Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Foto, Kata-kata, dan Kompasiana

19 Juli 2020   06:33 Diperbarui: 19 Juli 2020   06:36 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Dokumentasi Pribadi

Saya perlu tegaskan sebelum bercerita lebih jauh, bahwa saya bukan fotografer, apalagi penulis.

Lalu mungkin pembaca akan bertanya, kalau bukan fotografer dan penulis, kok berani-beraninya mau cerita tentang foto dan kata-kata?

Jawaban (atau lebih tepatnya argumen) saya atas pertanyaan tersebut adalah seperti berikut.

Saya mempunyai hobi fotografi, walaupun angin-anginan. Kemanapun saya pergi, kamera analog kecil selalu terselip di dalam tas, untuk berjaga-jaga kalau ada momen menarik. Saya punya banyak koleksi negatif film dan tentu saja file foto digital.

Karena alasan itulah maka boleh dong saya cerita tentang foto.

Tentang kata-kata, meskipun saya tidak pandai merangkai kata agar terlihat indah, namun bukan berarti saya tidak bisa bercerita tentangnya bukan?

Apalagi sebagai makhluk hidup, setiap hari saya menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan semua yang ada dalam perasaan dan pikiran. 

Misalnya kata-kata yang saya tuliskan pada laporan, email, proposal, catatan dan lainnya dalam kehidupan sebagai pekerja. Maupun secara lisan untuk berkomunikasi dengan keluarga, rekan, penjaga toko, dan kepada orang-orang yang berada di sekitar.

Baiklah, sekarang saya akan membahas dua hal tersebut. Pertama, saya akan membahas kesamaan antara keduanya.

Foto maupun kata-kata, bisa dikatakan sebagai sebuah simbol.

Orang membuat foto sebagai representasi apa yang ingin dia sampaikan kepada penikmat foto.

Kalau dia ingin memperlihatkan bahwa bunga mawar itu bagus, maka dia akan memotret objek bunga mawar tersebut dengan pilihan sudut, jarak, arah datang cahaya dan sebagainya sesuai dengan apa yang ingin dia representasikan pada foto.

Dengan kata lain, dia memotret bunga mawar dengan tujuan agar foto bunga mawar sebagai outputnya bisa menjadi simbol apa yang sebenarnya ingin disampaikan.

Begitu juga dengan kata-kata.

Orang menulis atau berbicara dengan kata-kata, untuk merepresentasikan apa yang ada di dalam pikiran maupun perasaaan. 

Kata-kata menjadi simbol dari apa yang hendak disampaikan sang penutur. Hal ini bisa terlihat jelas jika kanji digunakan sebagai komponen kata seperti dalam bahasa Jepang, karena kanji adalah simbol itu sendiri.

Akan tetapi, walaupun ada kesamaan, ternyata cara bekerja dari keduanya berbeda.

Natori Yousuke, seorang fotografer sekaligus editor Jepang mengatakan bahwa perbedaan dari foto dan kata-kata adalah, foto mempunyai hubungan erat dengan objek, terikat pada tempat dan waktu tertentu. 

Sedangkan kata-kata, tidak mempunyai hubungan dengan objek, tidak terikat pada tempat dan waktu.

Mari kita lihat lebih jauh bagaimana perbedaan tersebut. Sekarang sila Anda lihat foto di bawah ini.

Satai buatan sendiri | Dokumentasi Pribadi
Satai buatan sendiri | Dokumentasi Pribadi
Saya bisa merepresentasikan apa yang ada pada foto menggunakan kata "sate", "satai", "satay", atau bahkan dengan kata "yakitori". 

Bahasa apa pun yang saya gunakan, tidak akan mengubah apa yang dipresentasikan. Yaitu daging ayam dipotong kecil, ditusuk dan dipanggang, kemudian diberi bumbu kacang atau kecap.  

Lalu bagaimana dengan foto itu sendiri?

Apa yang terekam kamera pada foto itu tentu hanya berlaku pada lokasi, hari, jam, menit dan detik saat saya menghidangkan satai tersebut.  

Kalau saya menghidangkan pada saat berbeda, misalnya satu minggu atau satu bulan lalu, foto satai akan berubah. 

Entah ada satai yang gosong, atau mungkin saya tidak menaburkan bawang goreng di atasnya, bahkan wadah satai pun bisa berbeda.

Satu lagi perbedaan yang bisa kita rasakan antara foto dan kata-kata adalah, seseorang akan lebih mudah menangkap simbol dalam wujud foto dibandingkan dalam wujud kata-kata.

Contohnya foto di bawah ini.

Shibuya Sky | Dokumentasi Pribadi
Shibuya Sky | Dokumentasi Pribadi
Anda dengan mudah bisa mengenali bahwa ada sekitar tujuh orang di dekat jendela kaca besar, sedang memandang keluar. 

Ada yang sedang membidikkan kamera, ada orang sekadar melihatnya saja, ada pula yang merekam dengan gawai. 

Di kejauhan juga terlihat gedung bertingkat, dan ada taman di dalam kota (sebagai catatan, itu adalah area taman kota Meiji Jingu di daerah Harajuku).

Dengan foto, maka Anda dapat mengenali apa simbol yang terdapat didalamnya. Mungkin hanya butuh maksimal 1 menit bagi Anda untuk menangkap apa yang saya ingin representasikan disana.

Namun bagaimana jika saya harus menuliskan dengan kata-kata?

Tentu saya membutuhkan waktu agak lama untuk mendeskripsikan semuanya. 

Karena saya harus menuliskan suasana langit berawan, jenis bangunan yang terlihat, jumlah orang dan aktivitasnya, dan banyak hal lain. 

Semua harus dituliskan menggunakan bermacam kata dengan lengkap, jika ingin merepresentasikan segala hal pada satu lembar foto itu. Bahkan mungkin puluhan, sampai ratusan kata pun tidak cukup untuk menggambarkan keadaan pada foto.

Foto, bisa menjelaskan dengan sendirinya. Namun tidak begitu dengan kata-kata.

Seperti dalam bahasa Jepang ada peribahasa "hyakubun wa ikken ni shikazu". Artinya lebih baik melihat sekali daripada mendengar seratus kali. Dalam bahasa Inggris "Seeing is Believing".

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa dengan mudah menemui bidang yang memanfaatkan sepenuhnya hal itu.

Yaitu advertising, dimana mereka selalu membuat iklan untuk sedapat mungkin merepresentasikan segala hal yang ingin disampaikan kepada pemirsa melalui tampilan foto atau gambar yang pas, ditambah kata-kata minimal namun menarik dan dapat selalu diingat.

Oh ya, mungkin Anda bertanya kenapa saya bercerita tentang foto dan kata-kata?

Sebagai seorang penikmat Kompasiana hanya saat akhir pekan, saya merasa (perasaan ini bisa juga salah lho) ada polemik yang terjadi belakangan ini. 

Saya pikir, polemik adalah hal wajar karena bisa terjadi pada platform mana pun juga.

Lagipula tujuan orang menulis bisa berbagai macam. 

Nah demi mencapai tujuan itu, mereka menggunakan berbagai macam simbol untuk merepresentasikan apa yang mereka ingin sampaikan kepada pembaca.

Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, penyampaian simbol dengan kata-kata tentunya tidak semudah jika kita melakukannya melalui foto. Apalagi jika pemilihan diksinya kurang tepat, maka bisa menyebabkan salah persepsi.

Ditambah lagi ada tiga unsur yang terlibat disana. Yaitu penulis, pembaca dan admin sebagai petugas platform.

Kalau hubungan terjadi antara tiga orang, tentu bukan hal mudah. 

Kita mengenal istilah cinta segitiga, maupun orang ketiga bukan? Pasti deh kebayang ruwetnya.

Karena saya hanya penikmat, pastinya saya tidak mau hal ruwet. Lagipula saya kan bukan penulis.

Saya, hanya pencerita. Sehingga kata ruwet enggan untuk mampir dan tidak ada dalam benak saya.

Sebagai pencerita, saya tidak mempunyai tujuan muluk. Ditambah lagi saya tidak punya apa-apa, sehingga saya tidak bisa berbagi. 

Cerita saya juga membosankan, walaupun saya sendiri tidak bosan untuk bercerita.

Lalu, kenapa saya bercerita di Kompasiana?

Saya juga tidak tahu alasannya.

Tapi kalau ingin menyebutkan salah satunya, saya hanya ingin agar orang membaca cerita, kemudian kita bisa belajar bersama-sama. 

Entah itu tentang hal yang berhubungan dengan teknologi, tentang Jepang dengan kebudayaannya, maupun hal lain.

Atau mungkin saya ingin agar kita bisa bersama-sama merenung, jika cerita saya menyangkut refleksi kehidupan sehari-hari.

Kebetulan saja tempat saya cerita itu bernama Kompasiana.

Sebagai penutup cerita, saya ingin mengandaikan bahwa Kompasiana itu seperti ladang. 

Orang bisa menaburkan berbagai macam bibit di ladang ini.

Ada orang menabur bibit gandum, bibit jagung, maupun bibit lain. Saya tidak tahu apakah ada juga yang menabur bibit alang-alang.

Besarnya bibit yang ditabur juga bermacam-macam. 

Ada orang menabur bibit kecil, namun banyak juga orang menabur bibit besar.

Admin Kompasiana punya hak untuk menyeleksi berbagai macam bibit itu. Membiarkannya tumbuh bersama bibit lain, atau menyingkirkannya.

Mereka juga bisa menyirami dan memberi pupuk. Mungkin terkadang pelit, terkadang bisa terasa berlebihan. Terkadang mereka juga merapikan ranting-ranting, saat bibit mulai mulai tumbuh.

Saya tidak tahu kapan bibit-bibit itu berbuah. Mungkin akan berbuah langsung, bisa nanti, entah beberapa bulan maupun tahun lagi. Atau bisa juga bibit itu hanya menjadi alang-alang saja.

Yang pasti, siapkan bibit Anda, dan terus taburkanlah.

Karena apapun buah sebagai hasilnya, pasti ada yang sudi meluangkan waktu untuk memetik dan menikmatinya.

Selamat menikmati akhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun