Puutaro memandangi lagi kembang api yang meledak bersahutan di udara. Ada beberapa yang berbentuk bulatan dengan warna merah di tengah, dan putih di luarnya. Itu mengingatkannya kepada bendera kebangsaan, Sang Merah Putih.
Kemudian pandangannya beralih ke meja di depan. Disitu banyak dihidangkan makanan. Ada tempura, sushi, kara-age, yakitori (*6), dan beberapa botol bir dingin.Â
Yakatabune memang tidak terlalu besar, dan dilengkapi dengan atap. Ini memang salah satu tempat favorit orang Jepang untuk makan dan minum. Mereka duduk bersila mengitari meja panjang yang ditempatkan di tengah perahu.
Dengan sigap dia mengambil tempura dan kara-age menggunakan sumpit, lalu memindahkan ke piring kecil di depannya. Sambil tangan kirinya menuangkan bir ke gelas besar, dia mengunyah kara-age, dan menggelontornya dengan bir dingin itu.
Puutaro melihat tulisan yang tertempel di dinding yakatabune. Disitu tertulis "Sumidagawa Hanabi Taikai."(*7)
Nama Sumidagawa mengingatkan Puutaro kepada Ryogoku, yang berlokasi didekatnya. Puutaro gemar sekali menonton sumo, dan dia tahu bahwa gedung Ryogoku Kokugikan--yang terkenal karena menggelar pertandingan sumo secara reguler--dibuka untuk umum pertama kali saat ini, yaitu tahun 1909. Dia ingin sekali pergi ke sana.
Puutaro sekali lagi memandang orang-orang di sekeliling, dimana seluruhnya adalah anak muda. Dia yakin dari mereka inilah, kemudian melahirkan generasi yang akan membangun dan menjadi tulang punggung Jepang nanti.Â
Mereka dan keturunannya juga yang akan memacu Jepang di segala bidang, sehingga menjadi yang terbaik di dunia. Walaupun mereka sempat menelan pil pahit, setelah kekalahannya pada Perang Dunia ke-2.
Bunyi dentuman kian meriah, sehingga semua orang melongok keluar untuk memandang keindahan hanabi, yang seperti menari-nari di udara.
Warna merah, putih, kuning, biru, hijau, bergantian melukis udara di malam yang sedikit pengap, pada musim panas di Sumidagawa.
Tiba-tiba, sebuah hanabi-dama (*8) besar, yang bisa ditandai dengan mudah dari percikan api panjang dan terang seperti ekor bintang jatuh, naik ke angkasa. Kemudian meledak, dan menghasilkan sinar yang amat terang, sambil menghamburkan percikan kuning keemasan, yang membentuk shidare-yanagi. (*9)