"Lang, kamu tahu? Hatiku bagai tersayat sembilu melihatmu serupa mayat hidup,"Â rintih Vina.
Entah sudah yang keberapa kali kata-kata itu tertuju untukku. Nyatanya aku memang tak pernah menggubrisnya. Aku tetaplah sebongkah jiwa yang kaku, geming merawat sedu yang begitu perih.
Masih kuingat saat pertama bertemu dengan Jingga. Perempuan satu-satunya yang mampu menyihir pikiranku. Pesonanya membuat mataku membidik kagum, ingin sekali mengenalnya lebih jauh. Usahaku begitu gigih untuk sekadar mendapatkan perhatiannya.Â
"Ah, dasar cinta memang gi*la!" ketusku.
"Hi ... Jingga. Kenalkan namaku Galang. Mahasiswa paling femes di kampus Bina Nusantara, Jakarta." Aku menghadang Jingga yang berjalan menuju kantin. Gayaku sok kepedean demi mendapat simpati Jingga.Â
Kuulurkan tangan, berharap jingga segera menyambut dengan senang hati. Dia hanya tersenyum kecut, mendengar ocehan tak bermutuku. Tak peduli respon Jingga seperti apa, aku tak menyerah.Â
"Aku mengambil jurusan teknik mesin di kampus ini, karena aku suka hal-hal yang berbau otomotif. Selain itu aku juga suka dengan keindahan, seperti menatap wajahmu," celetukku merayu.Â
"Oh, ya! Rupanya aku dalam perangkap jala sutera sang perayu ulung," celoteh Jingga dengan muka jutek.Â
"Suer! Aku tidak sedang merayumu. Ini fakta yang harus kamu terima, Jingga. Aku salah satu pengagum beratmu."
"Maaf, di kampus ini aku sudah khatam mana yang tulus dan modus. Tolong jauhi aku!" tegas Jingga, sorot matanya berbeda dari sebelumnya.Â
Jingga menajamkan pandangan ke arahku. Ada amarah terbesit, namun tak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Membuatku terus menggodanya.Â