Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lampu Menjelang Pernikahan

29 Juli 2018   18:38 Diperbarui: 29 Juli 2018   19:59 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bukankah aku pernah bilang padamu kalau aku terbiasa tidur dengan lampu tetap menyala? Bahkan teman-temanku pun tahu itu. Karena setiap kali kami liburan mereka yang sekamar denganku mesti mengalah dengan kebiasaanku ini."

"Ya. Kau pernah menceritakannya padaku. Tapi kupikir itu bukan suatu hal yang prinsipil untukmu. Bukan sesuatu yang menjadi keharusan," jawabku, lemas

Aku dan Tito sudah dua tahun berpacaran. Kami bertemu pertama kali di salah satu kios penjual buku-buku bekas di sebuah Mall di selatan Jakarta. Saat itu aku tengah sibuk mengaduk-aduk buku fiksi yang bertumpuk di salah satu rak kios itu, mencari novel untuk tugas skripsiku, hingga kemudian novel 'Dua Ibu' karya Arswendo Atmowiloto jatuh. Aku melihatnya dan girang. Sebab itu salah satu novel yang sedang kucari. Dan seperti adegan-adegan dalam film, percaya atau tidak itu terjadi padaku dan Tito, tangan kami secara bersamaan meraih novel yang menggeletak di lantai itu. Dengan posisi setengah menjongkok kami saling bersitatap. Dan pada detik itu, bagai es yang dibakar kemudian mencair seperti demikianlah aku langsung jatuh hati pada Tito. Jatuh hati pada hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal, dan rahangnya yang tegas. Dia tipe pria idamanku. 

"Maap," kataku yang tak ingin terbuai dengan ketampanan seorang lelaki yang saat itu masih asing untukku. "Saya mau membeli novel ini."

Dia berujar."Saya juga mau membeli novel ini."

"Tapi novel ini sedang saya cari-cari."

"Novel ini juga sedang saya cari-cari."

"Kau jangan mengikuti kata-kata saya!"

"Tidak. Saya tidak mengikuti kata-katamu. Memang begitu kenyataannya!" tegasnya rada kesal. 

Aku sesungguhnya ingin tersenyum sewaktu melihat wajahnya yang tampan itu menjadi lucu begitu sedang kesal, tapi kutahan senyum itu sekuat tenaga. Dan tanpa ancang-ancang segera kutarik novel itu agar sepenuhnya berada digenggamanku, namun tertahan karena secara bersamaan dia pun menariknya. Beberapa saat kami sempat saling tarik-menarik persis anak-anak yang sedang berlomba tujuh belas agustusan sebelum si pemilik kios datang.

"Maap, mba, mas. Ada apa, ya? Kok tarik-tarikan begitu?" wajahnya tertanya-tanya, memandang kami bergantian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun