Mohon tunggu...
Tamariah Zahirah
Tamariah Zahirah Mohon Tunggu... Penulis - Guru di SMPN 3 Tambun Utara

Menulis salah satu cara menyalurkan hobi terutama dalam genre puisi dan cerpen. Motto : Teruslah menulis sampai kamu benar-benar paham apa yang kamu tulis!

Selanjutnya

Tutup

Roman

Menua Bersama

2 Februari 2024   17:55 Diperbarui: 2 Februari 2024   17:56 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Tema : Menua Bersama 

Judul :  JINGGA DI SENJA KELABU

Karya : Tamariah Zahirah 

Genre : Romance 

Jingga. Satu nama yang masih belum beranjak dari beranda kenangku. Mengingat dirinya serupa kunang-kunang. Indah, namun tak mampu kujangkau meski lelah menjelajah malam yang kian bu*ta. 

Menunggunya datang adalah sebuah kesia-siaan, pernah mencintainya adalah perjuangan yang paling luka. Biarkan aku tetap di sini dalam doa-doa yang tiada henti. Nyatanya ia tak akan pernah kembali. 

"Galang ... ayo kita pulang! Sebentar lagi malam akan datang," bisikan lirih Vina membuyarkan lamunanku. 

"Iya, Vin," jawabku pelan. 

"Sampai kapan kamu di sini?"

Aku terdiam. Cukup aku yang tahu bagaimana diri berjuang bangkit dari keterpurukan. Kutatap sepintas wajah Vina, sahabat sejak kecil yang menemaniku. 

Pandanganku kembali fokus jauh ke tengah samudera lepas. Kusesapi suara deru ombak yang meramaikan pesisir kala senja, namun tetap saja bisingnya tak dapat mengusir sepi. 

"Lang, kamu tahu? Hatiku bagai tersayat sembilu melihatmu serupa mayat hidup," rintih Vina.

Entah sudah yang keberapa kali kata-kata itu tertuju untukku. Nyatanya aku memang tak pernah menggubrisnya. Aku tetaplah sebongkah jiwa yang kaku, geming merawat sedu yang begitu perih.

Masih kuingat saat pertama bertemu dengan Jingga. Perempuan  satu-satunya yang mampu menyihir pikiranku. Pesonanya membuat mataku membidik kagum, ingin sekali mengenalnya lebih jauh. Usahaku begitu gigih untuk sekadar mendapatkan perhatiannya. 

"Ah, dasar cinta memang gi*la!" ketusku.

"Hi ... Jingga. Kenalkan namaku Galang. Mahasiswa paling femes di kampus Bina Nusantara, Jakarta." Aku menghadang Jingga yang berjalan menuju kantin. Gayaku sok kepedean demi mendapat simpati Jingga. 

Kuulurkan tangan, berharap jingga segera menyambut dengan senang hati. Dia hanya tersenyum kecut, mendengar ocehan tak bermutuku. Tak peduli respon Jingga seperti apa, aku tak menyerah. 

"Aku mengambil jurusan teknik mesin di kampus ini, karena aku suka hal-hal yang berbau otomotif. Selain itu aku juga suka dengan keindahan, seperti menatap wajahmu," celetukku merayu. 

"Oh, ya! Rupanya aku dalam perangkap jala sutera sang perayu ulung," celoteh Jingga dengan muka jutek. 

"Suer! Aku tidak sedang merayumu. Ini fakta yang harus kamu terima, Jingga. Aku salah satu pengagum beratmu."

"Maaf, di kampus ini aku sudah khatam mana yang tulus dan modus. Tolong jauhi aku!" tegas Jingga, sorot matanya berbeda dari sebelumnya. 

Jingga menajamkan pandangan ke arahku.  Ada amarah terbesit, namun tak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Membuatku terus menggodanya. 

"Kamu makin cantik kalau marah. Jika illfeel dengan rayuan bu*aya di kampus ini, hubungi aku. Siapa tahu aku bisa menyervis hatimu," ledekku. 

"Dih, makin aneh saja kelakuannya!" nyinyir Jingga sambil menyingkirkan badan besarku yang masih berdiri di hadapannya. 

"Awas aku mau lewat!" seru Jingga.

Gubrakkk....

Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari genggamanku. Sejak awal sengaja aku sembunyikan di belakang badan. Rangkaian bunga mawar berwarna biru yang sengaja kupersiapkan untuk Jingga. Aku tahu Jingga pengagum mawar biru.     

"Jingga ... aku mohon terimalah bunga ini! Jika hatiku tak kamu hargai, setidaknya bunga spesial pemberianku," pintaku memelas.  

"Baiklah ... aku terima bunga itu, tapi tidak hatiku. Camkan itu!" Jingga beranjak pergi meninggalkanku tanpa peduli lagi perasaanku. 

Aku begitu sedih dan kecewa. Perjuanganku untuk mendapatkan simpati Jingga sia-sia. Semua jurus telah kukeluarkan. Ternyata Jingga bukan cewek yang mudah dirayu. 

Dari kejauhan terlihat Vina memperhatikanku. Rupanya diam-diam ia mengikuti ke mana aku pergi. Positif thinking saja, mungkin ia khawatir denganku. Hanya dia sahabat baikku yang begitu peduli dalam hal apa pun. 

***

Vina menghampiriku yang sedang duduk di taman kampus dengan wajah semringah. Seolah tak tahu apa yang terjadi padaku. Biarkan saja, aku tak ingin memancingnya membuka cerita yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. 

Sejak SD, SMP, SMA, hingga di bangku kuliah Vina selalu memilih tempat menuntut ilmu yang sama. Entah ini kebetulan atau unsur kesengajaan, yang kutahu banyak pilihan di luar sana.

Lagi, lagi, dan lagi, selalu kutemui Vina di setiap sudut sekolah sampai  kampus ini. Jemu? Tentu tidak. Sebab Vina selalu punya cara membuatku bahagia. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, meski tak lebih hanya sekadar sahabat. 

"Halo, Lang. Kamu sudah makan? Aku bawakan cheese burger untukmu," sapa Vina. 

"Terima kasih, Vin. Aku belum lapar." 

"Jangan gitu, Lang. Nanti kamu sakit! Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu. Sebab ...." Vina tak melanjutkan kata-katanya. Berharap aku meresponnya. Nyatanya aku lebih memilih diam. 

Untuk apa menanyakan sesuatu yang sebenarnya kutahu jawabannya? Aku tak ingin membuat Vina terluka, jika mendengar kejujuranku yang amat pahit. 

Aku ingin merawat persahabatan ini dengan tulus tanpa harus ada kata cinta, yang pada akhirnya membawa pada jurang kelukaan. Sebab cinta teramat bulus ketika tak berjalan mulus. Terkadang  benci semakin dalam menghunus.

"Cukup tahu saja, Vin. Hadirmu adalah pelengkap hidupku. Aku ingin bersamamu hingga maut memisahkan. Bahkan ketika kita telah menua bersama pilihan masing-masing. Percayalah persahabatan kita lebih dari segalanya," ucap batinku. 

***

Hari sudah siang, terik mentari menguliti kepala. Namun panasnya belum mampu mengalahkan hatiku yang masih meradang. Akibat terbakar api cemburu mendengar cerita Vina, bahwa Jingga sudah memiliki kekasih. 

Bagai menelan pil pahit, aku harus kuat menerima kenyataan. Namun perubahan yang ada pada diriku tak bisa disembunyikan. Aku yang dulu riang kini lebih banyak murung. Mahasiswa yang dulu sangat aktif mengikuti kegiatan kampus kini hanya menjadi penonton. "Ah, derita cinta tiada akhir," keluhku. 

"Bukankah itu Jingga? Sedang menunggu siapa di tepi jalan," gumamku. Aku memperhatikan Jingga dari kejauhan, tepat pada sebuah warung kecil di depan kampus. 

Baru saja aku hendak berdiri, bermaksud menghampiri. Urung ketika sebuah mobil sedan berhenti persis di depan Jingga. Seorang lelaki berbadan tegap dan tinggi keluar dari mobil. Mungkin itu kekasih Jingga. "Ah, untuk apa sih aku kepo," cetusku. 

Sungguh aku penasaran memperhatikan gerak-gerik mereka, sepertinya ada yang tidak beres. Mereka saling tunjuk dan menuding. Sesekali Jingga mendorong tubuh lelaki itu. Sepertinya mereka sedang bertengkar hebat. 

Jingga terlihat sangat marah, lalu berbalik badan menjauhinya. Tanpa sadar ada truk yang melaju kencang menghantamnya ketika hendak menyebrang jalan. 

Brughhh ....

Aku dikagetkan dengan suara hantaman benda keras. Bergegas berlari sekencang-kencangnya menghampiri Jingga . 

"Jinggaaa ....!!"teriakku panik.

"Jingga, kenapa kamu? Bangun! Kamu tidak boleh pergi. Aku di sini akan menjagamu. Aku mencintaimu," teriakku kencang. 

Aku menam*par-nam*par pelan wajah Jingga yang sudah dipenuhi darah segar. Perlahan meletakkan kepalanya di kedua lututku. Aku menangis sejadi-jadinya, tidak kuat melihat Jingga terkapar tak berdaya. 

"Izinkan aku menua bersamanya ya, Rab. Jangan biarkan Jingga mati," pintaku penuh harap. 

"Maafkan aku, Lang. Aku sudah membuatmu menderita," bisik Jingga pelan, napasnya tercekal hingga tak mampu berkata-kata. Tiba-tiba suara desah napasnya mengerang panjang, Jingga pun menutup mata. 

Tanpa sadar sudah banyak orang mengerumuniku dan Jingga.

Karena tidak ada saksi lain saat kejadian, hanya aku dan kekasih Jingga, namun ia melarikan diri setelah kejadian. Saat polisi datang ke TKP aku yang dituduh menyebabkan nyawa Jingga melayang. 

Dalam kondisi yang tak lagi berpikiran fokus, yang ada di otakku hanya Jingga dan Jingga. Aku pasrah saja, bahkan mengiyakan apa saja yang dituduhkan kepadaku. Hingga aku divonis hukuman penjara selama 15 tahun, berdasarkan pasal 338 KUHP. 

***

Hari ini hari yang membahagiakan bagiku. Rencananya aku akan dibebaskan. Lima belas tahun sudah, aku menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak kuperbuat.

Semoga Jingga tenang. Toh, kekasihnya telah menerima hukuman setimpal atas perbuatannya. Vina mengabarkan kecelakaan tragis yang menimpanya, mungkin itu balasan dari Tuhan.  

Vina datang menjemputku dengan mobil yang dikendarainya sendiri. Senyum mengembang di bibirnya, mengalahkan mentari yang bersinar pagi ini. Tidak lama Vina sudah berdiri di hadapanku. Aku mencoba berbicara padanya dari hati ke hati. 

"Vina ... tidakkah kamu menyesal, menghabiskan separuh waktumu untukku? Aku hanya lelaki yang tak tahu diri. Kamu terlalu baik untukku," ucapku sambil menatap lekat wajah Vina yang mulai terlihat gurat menua, namun tak mengurangi kecantikannya. 

Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Vina dengan setia menjengukku di penjara. Selalu hadir ketika kubutuhkan. Mendampingiku di setiap sidang. Waktu, tenaga, dan materi telah dikorbankan. Entah dengan apa aku membalas kebaikannya. 

"Aku tak akan pernah menyesal. Justru akan menyesal jika meninggalkanmu dalam keadaan terpuruk. Aku ingin selalu bersamamu, tak peduli usia dan raga ini semakin renta. Plis, jangan pernah mempertanyakan tentang penyesalan."

Tidak terasa mataku mengembun, ada haru membendung di pelupuk yang basah. Sungguh aku tersentuh dengan ketulusan Vina meski ini bukan yang pertama. 

Rasanya terlalu kejam jika aku menghukumnya dengan cara yang tak adil. Belajar mencintainya, bukankah satu hal yang paling bijak untuk membalas kebaikannya?

Kuserahkan semua pada Tuhan, jodoh, maut, dan rezeki ada di tangannya. Jika Vina ditakdirkan untukku hingga akhir hayat, maka biarkan masa-masa tua nanti 

kujalani bersamanya.

"Aku hanya butuh waktu untuk mencintaimu. Kuharap kamu bersabar. Aku yakin cinta yang tulus akan kamu dapatkan, sebagaimana ketulusanmu yang tak pernah  kuragukan." 

"Aku akan sabar menunggu. Jika tidak, mungkin sejak dulu aku sudah meninggalkanmu," ungkap Vina. 

***

Aku dan Vina menjalankan kehidupan normal seperti biasanya. Alhamdulillah setelah keluar dari penjara banyak tawaran pekerjaan yang aku terima. 

Allah Maha Baik, seperti apa pun latar belakang kehidupanku, masih banyak orang yang percaya padaku. Sehingga aku punya kesempatan bisa bekerja di salah satu perusahaan otomotif ternama di Jakarta sebagai staf kantor di bagian engineering.

Ketika waktu luang, Jingga selalu hadir dalam memoriku. Bersama kehangatan sang senja di lautan lepas, aku selalu mengenangnya. 

Di sana aku melihat begitu terang kemilau "Jingga" di ufuk mega.

Seakan Jingga hadir memberi salam sebelum mentari menutup hari. 

Aku tak akan pernah lelah menanti Jingga sekalipun dalam senja kelabu, seperti Vina yang tak pernah lelah menemaniku hingga temaram datang mengubur kenangan. 

TAMAT

Jakarta, 01 Februari 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun