Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sakit Lidah

2 Januari 2017   11:53 Diperbarui: 3 Januari 2017   08:39 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca sangat kelabu, dingin, dan berhujan lebat. Sesekali petir berkilat-kilat diiringi gemuruh yang menggelegar.

“Langsung saja bicarakan tujuan kalian datang ke sini,” ujar Eyang Jumiwon. Dukun di sebuah kampung kecil di kaki Gunung Lawu.

Tito menoleh ke Tuti, lalu menggoyangkan kepalanya, memberi isyarat agar Tuti segera angkat bicara.

“Emm, begini, Eyang," ujar Tuti. "Sejak tiga bulan lalu lidah suami saya ini mendadak kaku dan sampai sekarang belum sembuh.”

Eyang Jumiwon sepintas melirik Tito, memperhatikan sesingkat-singkatnya wajah pasien di depannya itu, lalu kembali melihat Tuti. “Maksud sampean kaku yang seperti apa?”

“Tidak lentur seperti normalnya lidah manusia, Eyang. Akhirnya sekarang suami saya kalau bicara jadi pelo. Selain itu, Eyang. Lidah suami saya juga mati rasa. Emm…” Tuti mengernyit. “Sebenarnya tidak mati rasa, sih, Eyang. Lidah suami saya masih bisa merasa. Tapi anehnya semua jenis makanan rasanya pedas di lidah suami saya. Anehnya lagi, Eyang. Lidah suami saya ini panas kalau disentuh. Panasnya seperti api! Tapi cuma orang lain yang kepanasan kalau menyentuhnya. Sedangkan suami saya sendiri tidak. Kira-kira lidah suami saya kenapa ya, Eyang?”

Dengan kepala merunduk dan tangan sibuk memilin sirih, Eyang Jumiwon memicingkan mata ke Tito yang tengah melihatnya dengan tatapan yang begitu nestapa. Sementara Tito tadi sempat mencuri lihat mata Eyang Jumiwon yang hijau-kecokelatan, seperti warna batu-batu yang punya kekuatan menyembuhkan.

“Sudah dibawa ke dokter?”

“Sudah, Eyang. Malah kami sudah pergi ke tiga dokter yang berbeda,”

“Lalu?”

“Dokter-dokter itu heran, Eyang. Mereka bilang kalau penyakit lidah yang menjadi kaku memang ada. Nama penyakitnya... anu, Eyang, emm… apa, ya…? Aduh... namanya susah sekali, Eyang. Ribet. Sampai lupa saya,” kata Tuti. “Tapi kalau lidah yang jadi panas dan semua makanan jadi terasa pedas mereka bilang baru pertama kali mendengarnya. Tapi mereka tetap memberi obat, Eyang. Obat itu untuk menyembuhkan lidah suami saya yang kaku. Kata mereka barangkali jika lidah suami saya kembali lentur, panasnya akan turut hilang dan indera pengecap lidah suami saya akan kembali normal. Tapi sudah tiga bulan meminumnya suami saya tidak merasakan sedikit pun tanda-tanda lidahnya membaik,”

Tito mengangguk, meng-iya-kan apa yang dikatakan Tuti.

Sebelum menyambung pembicaraan, Eyang Jumiwon melahap sirih yang baru selesai dipilinnya dan telah dicampurnya dengan kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Lantas bibirnya yang keriput dan merah kehitaman itu mengatup dan menginang (bersirih).

“Tadi sampean bilang lidah suami sampean panas kayak api?”

Tuti mengangguk. Eyang Jumiwon lalu meminta Tito memelet. Begitu lidahnya dijulurkan Tito, Eyang Jumiwon menyentuhnya dan langsung tergeragap. Benar, lidah itu seperti menyulut telunjuknya laiknya api.

“Betul, kan, Eyang,” tandas Tuti. Eyang Jumiwon tak menanggapi. Pikirannya tengah terheran-heran pada lidah yang teramat panas itu. Hanya saja ekspresi tersebut tak tersirat di wajah keriput Eyang Jumiwon yang memang selalu datar dan serius. Senyum dan keceriaan seakan telah lama punah di belantara ubannya. “Apa suami saya diguna-gunai orang, Eyang?”

“Saya tidak bisa sembarangan menyimpulkan seperti itu, nanti kalau keliru malah jadi fitnah," tandas Eyang Jumiwon. "Suami sampean ada pakai jimat, susuk, atau suka ke tempat-tempat persugihan?”

“Astaga, Eyang. Kami tidak percaya dengan hal-hal mistis seperti itu,”

“Ul, Yang!” kali ini Tito sampai ikut angkat bicara. Maksud Tito ‘Betul, Eyang’. Tapi karena lidahnya yang kaku artikulasi yang keluar dari mulutnya jadi tak sempurna.

Eyang Jumiwon melirik Tito dan Tuti secara bergantian. Matanya kali ini menatap mereka agak tajam. "Kalau kalian tidak percaya pada hal-hal mistis lalu kenapa kalian datang ke sini?”

Kontan Tito dan Tuti tercekat. Kemudian menyesali apa yang mereka katakan barusan.

“Maap, Eyang. Maksud kam…”

Eyang Jumiwon menyelak sebelum Tuti selesai bicara. “Dekatkan kepala sampean!” katanya pada Tito. Dengan sedikit merunduk dan kikuk, Tito mencorongkan kepalanya. Eyang Jumiwon lantas menyemburkan sirih yang sudah lumat di dalam mulut, ke telapak tangan kanannya, lalu menjamah ubun-ubun Tito dengan tangan itu. Tuti memperhatikan Eyang Jumiwon yang kemudian memejam dengan amat kusyuk dan merapal sebuah mantra yang terdengar sangat asing dan kuno.

Lima menit berselang, Eyang Jumiwon menyelesaikan ritualnya itu. Dia menghela napas panjang dan melap telapak tangan kanannya dengan daun sirih yang diambilnya dari kendi.

“Sampean mesti sering bawa suami sampean ini ke panti-panti sosial. Sekadar melihat-lihat suasana di sana,” tuturnya.

“Buat apa, Eyang?”

“Sampean mau suami sampean sembuh tidak?”

“Mau, Eyang,”

“Sampean mau sembuh?”

Tito mengangguk cepat.

“Ya, sudah. Kalau begitu lakukan saja apa yang saya katakan secara rutin. Kalau dalam sebulan tidak membaik, datang lagi ke sini. Kalau membaik ya tidak perlu, tinggal lakukan saja terus-menerus sampai akhirnya sembuh. Gampang, kan?”

Tito dan Tuti hanya mengangguk. Pasrah.

**
Seperti yang diamanatkan Eyang Jumiwon, tiba di Jakarta, Tito dan Tuti segera mencari informasi mengenai alamat panti-panti sosial yang berlokasi dekat dengan rumah mereka dari internet dan tetangga. Setelah itu, mereka membuat catatan daftar kunjungan ke panti-panti sosial tersebut. Disela-sela kesibukan itu, Tito masih sesekali mengutarakan kejanggalan di hatinya mengenai cara pengobatan Eyang Jumiwon yang dirasanya tidak berpotensi sama sekali untuk penyembuhan lidahnya.

“Hapus keraguanmu itu, pak. Bagaimana penyakitmu bisa sembuh kalau kamu sendiri tidak percaya pada pengobatan yang akan kamu jalani,” begitu Tuti selalu berkata untuk meneguhkan hati suaminya yang bimbang.

Hari pertama kunjungan mereka ke sebuah panti asuhan, Tito masih mengeluh, menggerutu, dan bersungut-sungut. Pikirnya, masak dengan melihat-lihat suasana di panti-panti sosial lidahnya akan sembuh? Di mana korelasinya? Namun lagi-lagi Tuti yang penyabar, selalu bisa meredakan kegundahan hati Tito dan membuat suaminya tetap mau menjalani pengobatan semacam itu. Meskipun, di dalam hati Tuti sendiri juga ada sebersit ragu.

Barulah kemudian pada kunjungan mereka yang kesekian, tepatnya saat berkunjung ke sebuah panti tuna wicara, hati Tito tersentuh melihat mereka yang gagu dan bisu seperti dirinya. Bocah-bocah, remaja, hingga lansia tampak ceria dan kehidupan mereka pun damai di tengah cacat yang mereka derita. Tito menarik napas dalam sekali sampai menggigil. Hatinya dilanda keharuan yang seakan tak tertanggungkan. Di kursi panjang di bawah pohon waru itu, air matanya meleleh. Hati Tuti ngilu melihat suaminya seperti itu. Lantas, Tito dibawanya pergi dari sana, barangkali dengan begitu tangis suaminya akan reda. Dengan topangan tangan Tuti yang penuh kasih sayang, Tito meninggalkan tempat itu dengan perasaannya yang compang-camping.

Semenjak itu pada kunjungan-kunjungan mereka berikutnya, Tito merasakan lidahnya hari demi hari melentur. Tapi dia tak mau kepalang senang dulu karena tak mau berujung kecewa. Maka Tito merahasiakan gejala-gejala kesembuhannya itu dari Tuti sampai benar-benar pulih.

Malam itu, sepulang dari kunjungan mereka dari panti jompo, Tito meminta Tuti duduk sebentar menemaninya di teras menikmati angin sepoy. Tuti diam-diam terharu, karena apabila dikenangnya lagi, sudah lama sekali dia dan Tito tidak duduk berdampingan dengan santai dalam suasana malam seperti ini.

“Lihat, bu. Bulan di atas sana,” Tito menunjuk dan mendongak ke arah bulan. “Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat bulan sebesar dan seterang itu," ujar Tito. "Coba perhatikan, Bu. Bulan itu seperti hasil kreasi tangan seorang bocah yang memotongnya dari selembar kertas perak dengan gunting, lalu menempelkannya di sana. Bukankah begitu, Bu?"

Tuti agak kaget mendengar Tito berkata demikian. Baginya itu terdengar sangat puitis. Sebab kalimat itu keluar dari mulut suaminya yang selama ini dia kenal sebagai pria yang amat keras menjalani hidup. Dipandangi Tuti sisi samping wajah Tito sembari tersenyum-senyum. Sesaat kemudian, Tuti tersadar akan sebuah keajaiban baru saja terjadi dan hampir tak dia sadari.

“Pak! Barusan bapak bicaranya sudah jelas, lho! Tidak pelo lagi!” kata Tuti.

**
Pagi itu awan membercak di langit biru yang cerah. Secerah wajah Tito yang berbahagia karena lidahnya yang telah pulih. Untuk merayakan itu, hari ini Tito ingin sepuas-puasnya menghabiskan masakan Tuti yang sudah tiga bulan dirasakannya pedas. Perihal Eyang Jumiwon, Tito dan Tuti sepakat akan kembali menemuinya pada malam jumat kliwon mendatang. Karena selain di hari itu, Eyang Jumiwon tidak dapat ditemui oleh siapa pun. Konon, kabarnya, dia bertapa dan berpuasa selama empat puluh hari di puncak gunung Lawu. Lalu pada senja menjelang malam jumat kliwon barulah dia turun gunung. Tito dan Tuti berencana akan membawa segala macam perlengkapan bersirih untuk Eyang Jumiwon sebagai ucapan terimakasih mereka yang sebesar-besarnya.

Tito masih asyik menonton dan menunggu Tuti selesai memasak ketika ponselnya berdering. Sebuah nama muncul di layar. Bos Besar. Tito tak langsung menerima panggilan itu. Dia tampak bimbang. Tangannya sempat maju-mundur menggapai ponsel itu. Antara akan diterimanya atau didiamkannya saja hingga berhenti berbunyi. Nama itu sungguh memberi suatu tekanan psikologis tersendiri bagi Tito. Jantungnya dipenuhi debar-debar yang menggelisahkan. Dan pada akhirnya Tito menerima telepon itu, karena tak punya cukup nyali untuk mengabaikannya.

“Hallo, To. Apa kabar?” sapa si Bos Besar. Nada suaranya datar namun terdengar berwibawa dan berkharisma. “Bagaimana lidahmu, To? Sudah sembuh?”

“Iya, saya sudah sembuh, bos. Maap kalau sampai hari ini saya belum mengabari bos.

“Tidak apa-apa, To. Sempat uring-uringan juga saya karena kamu sakit. To, saya ada project baru. Kali ini project-nya cukup besar dan sangat penting bagi saya. Saya ingin kamu mengumpulkan massa di tanggal yang nanti akan saya tentukan, saya ingin sekitar seribu orang terkumpul. Saya yakin dengan pengalaman dan kelihaianmu berdiplomasi, itu tak akan jadi masalah buatmu. Dan kali ini saya ingin kamu melakukan provokasi di tengah demo nanti, To. Kau, kan, pandai bersilat lidah, To, jadi bikinlah sedikit keos,”

“Ta-tapi, Bos…”

“Kenapa, To? Baru kali ini saya dengar kata tapi dari mulutmu,”

“Emm, maap, bos. Tapi saya berniat mau berhenti melakukan aksi-aksi seperti…”

“Apa bayaran saya yang sebelum-sebelumnya kurang, To?" selak si Bos Besar. "Jangan kuatir, To. Kali ini saya akan membayarmu dua kali lipat dari bayaran yang biasa kamu terima,”

“Maap, bos…”

“Tiga kali lipat,”

“Bukan itu, bos…”

“Lima kali lipat,”

Tito terdiam. Mendengar tawaran yang terakhir tekadnya jadi agak mengendur juga. Tergiur dia membayangkan segelimang uang yang akan diterimanya nanti. Dengan jumlah uang itu Tito membayangkan sebuah Toyota Alphard sudah di depan mata. Tetapi sejak penyakit lidahnya itu, Tito telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi menerima tawaran dari si Bos Besar atau siapa pun yang membutuhkan jasanya untuk sebuah aksi yang serupa.

“To!” suara si Bos Besar terdengar lagi. Kali ini dia bertanya dengan intonasi yang lebih tegas. “Kapan lagi kamu akan mendapat bayaran sebesar ini?!”

Tito menelan ludahnya. Lalu menarik napas, dalam, berusaha mengokohkan kembali tekadnya yang tadi sempat kendur. “Maap, Bos. Saya tidak bisa menerima tawaran, Bos. Saya benar-benar ingin berhenti,”

“Ah, persetan dengan niatmu itu, To! Lihat saja nanti! Kamu pasti menyesal!”

Telepon langsung terputus.

Tito menarik napas lagi, panjang, lalu menaruh kembali ponsel itu di meja. Sejurus kemudian Tuti berlari-lari kecil datang padanya dengan wajah yang pucat dan cemas.

"Pak,"

“Ya, bu?”

“Bu Sutrisna datang. Marah-marah,"

“Kenapa?”

“Kita sudah tiga bulan belum bayar uang kontrakan, pak. Kalau sampai besok belum bayar, kita disuruh pindah,”

“Masak dia tidak punya pengertian sama sekali, sih! Kan bukan maksudku tidak mau bayar! Kan dia tahu aku baru sembuh! Tabungan kita habis buat berobat dan tiga bulan ini aku belum bisa bekerja karena sakit!” dada Tito kembang-kempis menahan emosi. “Bilang padanya akan kubayar besok!”

Tuti lantas pergi menyampaikan pesan suaminya itu kepada Bu Sutrisna yang masih menunggu kepastian di luar. Sementara itu, dengan mata yang nanar, nanar sekali, Tito kembali menatap ponselnya di meja. Ada semacam magnit yang menariknya untuk menggapai ponsel itu. Lalu, sedikit demi sedikit, lidahnya yang lentur dirasakannya mulai kaku lagi. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun