Mohon tunggu...
Talitha Fadhilah Azhar
Talitha Fadhilah Azhar Mohon Tunggu... Penulis - absen 31 XI MIPA 3

Pelajar SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Ganggu Sepatuku!

16 November 2020   10:46 Diperbarui: 16 November 2020   10:57 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebakaran hebat terjadi di salah satu rumah di distrik Alasta dengan menewaskan dua korban jiwa. Setelah dua jam usaha pemadaman, api berhasil ditaklukan dan polisi segera menginvestigasi TKP. Ditemukan dua jasad yang hangus terbakar di halaman belakang rumah dengan sebuah gelang ber—Bzztt bzzztt

Dion keluar dari dapur melewati tv di ruang tengah setelah selesai sarapan. "Haih, lagi-lagi berita ini. Gak cuma artis, ternyata kebakaran bisa naik daun juga."

Tik! Dion mematikan tv usang nan bising itu karena sinyalnya yang tidak pernah bagus. Jam dinding terus berdenting menunjukan pukul 6.15 pagi.

"Dika! Cepet  makan sarapanmu atau aku tinggal!" seru Dion yang duduk di teras untuk memakai sepatunya.

"Iya bawel!" Dika, adiknya yang dua tahun lebih muda, buru-buru turun dari kamarnya di lantai atas menuju meja makan, menggigit sebuah roti lapis lalu membawanya ke teras. Setelah Dika keluar, Dion mengunci rumah dan baru saja akan keluar pekarangan ketika ia melihat adiknya yang sibuk mengunyah sarapan. Lebih tepatnya ke kaki Dika. "Ekhem," Dion terbatuk sengaja.

 Ah, mulai lagi deh, pikir Dika. Sebelum kakaknya berkata sepatah kata apapun, Dika berencana langsung pergi meninggalkannya.

"Tunggu." 

Dika memutar bola matanya malas. "Apalagi?"

"Gak bisa kamu beli dan pakai sepatu lain?" sindir Dion.

Dika menghela napas gusar. "Bukan urusan kakak."

"Kamu gak malu? Coba saja lihat, bolong, robek, kotor, lusuh banget. Heran, kenapa gak mau ganti sih? Gak ada duit? Sini kakak beliin!" sepatu Dika memang tak pernah luput dari pantauan kakaknya. Terlepas dari rupanya yang sangat tidak layak pakai, entah ada masalah apa di antara Dion dan sepatu adiknya hingga ia sangat membenci dan bersikeras membuang sepatu itu. Toh, Dika sendiri tidak masalah memakainya, kenapa Dion  harus mempermasalahkannya?

"Kakak juga selalu pakai gelang itu. Udah dekil, kayak cewe juga. Gak malu?"

"Gak, tuh? Gelangku gak sebuluk sepatumu, tau! Lagian ini cuma aksesoris dan kecil, ga kayak—H,hey!" Dika yang mulai kesal pergi meninggalkan Dion tanpa membiarkan kakaknya selesai bicara.

"Kamu atau kakak yang buang?" teriak Dion yang terpaut beberapa meter dari Dika.

Dika membalikan badannya lalu tersenyum remeh dan menatap kakaknya, "Coba saja." Sesaat setelahnya, ia kembali melangkahkan kakinya menuju sekolah.

A, apa-apaan tadi? Bola matanya... berdarah? pikir Dion. Ia mengernyitkan dahinya, hal tadi terasa begitu janggal. Apa aku salah lihat ya? Ah, sudahlah. Paling salah lihat, pikirnya. Ia pun berlari ke sekolahnya yang hanya berjarak  lima ratus meter sekalian menyusul Dika.

***

Dion baru saja pulang dari sekolah yang melelahkan. Begitu ia sampai di rumah, pintu depan sudah terbuka lebar dan tidak dikunci. Ah, Dika sudah pulang rupanya? pikinya. Memang Dika memiliki kunci pintu duplikat dan sampai di rumah lebih dulu . Anehnya, bila Dika sudah pulang duluan, Dion akan mendapati dapur yang berserakan makanan dan adiknya yang menonton film di sofa ruang tengah. Tetapi, semua bersih dan sepi. Tiba-tiba ... 

Ting! Sebuah pesan masuk ke hp Dion.

Dika
Main ke rumah Aksa. Tadi pulang taro tas.

Dion mematikan ponselnya. Kebiasaan, pintu gak dikunci lagi, ucapnya dalam hati. Kini Dion sendirian di rumah besar itu. "Sepi...Kapan ya rumah ini ramai lagi seperti dulu?" Dion terbaring di sofa tengah dan memejamkan matanya. Yah, sepertinya ia merindukan suasana hangat saat  orang tuanya tidak sesibuk sekarang. "Ah, kenapa mereka tidak pernah pulang sih? Kerja ya kerja, tapi bisa kan telpon atau tanya kabar anaknya sesekali?"

"Sudah lah, mau diapakan lagi...Ah," Tiba-tiba Dion teringat akan sepatu adiknya. Satu-satunya waktu ketika Dika bisa lepas dari sepatu jelek itu adalah saat dia main ke rumah temannya. Ribet katanya. Berarti di saat seperti inilah Dion bisa menyingkirkan sepatu dekil yang selalu dipakai adiknya sejak lama itu. 

Setelah dicari kesana kemari, Dion mendapati sepatu itu ada di kolong kasur Dika yang cukup gelap. Betapa terkejutnya ia ketika menunduk untuk mengambil sepatu itu. Sepasang mata merah darah muncul untuk sepersekian detik lalu kembali lenyap di kegelapan. Dion mengambil sepatu lusuh itu secepat kilat lalu pergi menuju kamarnya. Halusinasi? Kucing nyasar? Setan? Tadi apaan sih? Pertanyaan itu terus menggema di kepala Dion. Dirinya berusaha melupakan mata itu dan memasukan sepatu ke dalam kotak pribadinya. Kotak itu disimpan di bagian kamar Dion hanya ia seorang yang tahu. Dengan begini, Dika akan berhenti memakai sepatu memalukan itu.

***

Keesokan harinya, seperti kegiatan rutin dua kakak-beradik ini, Dion kembali menunggu adiknya yang masih di lantai dua. "Buruan! Ngapain sih? Masa kalah sama keong?" gerutu Dion di ambang pintu rumah mereka.

"Kak, liat sepatuku gak?" teriak Dika dari kamarnya. Tentu saja tidak akan ketemu; Dion sudah menyembunyikannya. Sebagai gantinya, ia sudah membelikan sepatu baru untuk Dika.

"Kakak udah bel-"

"Gak jadi kak! Udah ketemu!" sontak Dion terkejut. Dika yang sudah turun dengan sepatunya duduk di teras rumah menunggu Dion yang mengunci pintu.

"Ketemu dimana?" tanya Dion.

Dika yang fokus dengan ponselnya beralih menatap Dion, "Hm? pojokan kamar. Kenapa?"

".... Gak apa. Ayo jalan," Bagaimana bisa ada di kamar Dika? Kamar mereka berdua saja berbeda lantai. Ditambah kamar Dion yang selalu dikunci, bahkan ketika ada dirinya di dalam. Tidak masuk akal. Itulah yang Dion pikirkan selama berjalan ke sekolah.

***

Eh? Ini dimana? Dion tidak bisa melihat apapun. 

Tiba-tiba sebuah lampu sorot tua yang tergantung di langit-langit kayu lapuk menyala. Dion bisa melihat sekitarnya remang-remang. Ia berada di suatu ruangan dengan dinding kayu coklat pudar berdebu dan berbagai benda di dekatnya. Sepertinya ruangan ini sebuah gudang. Lampu sorot itu memberikan penuh cahayanya ke seorang anak kecil, terpaut cukup jauh dengan Dion. Bocah lelaki itu cukup pendek, berpakaian putih terkotori tanah dengan banyak lubang dan sobekan, memakai celana pendek coklat pudar serupa warna lantai kayu, namun terpercik sesuatu berwarna merah... Darah.

Anak itu tampak normal dan menyedihkan, lebih seperti pengemis. Kecuali untuk bercak darah dan apa yang ada di kakinya. Sepatu usang dan lusuh. Sedikit koyak di bagian ujungnya. Persis seperti sepatu Dika! Bercak darah menutupi hampir seluruh sepatunya. Kemudian anak itu berbisik sesuatu yang tidak bisa Dion dengar. Perlahan suara halus itu berubah menjadi teriakan seiring mengembangnya seringai yang melebihi batas wajar. Seringai membunuh yang lebih lebar dari ukuran mulut manusia yang mulai menunjukan seluruh taring tajam di dalamnya.

     
"Jangan pisahkan aku... Sepatuku... Jangan pisahkan aku... Sepatuku..." bisiknya.

Pupil hitam anak itu bergerak ke pelupuk atas sampai mata anak itu putih sepenuhnya. "JANGAN PISAHKAN AKU! SEPATUKU!" pekik anak itu yang suaranya perlahan berubah dari suara nyaring khas anak kecil menjadi berat layaknya monster, membuat Dion terperanjat.

"KAU!" anak itu menunjuk ke arah Dion. Dion terpaku diam. Jantungnya bagaikan dicengkram kuat oleh tangan dengan kuku tajam yang tertancap hingga menembus. 

Jari yang menunjuk itu berubah menjadi jari yang siap mencekik, "MATIII ... HAHAHAHA" suara serak, berat, dan tawa keras bersamaan dengan seringai itu tidak merubah posisi Dion. Bahkan wajah Dion tak bisa bergerak karena sangat ketakutan.

Kaki anak itu diam menumpu pada lantai, namun dapat bergerak cepat mendekati Dion. Anak itu melesat dengan tangan kanan yang lurus mengincar lehernya, bersama kuku yang memanjang dan runcing, siap untuk mencekik. Dion bagaikan sasaran yang diikat dan hanya bisa memejamkan mata sebelum kematiannya.

PATS!

"Dion! Lo kenapa?" Rico, teman sebangku Dion, dikejutkan dengan temannya yang tiba-tiba bangun dari tidurnya selagi memegangi leher dengan keringat bercucuran. "Woy, sadar! Lo sehat?" Rico mengguncangkan tubuh Dion yang wajahnya memucat. 

"Ah, mimpi itu ...." Ternyata Dion sudah  tertidur cukup lama. 

"Mau ke UKS?" Rico mulai khawatir.

Dion masih tidak fokus, "Oh, enggak, gak usah. Thanks," Dion mengatur napas tersengalnya sambil mengusap keringat dinginnya. Malapetaka apa lagi ini?

***

Dua minggu sudah berlalu sejak mimpi menyeramkan itu. Dion memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Bagaimana ia dibunuh oleh bocah lelaki yang sama sekali tak ia kenal. Lalu terbangun di tengah malam dan tak bisa tidur kembali. Belum lagi adiknya, Dika, yang keanehannya semakin menjadi-jadi. Dika selalu menunjuk ke arah Dion setiap kali mereka bertemu. Tangannya lurus menunjuk tanpa bicara apapun. Namun, Dion dapat merasakan adiknya berbicara sesuatu dan tatapan kosongnya itu memberikan untaian kata yang tak bisa Dion tangkap. 

Di sekolah, rumah, tempat umum, sama saja. Dika terus menunjuk walau tidak ada tindakan berarti atau agresif. Bahkan ketika di rumah, Dika membuntuti kakaknya hingga pintu kamar Dion. Begitu Dion mengunci kamar, barulah Dika kembali ke kamarnya dan mengurung diri. Aneh, seram, dan merinding. Itulah yang Dion rasakan selama dua minggu ini. Dion tidak tahan lagi. Frustasi hebat dan kurang tidur. Ia pikir ini semua berhubungan erat dengan sepatu itu. 

Berulang kali ia membuang benda itu ke pembuangan sampah, namun esoknya sepatu itu kembali. Menguburnya di lahan yang jauh, besoknya balik lagi. Menyembunyikannya di loteng, esoknya muncul lagi. Di setiap usaha yang Dion lakukan, selalu terdapat sekelibat bayangan hitam ataupun mata putih di sekitarnya. Hanya kurang dari satu detik sebelum semua itu kembali lenyap. Dan pasti esok harinya benda itu muncul lagi. Kapan hal ini akan berakhir? Sudah muak dengan mimpi, sepatu, dan adiknya, hari ini Dion akan membakar diam-diam sepatu itu. Bakar hingga menjadi abu. Malam ini juga.

Dion mengendap ke kamar Dika dan berhasil mendapatkan sepatu itu. Ia tahu kalau adiknya paling tidak bisa dibangunkan kalau sudah tidur, jadi semua aksi mengambil sepatunya berjalan lancar. Sekarang sudah tengah malam. Dion terlalu malas untuk mencari tempat yang jauh untuk membakar sepatu. Jadilah ia membakarnya di halaman belakang rumah. Dion menyalakan korek gas yang sudah ada di tangannya. Ia menatap sendu api itu sejenak, bertanya-tanya kapan mimpi buruk ini akan selesai?

"Kenapa sepatu ini selalu balik lagi sih? Tolong, jangan pernah kembali," lirih Dion berbicara sendiri layaknya orang gila. Ia lalu mendekatkan ujung api ke sepatu itu, membiarkan benda lusuh setengah koyak itu dijilat oleh api.

"Kak? Lagi apa?"

Deg! Itu suara Dika!

"Bakar apa?" seru adiknya lagi.

"Kak! Jawab!" pekikan Dika kali ini membuat Dion membalikan badannya. Ia melihat Dika berdiri di balkon kamarnya di lantai dua dengan piyama birunya.

"Ka-ak ja-wab," Dion membelalakan mata. Mendapati suara Dika yang semakin berat dan serak. Suaranya persis dengan saat itu... Dion kembali teringat akan mimpinya selama ini.

Tinggi Dika yang setara dengannya terlihat mengecil. Piyama biru berlengan panjangnya berubah menjadi putih berlengan pendek, ternodai tanah, juga perlahan mengelupas dan berlubang. Celana biru satin panjangnya berubah menjadi pendek kecoklatan. Pupil hitam Dika bergulir ke atas menyisakan warna putih seluruhnya. Mata putih Dika kemudian meneteskan cairan kental merah... Darah. Mengubah putih matanya menjadi merah gelap sebelum menghitam. Hitam pekat seakan ada kekosongan di tempat bola mata Dika seharusnya berada. 

Kini kakinya mulai terbakar. Kobarannya semakin hebat bersamaan dengan jilatan api di sepatu lusuh yang Dion bakar. Sementara Dion? Hanya bisa berdiri diam melebihi patung persis seperti mimpinya. "Jangan pisahin aku kak..." suara Dika sempat terdengar ssperti suara bocah di mimpi Dion sebelum memberat.

"Jangan... Pisahin... Aku... Sepatuku... HAHAHAHAHAHA" Dika, atau bisa disebut bocah laki-laki itu, mulai menyeringai ketika ia memutus-mutus perkataannya dan tertawa. Tubuh bocah itu terbakar sepenuhnya. Bocah yang berada di balkon lantai dua itu entah bagaimana berpindah ke teras halaman belakang masih dengan api di tubuhnya.

"Sudah ku bilang, kalau ingin membuangnya, coba saja," dia mulai berjalan pelan ke arah Dion yang masih terpaku tanpa memberontak. "Dan asal kau tau, Dika itu tidak ada,"

"Kenapa sepatu itu terus kembali, katamu?" Kali ini bocah itu memakai suara Dika. Kuku panjang nan runcingnya mencuat hingga menyentuh tanah.

"Hahahaha," bocah itu berhenti melangkah. Kini mereka hanya berjarak beberapa langkah, "Karena aku yang tak mau pergi, bodoh," tangan terbakar bocah itu lurus memanjang, mengincar leher Dion. Sekarang Dion sadar, selama ini ia tinggal bersama monster.

***

Kebakaran hebat terjadi di salah satu rumah di distrik Alasta dengan menewaskan satu korban jiwa. Setelah dua jam usaha pemadaman, api berhasil ditaklukan dan polisi segera menginvestigasi TKP. Ditemukan satu jasad dengan sebuah gelang hitam ditemukan di tangan kanan korban. Leher korban terkoyak habis. Saksi mata yang diduga adik korban trauma berat dan dibawa ke rumah sa—

Tik!

"Dika, lagi apa? Kok bengong begitu?" tanya suster yang sedang mengambil piring bekas Dika di dekat TV.

"Nonton."

"Loh, TV-nya kan masih rusak?" tanya suster keheranan. Dika hanya tersenyum cekikikan. 

Suster itu langsung pergi dengan perasaan aneh ketika selesai dengan tugasnya.

"Jangan pisahkan aku... sepatuku!"

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun