“Hapus keraguanmu itu, pak. Bagaimana penyakitmu bisa sembuh kalau kamu sendiri tidak percaya pada pengobatan yang akan kamu jalani,” begitu Tuti selalu berkata untuk meneguhkan hati suaminya yang bimbang.
Hari pertama kunjungan mereka ke sebuah panti asuhan, Tito masih mengeluh, menggerutu, dan bersungut-sungut. Pikirnya, masak dengan melihat-lihat suasana di panti-panti sosial lidahnya akan sembuh? Di mana korelasinya? Namun lagi-lagi Tuti yang penyabar, selalu bisa meredakan kegundahan hati Tito dan membuat suaminya tetap mau menjalani pengobatan semacam itu. Meskipun, di dalam hati Tuti sendiri juga ada sebersit ragu.
Barulah kemudian pada kunjungan mereka yang kesekian, tepatnya saat berkunjung ke sebuah panti tuna wicara, hati Tito tersentuh melihat mereka yang gagu dan bisu seperti dirinya. Bocah-bocah, remaja, hingga lansia tampak ceria dan kehidupan mereka pun damai di tengah cacat yang mereka derita. Tito menarik napas dalam sekali sampai menggigil. Hatinya dilanda keharuan yang seakan tak tertanggungkan. Di kursi panjang di bawah pohon waru itu, air matanya meleleh. Hati Tuti ngilu melihat suaminya seperti itu. Lantas, Tito dibawanya pergi dari sana, barangkali dengan begitu tangis suaminya akan reda. Dengan topangan tangan Tuti yang penuh kasih sayang, Tito meninggalkan tempat itu dengan perasaannya yang compang-camping.
Semenjak itu pada kunjungan-kunjungan mereka berikutnya, Tito merasakan lidahnya hari demi hari melentur. Tapi dia tak mau kepalang senang dulu karena tak mau berujung kecewa. Maka Tito merahasiakan gejala-gejala kesembuhannya itu dari Tuti sampai benar-benar pulih.
Malam itu, sepulang dari kunjungan mereka dari panti jompo, Tito meminta Tuti duduk sebentar menemaninya di teras menikmati angin sepoy. Tuti diam-diam terharu, karena apabila dikenangnya lagi, sudah lama sekali dia dan Tito tidak duduk berdampingan dengan santai dalam suasana malam seperti ini.
“Lihat, bu. Bulan di atas sana,” Tito menunjuk dan mendongak ke arah bulan. “Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat bulan sebesar dan seterang itu," ujar Tito. "Coba perhatikan, Bu. Bulan itu seperti hasil kreasi tangan seorang bocah yang memotongnya dari selembar kertas perak dengan gunting, lalu menempelkannya di sana. Bukankah begitu, Bu?"
Tuti agak kaget mendengar Tito berkata demikian. Baginya itu terdengar sangat puitis. Sebab kalimat itu keluar dari mulut suaminya yang selama ini dia kenal sebagai pria yang amat keras menjalani hidup. Dipandangi Tuti sisi samping wajah Tito sembari tersenyum-senyum. Sesaat kemudian, Tuti tersadar akan sebuah keajaiban baru saja terjadi dan hampir tak dia sadari.
“Pak! Barusan bapak bicaranya sudah jelas, lho! Tidak pelo lagi!” kata Tuti.
**
Pagi itu awan membercak di langit biru yang cerah. Secerah wajah Tito yang berbahagia karena lidahnya yang telah pulih. Untuk merayakan itu, hari ini Tito ingin sepuas-puasnya menghabiskan masakan Tuti yang sudah tiga bulan dirasakannya pedas. Perihal Eyang Jumiwon, Tito dan Tuti sepakat akan kembali menemuinya pada malam jumat kliwon mendatang. Karena selain di hari itu, Eyang Jumiwon tidak dapat ditemui oleh siapa pun. Konon, kabarnya, dia bertapa dan berpuasa selama empat puluh hari di puncak gunung Lawu. Lalu pada senja menjelang malam jumat kliwon barulah dia turun gunung. Tito dan Tuti berencana akan membawa segala macam perlengkapan bersirih untuk Eyang Jumiwon sebagai ucapan terimakasih mereka yang sebesar-besarnya.
Tito masih asyik menonton dan menunggu Tuti selesai memasak ketika ponselnya berdering. Sebuah nama muncul di layar. Bos Besar. Tito tak langsung menerima panggilan itu. Dia tampak bimbang. Tangannya sempat maju-mundur menggapai ponsel itu. Antara akan diterimanya atau didiamkannya saja hingga berhenti berbunyi. Nama itu sungguh memberi suatu tekanan psikologis tersendiri bagi Tito. Jantungnya dipenuhi debar-debar yang menggelisahkan. Dan pada akhirnya Tito menerima telepon itu, karena tak punya cukup nyali untuk mengabaikannya.
“Hallo, To. Apa kabar?” sapa si Bos Besar. Nada suaranya datar namun terdengar berwibawa dan berkharisma. “Bagaimana lidahmu, To? Sudah sembuh?”