"Sin, tunggu!" Andera mencoba mengejar Sintia yang sedari tadi tidak mengubris dialog kedua sahabatnya. Sepanjang perjalanan pulang, Sintia hanya diam. Ketika sahabatnya ingin berpamitan, Sintia hanya menaikkan alis tanpa tersenyum sedikit pun. Bibir manisnya selalu ditekuk ke bawah sepanjang perjalanan. Angkot yang tadi sepi sekarang ramai. Kanan kiri bangku sudah terisi penuh, bangku depan dekat kemudi pun sudah diisi oleh ibu dan anaknya yang naik dari pasar. Tiba-tiba angkot berhenti mendadak, terlihat ada laki-laki yang melambaikan tangan ke angkot.
Deg!!! Abizar. Hati Sintia seketika menjadi tak karuan. "Bu, geser sedikit bu," supir angkot memberikan sinyal agar ibu di sebelah Sintia bergeser ke kiri. Abizar duduk tepat di samping kiri Sintia. Tidak ada celah sedikit pun. Kaki mereka berdekatan membuat Sintia menjadi salah tingkah selama di perjalanan. Belum lagi, napas hangat berhembus menepis pipi Sintia ketika Abizar melihat ke arah depan. Dia tidak menyadari seketika pipinya sudah memerah.
"Kiri pak!" ujar mereka bersamaan. Walaupun berjalan bersama, Abizar lebih dulu menghilang di belokan pertama. Rumah Abizar dan Sintia masih dalam satu komplek perumahan hanya berbeda blok saja. Sintia di blok Mawar dan Abizar di blok Kencana.
Tik...Tik...tik...Tik...
Suara sendok yang beradu dengan piring membuat Yanti mengalihkan pandangannya ke Sintia. "Dimakan Sin, jangan dipukul-pukul piringnya. Kasihan, nanti benjol loh." Dia melihat makanan yang tersaji di piring Sintia masih utuh dan tidak ada sesuap pun masuk ke mulutnya. "Sintia nggak nafsu makan, Ma." tanpa meminta maaf dan merasa bersalah kepada mamanya yang telah bersusah payah memasak, dia bergegas ke lantai atas dan menuju ke kamar. Di kamar yang hening, hanya angin sepoi-sepoi yang terasa. Hidupnya terasa hampa tanpa buku hijau itu. Entah bagaimana nasib buku itu, mungkin buku itu juga merasakan rindu kepada pemiliknya. Dia hanya berguling-guling di atas kasur yang empuk. Sesekali menatap plafon warna putih seperti hidupnya.
"Sin, ada teman kamu nih dateng!" suara Yanti menggema sampai ke atas. "Teman? Ngapain Saci sama Andera ke sini? Biasanya juga nggak pernah." hati Sintia terus melontarkan pertanyaan. Ketika ingin menuruni anak tangga, dia melihat seorang lelaki sedang duduk di sofa dan ada sebuah buku berwarna hijau digenggamannya. Sepertinya dia baru melihat orang itu. Jeans salem dan kaus lengan panjang berwarna biru melekat ditubuhnya yang tinggi dan berisi. Tak lupa, kulit yang berwarna sawo matang, hidung mancung, senyuman yang manis dan rambut hitam legam membuat siapa saja yang melihatnya pasti langsung terpana.
Sepertinya aku pernah melihat orang ini, tapi dimana?
 "Sin, kok diem di situ. Temannya diajak ngobrol dong, jangan dianggurin," Yanti yang melihat Sintia mematung di tangga menegurnya.
"Nggak usah repot-repot, Tan. Abi cuman sebentar kok." akhirnya laki-laki itu membuka suaranya melihat Yanti membawakan sebuah minuman manis.
"Lama juga gapapa kok Abi. Anggap rumah sendiri." ledek Yanti.
Gelang biru itu kan yang pernah anak hitam itu pakai... Sintia mencoba mengingat kejadian yang berhubungan dengan gelang biru itu. Setelah tidak menatap wajah laki-laki tampan itu, dia akhirnya berani menengadah dan menatapnya dengan segudang pertanyaan. Abizar membalas tatapan Sintia dengan senyuman yang manis.