Saya tidak pernah serius mendengarkan musik klasik. Namun, itu sebelum datang ke Jepang. Setelah mengembara di sini, saya merasa musik klasik itu enak juga untuk dinikmati.
Kalau mau bicara jujur, sebenarnya menikmati musik klasik pada awalnya bukan atas kemauan pribadi. Namun karena saya terbiasa mendengar musik klasik di radio, televisi, maupun di tempat keramaian, yang diputar atau dimainkan secara gratis.
Sehingga lama kelamaan saya agak hafal beberapa lagu gubahan komposer musik klasik ternama. Kadang-kadang saya mendengarkan juga di rumah.
Diantara maestro komposer musik klasik, Anda tentu tahu nama Ludwig van Beethoven kan?
Tetapi karena pandemi, mungkin banyak orang tidak tahu (atau lupa) bahwa tahun ini adalah perayaan 250 tahun kelahiran Beethoven.
Di Jepang, Desember adalah bulan istimewa bagi pria yang lahir di Bonn, kemudian menetap di Vienna, Austria ini. Karena pada bulan ini, sudah menjadi kebiasaan bagi banyak grup orkestra memainkan komposisi Beethoven dengan judul "Symphony No.9". Orang Jepang bisa menyaksikan acara konser secara live, maupun mendengarkan melalui siaran televisi dan radio.
Saking terkenal dan istimewanya "Symphony No.9", pada saat bencana tsunami melanda Jepang Timur, komposisi ini dimainkan di Tokyo sebagai ungkapan keprihatinan atas korban dan kehilangan yang terjadi. Padahal ketika itu orang tidak boleh menggelar konser musik, karena Jepang sedang berduka.
Dibalik karya besarnya, anak kedua dari Johann van Beethoven ini ternyata mengalami penderitaan fisik dan mental dalam perjalanan hidupnya. Bahkan dia menjadi tunarungu ketika usianya masih tergolong muda, yaitu 40 tahun.
Saya berpikir, mungkin karena Beethoven membuat komposisi musiknya dengan perjuangan keras melawan pergolakan lahir dan batin, maka pada saat pandemi sekarang ini, hasil karyanya bisa menemani dan membuat saya tetap bersemangat. Musiknya bisa mengusir keresahan dan ketakutan.
Meskipun semangat tetap ada, namun pandemi membuat pandangan saya terhadap segala hal berubah total.
Segala sesuatu yang saya anggap biasa saja sebelum pandemi, ternyata sekarang merupakan hal luar biasa.
Misalnya, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa bisa pergi ke gereja saja, adalah suatu karunia luar biasa besarnya. Apalagi bisa menerima komuni (bagian misa saat diterimakannya roti dan anggur).
Karena saat ini, walaupun tidak mengurangi hakikat, saya hanya bisa mengikuti misa melalui streaming dan menerima komuni spiritual.
Terakhir kali saya pergi ke gereja bulan Maret. Meskipun saat ini ada gereja yang sudah bisa dikunjungi, karena lokasinya jauh dari rumah dan jumlah terjangkiti Covid-19 meningkat drastis di Tokyo, membuat saya gamang untuk bepergian jauh.
Saya juga biasa mudik dan berkumpul dengan keluarga untuk merayakan Natal sekaligus tahun baru. Namun tahun ini terpaksa harus dibatalkan karena pandemi. Banyak juga kegiatan lain seperti bounenkai, tahun ini mau tidak mau harus ditunda.
Berbicara hakikat Natal, saya teringat khotbah Uskup Fulton J Sheen. Saya akan mengambil sosok Son Goku sebagai pembanding.
Sebagai catatan, Son Goku adalah tokoh utama pada komik serta anime Dragon Ball. Dia datang dari Planet Vegeta dan mempunyai kekuatan dahsyat setelah berubah menjadi Saiyans (atau Super Saiyans).
Son Goku sebenarnya tidak mempunyai kekuatan berarti di planet asalnya. Namun ketika dia datang ke bumi, kekuatannya bertambah karena gravitasi bumi hanya sepersepuluh jika dibandingkan dengan Planet Vegeta.
Natal dan Son Goku, sama-sama merupakan pembaruan dan terobosan.
Son Goku melakukan terobosan, dimana dia tadinya tokoh lemah di planet asal, namun bisa menjadi tokoh perkasa di bumi.
Natal juga merupakan terobosan, yang merupakan nubuat pada zaman nabi-nabi sebelum Masehi, kemudian menembus sekat waktu dan menjadi nyata setelah abad Masehi sampai saat ini.
Namun, ada perbedaan diantara keduanya.
Dengan kedatangannya ke bumi, Son Goku berubah dari tokoh lemah menjadi kuat. Walaupun kekuatan tersebut hanya berupa sisi luar (atau fisik) saja.
Sedangkan Natal merupakan kebalikannya, dari sesuatu yang berkuasa dan perkasa, berubah menjadi lemah. Natal adalah tentang penjelmaan Allah menjadi manusia.
Kita tahu bahwa Yesus menjadi bahan olok-olokan, dihina dan ditolak. Dia bahkan lahir di kandang domba, jauh dari kenyamanan apalagi kemewahan.
Sekarang kalau saya bertanya kepada Anda, mau menjadi lemah atau kuat? Tentu sebagai manusia normal, saya kira Anda menjawab ingin menjadi manusia kuat dan hebat.
Begitu juga dengan Natal. Orang berangan-angan untuk menjadikan Natal seperti Son Goku, yang keren dan bisa memberikan kepuasan fisik. Kita menginginkan Natal yang bisa memenuhi segala macam nafsu dan kebutuhan manusia.
Akan tetapi, Natal bukan seperti itu.
Natal bukan tentang kepuasan materi dan lain-lain yang hanya bisa menjadi pemanis atau pembalut agar tampak indah dari luar.
KelahiranNya ke dunia jauh lebih berarti dari hal-hal tersebut. Karena Natal merupakan terobosan yang bisa memberikan kekuatan dari dalam.
Kekuatan itu muncul dari kasih Allah, yang mewujudkan diriNya menjadi manusia. Sehingga dengan kekuatan tersebut, maka kita bisa mengobati dan membersihkan moral dan spiritual masing-masing.
Orang yang menerima rahmatNya, akan mendapat karunia pencerahan akal. Oleh karena itu, dia bisa terlahir kembali sebagai pribadi dengan kekuatan karakter di dalam.
Dengan kata lain, terobosan yang terjadi karena Natal bukanlah di luar, melainkan di dalam diri kita.
Kemudian bagi orang yang menerima rahmat dariNya secara utuh, Natal bukanlah suatu peristiwa yang telah terjadi. Orang-orang tercerahkan sadar, bahwa tanggal (25 Desember) dan ucapan, bukan suatu perkara pokok.
Bagi mereka, hal paling utama adalah, bahwa Natal itu peristiwa yang sedang, dan akan terus terjadi.
Lalu, bagaimana cara pengejawantahan dari rahmat yang membuat kita tercerahkan itu?
Jawabannya simpel, namun terkadang sulit untuk dilakukan.
Seperti telah diajarkan Yesus dan menjadi pokok iman ajaran kristiani, kita harus mencintai orang-orang, dimulai dari orang yang kita jumpa di lingkungan sekitar.
Misalnya tetangga kiri kanan rumah, rekan kantor, relasi bisnis, maupun teman dalam ruang lingkup pergaulan. Manusia beriman juga wajib mengasihi jika menjumpai orang di mana pun. Tentu orang tidak boleh mengharapkan balasan atas cinta dan kasih yang telah kita berikan.
Pada saat pandemi inilah, manusia sebenarnya dituntut untuk membuat terobosan. Tetapi bukan terobosan yang membuat kita menjadi seperti Son Goku.
Akan tetapi, terobosan yang bisa membuat kita meyakini dan mengamalkan hakikat Natal.
Terobosan yang bukan menjadikan kita keren, namun membuat kita menjadi manusia yang terlahir kembali, dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh ajaran Kristus, sesuai dengan karunia talenta masing-masing.
Semoga kita semua diberi rahmat, kekuatan dan ketabahan, dalam menjalankan segala aktivitas pada masa pandemi ini.
Untuk menambah semangat saat Natal dan masa pandemi, sekaligus sebagai selingan lagu Natal, Anda bisa coba mendengarkan lagu "Ode to Joy" gubahan Beethoven. Komposisi ini merupakan bagian dari "Symphony No.9".
Lagu itu bisa kembali mengingatkan, bahwa sebagai manusia kita bukan hanya mengejar kepentingan pribadi. Namun perlu juga untuk menengok ke sekitar, untuk peduli terhadap sesama.
Mari membagikan cinta kasih kepada orang yang membutuhkan.
Cinta kasih itu, bak lilin yang menerangi saat kegelapan. Bahkan ketika berada dalam lorong panjang, atau jurang paling dalam pun, jika semua menyalakan lilin, maka jalan kita akan menjadi terang benderang.
Selamat Natal 2020.
Semoga damai dan kehangatan Natal selalu beserta kita semua.
Gloria in Excelsis Deo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H