Tiba-tiba sebuah lampu sorot tua yang tergantung di langit-langit kayu lapuk menyala. Dion bisa melihat sekitarnya remang-remang. Ia berada di suatu ruangan dengan dinding kayu coklat pudar berdebu dan berbagai benda di dekatnya. Sepertinya ruangan ini sebuah gudang. Lampu sorot itu memberikan penuh cahayanya ke seorang anak kecil, terpaut cukup jauh dengan Dion. Bocah lelaki itu cukup pendek, berpakaian putih terkotori tanah dengan banyak lubang dan sobekan, memakai celana pendek coklat pudar serupa warna lantai kayu, namun terpercik sesuatu berwarna merah... Darah.
Anak itu tampak normal dan menyedihkan, lebih seperti pengemis. Kecuali untuk bercak darah dan apa yang ada di kakinya. Sepatu usang dan lusuh. Sedikit koyak di bagian ujungnya. Persis seperti sepatu Dika! Bercak darah menutupi hampir seluruh sepatunya. Kemudian anak itu berbisik sesuatu yang tidak bisa Dion dengar. Perlahan suara halus itu berubah menjadi teriakan seiring mengembangnya seringai yang melebihi batas wajar. Seringai membunuh yang lebih lebar dari ukuran mulut manusia yang mulai menunjukan seluruh taring tajam di dalamnya.
  Â
"Jangan pisahkan aku... Sepatuku... Jangan pisahkan aku... Sepatuku..." bisiknya.
Pupil hitam anak itu bergerak ke pelupuk atas sampai mata anak itu putih sepenuhnya. "JANGAN PISAHKAN AKU! SEPATUKU!" pekik anak itu yang suaranya perlahan berubah dari suara nyaring khas anak kecil menjadi berat layaknya monster, membuat Dion terperanjat.
"KAU!" anak itu menunjuk ke arah Dion. Dion terpaku diam. Jantungnya bagaikan dicengkram kuat oleh tangan dengan kuku tajam yang tertancap hingga menembus.Â
Jari yang menunjuk itu berubah menjadi jari yang siap mencekik, "MATIII ... HAHAHAHA" suara serak, berat, dan tawa keras bersamaan dengan seringai itu tidak merubah posisi Dion. Bahkan wajah Dion tak bisa bergerak karena sangat ketakutan.
Kaki anak itu diam menumpu pada lantai, namun dapat bergerak cepat mendekati Dion. Anak itu melesat dengan tangan kanan yang lurus mengincar lehernya, bersama kuku yang memanjang dan runcing, siap untuk mencekik. Dion bagaikan sasaran yang diikat dan hanya bisa memejamkan mata sebelum kematiannya.
PATS!
"Dion! Lo kenapa?" Rico, teman sebangku Dion, dikejutkan dengan temannya yang tiba-tiba bangun dari tidurnya selagi memegangi leher dengan keringat bercucuran. "Woy, sadar! Lo sehat?" Rico mengguncangkan tubuh Dion yang wajahnya memucat.Â
"Ah, mimpi itu ...." Ternyata Dion sudah  tertidur cukup lama.Â
"Mau ke UKS?" Rico mulai khawatir.