Eyang Jumiwon menyelak sebelum Tuti selesai bicara. “Dekatkan kepala sampean!” katanya pada Tito. Dengan sedikit merunduk dan kikuk, Tito mencorongkan kepalanya. Eyang Jumiwon lantas menyemburkan sirih yang sudah lumat di dalam mulut, ke telapak tangan kanannya, lalu menjamah ubun-ubun Tito dengan tangan itu. Tuti memperhatikan Eyang Jumiwon yang kemudian memejam dengan amat kusyuk dan merapal sebuah mantra yang terdengar sangat asing dan kuno.
Lima menit berselang, Eyang Jumiwon menyelesaikan ritualnya itu. Dia menghela napas panjang dan melap telapak tangan kanannya dengan daun sirih yang diambilnya dari kendi.
“Sampean mesti sering bawa suami sampean ini ke panti-panti sosial. Sekadar melihat-lihat suasana di sana,” tuturnya.
“Buat apa, Eyang?”
“Sampean mau suami sampean sembuh tidak?”
“Mau, Eyang,”
“Sampean mau sembuh?”
Tito mengangguk cepat.
“Ya, sudah. Kalau begitu lakukan saja apa yang saya katakan secara rutin. Kalau dalam sebulan tidak membaik, datang lagi ke sini. Kalau membaik ya tidak perlu, tinggal lakukan saja terus-menerus sampai akhirnya sembuh. Gampang, kan?”
Tito dan Tuti hanya mengangguk. Pasrah.
**
Seperti yang diamanatkan Eyang Jumiwon, tiba di Jakarta, Tito dan Tuti segera mencari informasi mengenai alamat panti-panti sosial yang berlokasi dekat dengan rumah mereka dari internet dan tetangga. Setelah itu, mereka membuat catatan daftar kunjungan ke panti-panti sosial tersebut. Disela-sela kesibukan itu, Tito masih sesekali mengutarakan kejanggalan di hatinya mengenai cara pengobatan Eyang Jumiwon yang dirasanya tidak berpotensi sama sekali untuk penyembuhan lidahnya.