"Ibu izin keluar kelas dulu ya, mau mengontrol kelas yang lain juga. Nanti satu jam terakhir pelajaran ibu akan kembali," tegas Bu Neli.
Ruang menjadi sedikit hening, seluruh siswa mulai serius mengerjakan tugas. Â Terlebih arahan dari seorang guru BK yang membuat mereka sedikit takut. Di antara mereka ada yang bertugas mencatat, mengamati, dan ada pula yang memberikan penjelasan berdasarkan apa yang telah diamati.
Satu jam kemudian, Bu Neli kembali masuk ruang kelas IX.5 sesuai janjinya. Tanggung jawabnya sebagai guru piket hari ini sungguh luar biasa. Apalagi dia tahu kelas IX.5 adalah kelas yang membutuhkan pengawasan khusus karena ada ada satu anak yang menjadi catatan BK.
Bu Neli mengawasi anak-anak, terutama pandangannya berkali-kali dia fokuskan kepada Toni. Toni diam tertegun masih mengamati benda peninggalan sejarah itu. Tidak lama kemudian meneteskan air mata. Lalu dia tersadar, perlahan menyeka air matanya. Ibu Neli memperhatikannya, kemudian menghampiri dengan rasa penasaran.
"Toni, kenapa kamu menangis? Kamu tidak sedang drama kan?"
Ibu Neli mencandainya. Kali ini Toni tidak menimpali. Dia hanya terdiam, tanpa sepatah kata pun.
"Kamu sakit?" tanya Ibu Neli kembali.
Toni hanya menggeleng kepala.
"Lalu kenapa kamu menangis?"
"Aku merasa menyesal, selama ini udah jadi anak yang nakal, dan bisanya hanya menyusahkan orang tua dan guru saja."
"Apa hubungannya dengan tulang belulang itu? Ibu melihatmu meneteskan air mata saat mengamati benda itu."