"Bukankah itu Jingga? Sedang menunggu siapa di tepi jalan," gumamku. Aku memperhatikan Jingga dari kejauhan, tepat pada sebuah warung kecil di depan kampus.Â
Baru saja aku hendak berdiri, bermaksud menghampiri. Urung ketika sebuah mobil sedan berhenti persis di depan Jingga. Seorang lelaki berbadan tegap dan tinggi keluar dari mobil. Mungkin itu kekasih Jingga. "Ah, untuk apa sih aku kepo," cetusku.Â
Sungguh aku penasaran memperhatikan gerak-gerik mereka, sepertinya ada yang tidak beres. Mereka saling tunjuk dan menuding. Sesekali Jingga mendorong tubuh lelaki itu. Sepertinya mereka sedang bertengkar hebat.Â
Jingga terlihat sangat marah, lalu berbalik badan menjauhinya. Tanpa sadar ada truk yang melaju kencang menghantamnya ketika hendak menyebrang jalan.Â
Brughhh ....
Aku dikagetkan dengan suara hantaman benda keras. Bergegas berlari sekencang-kencangnya menghampiri Jingga .Â
"Jinggaaa ....!!"teriakku panik.
"Jingga, kenapa kamu? Bangun! Kamu tidak boleh pergi. Aku di sini akan menjagamu. Aku mencintaimu," teriakku kencang.Â
Aku menam*par-nam*par pelan wajah Jingga yang sudah dipenuhi darah segar. Perlahan meletakkan kepalanya di kedua lututku. Aku menangis sejadi-jadinya, tidak kuat melihat Jingga terkapar tak berdaya.Â
"Izinkan aku menua bersamanya ya, Rab. Jangan biarkan Jingga mati," pintaku penuh harap.Â
"Maafkan aku, Lang. Aku sudah membuatmu menderita," bisik Jingga pelan, napasnya tercekal hingga tak mampu berkata-kata. Tiba-tiba suara desah napasnya mengerang panjang, Jingga pun menutup mata.Â