Misalnya, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa bisa pergi ke gereja saja, adalah suatu karunia luar biasa besarnya. Apalagi bisa menerima komuni (bagian misa saat diterimakannya roti dan anggur).
Karena saat ini, walaupun tidak mengurangi hakikat, saya hanya bisa mengikuti misa melalui streaming dan menerima komuni spiritual.
Terakhir kali saya pergi ke gereja bulan Maret. Meskipun saat ini ada gereja yang sudah bisa dikunjungi, karena lokasinya jauh dari rumah dan jumlah terjangkiti Covid-19 meningkat drastis di Tokyo, membuat saya gamang untuk bepergian jauh.
Saya juga biasa mudik dan berkumpul dengan keluarga untuk merayakan Natal sekaligus tahun baru. Namun tahun ini terpaksa harus dibatalkan karena pandemi. Banyak juga kegiatan lain seperti bounenkai, tahun ini mau tidak mau harus ditunda.
Berbicara hakikat Natal, saya teringat khotbah Uskup Fulton J Sheen. Saya akan mengambil sosok Son Goku sebagai pembanding.
Sebagai catatan, Son Goku adalah tokoh utama pada komik serta anime Dragon Ball. Dia datang dari Planet Vegeta dan mempunyai kekuatan dahsyat setelah berubah menjadi Saiyans (atau Super Saiyans).
Son Goku sebenarnya tidak mempunyai kekuatan berarti di planet asalnya. Namun ketika dia datang ke bumi, kekuatannya bertambah karena gravitasi bumi hanya sepersepuluh jika dibandingkan dengan Planet Vegeta.
Natal dan Son Goku, sama-sama merupakan pembaruan dan terobosan.
Son Goku melakukan terobosan, dimana dia tadinya tokoh lemah di planet asal, namun bisa menjadi tokoh perkasa di bumi.
Natal juga merupakan terobosan, yang merupakan nubuat pada zaman nabi-nabi sebelum Masehi, kemudian menembus sekat waktu dan menjadi nyata setelah abad Masehi sampai saat ini.