"Aku ke sini mau balikin ini ke kamu. Oh ya, ternyata buku diary kamu nggak jadi disita sama Guru BP. Beliau berpesan jika kamu bawa buku ini lagi, ya buku ini bakal disita selamanya." ujarnya dengan tetap tersenyum.
"Makasih ya." Sintia sangat senang teman hidupnya bisa kembali ke pangkuannya.
"Ya sudah kalo gitu saya izin pamit. Tante, Abi pamit ya. Makasih tan."
"Iya sama-sama. Buru-buru amat dah bocah. Hati-hatinya."
Mata Sintia terus menatap punggung Abizar yang lama-kelamaan menghilang. Di kamarnya hanya ada dia dan buku kesayangannya. Lembaran demi lembaran diperiksa kembali olehnya. Takut ada selembar yang hilang dari buku kesayangannya. Pulpen sudah siap di tangan kanannya, namun ketika ingin menulis lembaran terakhir sudah terisi dengan sebuah pesan misterius.
 Sintia, kamu makin cantik ya. Bukan yang dulu aku kenal. Cantik dengan hijab yang selalu membalut kepalamu. Aku senang banget punya panggilan istimewa dari cewek cantik kaya kamu. Cowok gula jawa hahaha. Cocok banget sama kulit aku ya. Aku harap kamu bisa melupakan kejadian yang dulu menimpamu. Maaf atas segala yang telah terjadi di masa lampau karena aku -Abizar
Seketika napas Sintia tersendat menahan emosi yang ingin meledak. Matanya merah, dan napasnya naik turun. Srettt!!! kertas yang menyimpan tulisan indah Abizar kini sudah lusuh dan tidak beraturan. Diremas-remas kertas itu dengan kepalan sangat keras, lalu dilempar dengan sembarang. Ditutup kedua matanya dengan tangan, agar suara rintihan tangisnya tidak terdengar sampai ke bawah. "Gelang biru itu kan, yang pernah dipakai oleh anak hitam itu. Tuhan, kenapa aku sulit sekali mengingat wajah si pembuli itu." hati Sintia terus menerus menggerutu mengingat kejadian yang menimpanya lima tahun lalu.
Saat Abizar adalah siswa yang terkenal sadis di SMP-nya dulu. Tak mengenal perempuan atau laki-laki yang menjadi sasaran untuk dibuli termasuk Sintia yang menjadi sasaran empuknya. Dulu, Sintia tidak seperti sekarang, tampilannya yang lugu karena dikuncir kepang. Sintia kerap mendapat pemalakan dari geng Abizar yang tak segan-segan akan melakukan hal apa pun kalau Sintia menolak mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Walaupun penampilannya tidak secantik sekarang, Sintia adalah gadis yang sangat pandai, karena kepandaian dan sifatnya yang lugu membuat Abizar dan teman-temannya menjadikan Sintia salah satu sasaran yang pas.
Penyakit itu telah lama singgah di tubuhnya. Semenjak kecelakan yang disebabkan oleh emosi Abizar karena tidak terima dihukum sebab pekerjaan rumahnya tidak diselesaikan Sintia. "Beberapa kali gua bilang ke lu, hah! Kalo lo mau selamat, kenapa pr gua nggak dikerjain! Sekarang gara-gara lu gua dihukum dan nggak boleh masuk kelas!" dengan geram tangan Abizar mencomot kerah seragam Sintia dan menyudutkannya ke dinding. Sintia merasa sesak dan sulit berbicara.
"Ma...aa...fiiin aku, semalem aku lu...pa...ngerjain..." Sintia terbata-bata mengucapkan kata maaf ke anak hitam di depannya. "Nggak ada kata maaf buat babu kaya lu!" emosi yang sudah menyelubungi dada Abizar, tanpa ada rasa bersalah dia melempar Sintia ke bawah dari ujung anak tangga. Melihat darah segar yang mulai mengalir dari kening Sintia, Abizar menjadi takut dan kabur meninggalkan tubuh tak berdaya akibat ulahnya.
Gua sangat menyesal menaruh rasa kepada orang yang telah dulu membuat gua hampir menjadi orang linglung. Prosopagnosia kau datang membawa kabar bahagia dan duka. Kenapa? kenapa? Gua harus suka kepada seseorang yang telah membuatku celaka Tuhan?Â