"Saya mau membeli novel ini!" kataku cepat.Â
"Saya juga mau membeli novel ini!" dia langsung menimpali.Â
Si pemilik kios kebingungan. "Tapi novel itu cuma ada satu," katanya.
"Mba," Tito menatapku tajam. "Saya penggemar berat Arswendo, dan dari semua karangannya cuma novel ini yang belum saya punya," ujarnya.
Aku mengerti. Adalah sesuatu yang membahagiakan bisa mendapatkan karya pengarang yang begitu kita kagumi. Terlebih jika karyanya itu sudah menjadi barang langka. Seandainya aku berada di posisinya dan novel yang di tangan kami adalah karya Djenar Maesa Ayu niscaya aku akan bersikap sama sepertinya. Â
"Tapi saya sangat membutuhkan novel ini untuk skripsi saya," kataku, berharap dia mau mengalah begitu mendengar kepentinganku.
Si pemilik kios masih berdiri di tengah-tengah kami, dan terlihat tambah kebingungan, matanya bergerak ke kanan-ke kiri menatap kami yang mendadak sama-sama terdiam.Â
"Jadinya bagaimana, Mba? Mas?"
Tito tersenyum. Wajahnya yang sempat agak seram berubah drastis menjadi begitu manis. Kalau saja dia pacarku aku sudah mencubit pipinya keras-keras.Â
"Baiklah, karena novel ini untuk tugas skripsimu, kau saja yang membawanya duluan. Tapi nanti setelah kau tak lagi membutuhkannya kau mau, kan, memberikan novel ini kepada saya? Saya ingin sekali membacanya," ujarnya.Â
"Bertemu dengannya lagi? Bukan sesuatu yang buruk," kataku dalam hati.Â