andera.
***
"Lu marah sama gua ya? Gara-gara gua nyidak kelas lu. Sumpah, gua nggak bermaksud berlaga judes kok. Please maafin gua ya?" Andera meminta maaf atas perlakuan yang dipaksanya tadi siang. Sintia hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Andera sangat khawatir pada Sintia yang sangat sensitif.
"Kok, lu malah minta maaf sama Sintia sih? Kan gara-gara lu lipgloss baru gua disita sama osis. Balikin nggak, Ra!" Saci yang tidak terima lipgloss-nya disita, mencurahkan kekesalan pada Andera.
"Salah lu sendiri, ke sekolah bawa lipstik, lu kan mau sekolah bukan mau ngelenong di lampu merah!" jawaban Andera terdengar meledek dan membuat Saci mendengus kesal.
"Sin, tunggu!" Andera mencoba mengejar Sintia yang sedari tadi tidak mengubris dialog kedua sahabatnya. Sepanjang perjalanan pulang, Sintia hanya diam. Ketika sahabatnya ingin berpamitan, Sintia hanya menaikkan alis tanpa tersenyum sedikit pun. Bibir manisnya selalu ditekuk ke bawah sepanjang perjalanan. Angkot yang tadi sepi sekarang ramai. Kanan kiri bangku sudah terisi penuh, bangku depan dekat kemudi pun sudah diisi oleh ibu dan anaknya yang naik dari pasar. Tiba-tiba angkot berhenti mendadak, terlihat ada laki-laki yang melambaikan tangan ke angkot.
Deg!!! Abizar. Hati Sintia seketika menjadi tak karuan. "Bu, geser sedikit bu," supir angkot memberikan sinyal agar ibu di sebelah Sintia bergeser ke kiri. Abizar duduk tepat di samping kiri Sintia. Tidak ada celah sedikit pun. Kaki mereka berdekatan membuat Sintia menjadi salah tingkah selama di perjalanan. Belum lagi, napas hangat berhembus menepis pipi Sintia ketika Abizar melihat ke arah depan. Dia tidak menyadari seketika pipinya sudah memerah.
"Kiri pak!" ujar mereka bersamaan. Walaupun berjalan bersama, Abizar lebih dulu menghilang di belokan pertama. Rumah Abizar dan Sintia masih dalam satu komplek perumahan hanya berbeda blok saja. Sintia di blok Mawar dan Abizar di blok Kencana.
Tik...Tik...tik...Tik...
Suara sendok yang beradu dengan piring membuat Yanti mengalihkan pandangannya ke Sintia. "Dimakan Sin, jangan dipukul-pukul piringnya. Kasihan, nanti benjol loh." Dia melihat makanan yang tersaji di piring Sintia masih utuh dan tidak ada sesuap pun masuk ke mulutnya. "Sintia nggak nafsu makan, Ma." tanpa meminta maaf dan merasa bersalah kepada mamanya yang telah bersusah payah memasak, dia bergegas ke lantai atas dan menuju ke kamar. Di kamar yang hening, hanya angin sepoi-sepoi yang terasa. Hidupnya terasa hampa tanpa buku hijau itu. Entah bagaimana nasib buku itu, mungkin buku itu juga merasakan rindu kepada pemiliknya. Dia hanya berguling-guling di atas kasur yang empuk. Sesekali menatap plafon warna putih seperti hidupnya.
"Sin, ada teman kamu nih dateng!" suara Yanti menggema sampai ke atas. "Teman? Ngapain Saci sama Andera ke sini? Biasanya juga nggak pernah." hati Sintia terus melontarkan pertanyaan. Ketika ingin menuruni anak tangga, dia melihat seorang lelaki sedang duduk di sofa dan ada sebuah buku berwarna hijau digenggamannya. Sepertinya dia baru melihat orang itu. Jeans salem dan kaus lengan panjang berwarna biru melekat ditubuhnya yang tinggi dan berisi. Tak lupa, kulit yang berwarna sawo matang, hidung mancung, senyuman yang manis dan rambut hitam legam membuat siapa saja yang melihatnya pasti langsung terpana.
Sepertinya aku pernah melihat orang ini, tapi dimana?
 "Sin, kok diem di situ. Temannya diajak ngobrol dong, jangan dianggurin," Yanti yang melihat Sintia mematung di tangga menegurnya.
"Nggak usah repot-repot, Tan. Abi cuman sebentar kok." akhirnya laki-laki itu membuka suaranya melihat Yanti membawakan sebuah minuman manis.
"Lama juga gapapa kok Abi. Anggap rumah sendiri." ledek Yanti.
Gelang biru itu kan yang pernah anak hitam itu pakai... Sintia mencoba mengingat kejadian yang berhubungan dengan gelang biru itu. Setelah tidak menatap wajah laki-laki tampan itu, dia akhirnya berani menengadah dan menatapnya dengan segudang pertanyaan. Abizar membalas tatapan Sintia dengan senyuman yang manis.
"Aku ke sini mau balikin ini ke kamu. Oh ya, ternyata buku diary kamu nggak jadi disita sama Guru BP. Beliau berpesan jika kamu bawa buku ini lagi, ya buku ini bakal disita selamanya." ujarnya dengan tetap tersenyum.
"Makasih ya." Sintia sangat senang teman hidupnya bisa kembali ke pangkuannya.
"Ya sudah kalo gitu saya izin pamit. Tante, Abi pamit ya. Makasih tan."
"Iya sama-sama. Buru-buru amat dah bocah. Hati-hatinya."
Mata Sintia terus menatap punggung Abizar yang lama-kelamaan menghilang. Di kamarnya hanya ada dia dan buku kesayangannya. Lembaran demi lembaran diperiksa kembali olehnya. Takut ada selembar yang hilang dari buku kesayangannya. Pulpen sudah siap di tangan kanannya, namun ketika ingin menulis lembaran terakhir sudah terisi dengan sebuah pesan misterius.
 Sintia, kamu makin cantik ya. Bukan yang dulu aku kenal. Cantik dengan hijab yang selalu membalut kepalamu. Aku senang banget punya panggilan istimewa dari cewek cantik kaya kamu. Cowok gula jawa hahaha. Cocok banget sama kulit aku ya. Aku harap kamu bisa melupakan kejadian yang dulu menimpamu. Maaf atas segala yang telah terjadi di masa lampau karena aku -Abizar
Seketika napas Sintia tersendat menahan emosi yang ingin meledak. Matanya merah, dan napasnya naik turun. Srettt!!! kertas yang menyimpan tulisan indah Abizar kini sudah lusuh dan tidak beraturan. Diremas-remas kertas itu dengan kepalan sangat keras, lalu dilempar dengan sembarang. Ditutup kedua matanya dengan tangan, agar suara rintihan tangisnya tidak terdengar sampai ke bawah. "Gelang biru itu kan, yang pernah dipakai oleh anak hitam itu. Tuhan, kenapa aku sulit sekali mengingat wajah si pembuli itu." hati Sintia terus menerus menggerutu mengingat kejadian yang menimpanya lima tahun lalu.
Saat Abizar adalah siswa yang terkenal sadis di SMP-nya dulu. Tak mengenal perempuan atau laki-laki yang menjadi sasaran untuk dibuli termasuk Sintia yang menjadi sasaran empuknya. Dulu, Sintia tidak seperti sekarang, tampilannya yang lugu karena dikuncir kepang. Sintia kerap mendapat pemalakan dari geng Abizar yang tak segan-segan akan melakukan hal apa pun kalau Sintia menolak mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Walaupun penampilannya tidak secantik sekarang, Sintia adalah gadis yang sangat pandai, karena kepandaian dan sifatnya yang lugu membuat Abizar dan teman-temannya menjadikan Sintia salah satu sasaran yang pas.
Penyakit itu telah lama singgah di tubuhnya. Semenjak kecelakan yang disebabkan oleh emosi Abizar karena tidak terima dihukum sebab pekerjaan rumahnya tidak diselesaikan Sintia. "Beberapa kali gua bilang ke lu, hah! Kalo lo mau selamat, kenapa pr gua nggak dikerjain! Sekarang gara-gara lu gua dihukum dan nggak boleh masuk kelas!" dengan geram tangan Abizar mencomot kerah seragam Sintia dan menyudutkannya ke dinding. Sintia merasa sesak dan sulit berbicara.
"Ma...aa...fiiin aku, semalem aku lu...pa...ngerjain..." Sintia terbata-bata mengucapkan kata maaf ke anak hitam di depannya. "Nggak ada kata maaf buat babu kaya lu!" emosi yang sudah menyelubungi dada Abizar, tanpa ada rasa bersalah dia melempar Sintia ke bawah dari ujung anak tangga. Melihat darah segar yang mulai mengalir dari kening Sintia, Abizar menjadi takut dan kabur meninggalkan tubuh tak berdaya akibat ulahnya.
Gua sangat menyesal menaruh rasa kepada orang yang telah dulu membuat gua hampir menjadi orang linglung. Prosopagnosia kau datang membawa kabar bahagia dan duka. Kenapa? kenapa? Gua harus suka kepada seseorang yang telah membuatku celaka Tuhan?Â
 Tangisan yang tersedu-sedu mengiringi lembaran terakhir buku kesayangannya. Sesekali, tangannya dengan geram membuat coretan yang berantakan. Berbeda dengan Sintia, Abizar sedang menatap langit malam yang sudah mulai kelabu. Cahaya dari rembulan malam menerangi malamnya yang malang. Dia terus menatap langit dengan sedikit tersenyum mengingat gadis cantik yang dulu pernah dilukai, sekarang hatinya menanamkan rasa penyesalan yang amat dalam kepada Sintia.
"Sin, gua kira lo nggak ingat sama gua. Tapi, karena gelang biru ini ingatan yang dulu menghilang kembali datang dan membuatku menjadi menyesal. Maaf Sin, gua benar-benar menyesali atas perbuatan gua yang dulu. Gua harap semoga Tuhan segera memisahkan kisah kita agar kau selalu bahagia." doa Abizar menggema di dalam hati yang penuh penyesalan*.
---end---
*cerpen ini terinspirasi dari puisi Lelaki Gula Jawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H