"Kakak juga selalu pakai gelang itu. Udah dekil, kayak cewe juga. Gak malu?"
"Gak, tuh? Gelangku gak sebuluk sepatumu, tau! Lagian ini cuma aksesoris dan kecil, ga kayak—H,hey!" Dika yang mulai kesal pergi meninggalkan Dion tanpa membiarkan kakaknya selesai bicara.
"Kamu atau kakak yang buang?" teriak Dion yang terpaut beberapa meter dari Dika.
Dika membalikan badannya lalu tersenyum remeh dan menatap kakaknya, "Coba saja." Sesaat setelahnya, ia kembali melangkahkan kakinya menuju sekolah.
A, apa-apaan tadi? Bola matanya... berdarah? pikir Dion. Ia mengernyitkan dahinya, hal tadi terasa begitu janggal. Apa aku salah lihat ya? Ah, sudahlah. Paling salah lihat, pikirnya. Ia pun berlari ke sekolahnya yang hanya berjarak  lima ratus meter sekalian menyusul Dika.
***
Dion baru saja pulang dari sekolah yang melelahkan. Begitu ia sampai di rumah, pintu depan sudah terbuka lebar dan tidak dikunci. Ah, Dika sudah pulang rupanya? pikinya. Memang Dika memiliki kunci pintu duplikat dan sampai di rumah lebih dulu . Anehnya, bila Dika sudah pulang duluan, Dion akan mendapati dapur yang berserakan makanan dan adiknya yang menonton film di sofa ruang tengah. Tetapi, semua bersih dan sepi. Tiba-tiba ...Â
Ting! Sebuah pesan masuk ke hp Dion.
Dika
Main ke rumah Aksa. Tadi pulang taro tas.
Dion mematikan ponselnya. Kebiasaan, pintu gak dikunci lagi, ucapnya dalam hati. Kini Dion sendirian di rumah besar itu. "Sepi...Kapan ya rumah ini ramai lagi seperti dulu?" Dion terbaring di sofa tengah dan memejamkan matanya. Yah, sepertinya ia merindukan suasana hangat saat  orang tuanya tidak sesibuk sekarang. "Ah, kenapa mereka tidak pernah pulang sih? Kerja ya kerja, tapi bisa kan telpon atau tanya kabar anaknya sesekali?"
"Sudah lah, mau diapakan lagi...Ah," Tiba-tiba Dion teringat akan sepatu adiknya. Satu-satunya waktu ketika Dika bisa lepas dari sepatu jelek itu adalah saat dia main ke rumah temannya. Ribet katanya. Berarti di saat seperti inilah Dion bisa menyingkirkan sepatu dekil yang selalu dipakai adiknya sejak lama itu.Â