Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelap Habis Terang Terbitlah

17 Agustus 2019   05:30 Diperbarui: 17 Agustus 2019   05:32 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puutaro sedang bermalas-malasan di sofa sambil menonton sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Ah, mungkin julukan yang tepat bukan sofa, karena pelitur juga sudah usang, dan kain pembungkus banyak yang sobek di sana sini.

Dia indekos di daerah Bendungan Hilir, atau orang-orang lebih sering menyebutnya dengan Benhil. Memang banyak rumah tempat tinggal yang disewakan di daerah itu. Puutaro tinggal di rumah yang memang khusus untuk indekos, karena pola kamar Putaro sama dengan 5 kamar lain yang berjejer di bangunan yang sama.

Walaupun banyak bangunan rumah di sekeliling, untunglah di depan indekos Puutaro masih ada beberapa pohon besar, sehingga sedikit membuat suasana lebih terasa adem. Terutama siang hari, karena panas terik sinar matahari terhalang oleh daun pepohonan.

Ketika dia sedang menonton adegan Purnomo berboncengan dengan Rinjani, dan ikut merasa senang bahwa akhirnya Purnomo telah menemukan pasangan hidup, tiba-tiba listrik padam total. Sehingga, keadaan menjadi gelap gulita.

Puutaro bergegas ke ruang belakang untuk mengambil lilin dan korek api, sambil tangannya meraba-raba agar tidak terbentur dinding maupun perabotan. Namun, secara tidak sengaja kakinya menginjak sesuatu, yang dia tidak tahu apa itu, karena suasana gelap. 

Dia tidak bisa menjaga keseimbangan badan, sehingga tangannya mencoba untuk meraih sesuatu agar tetap bisa berdiri tegak. Namun usahanya sia-sia belaka. Akibatnya, dia jatuh telentang.

"Aduh!" pekiknya ketika kepalanya membentur ubin dengan keras.

Dia juga sempat mendengar bunyi benda pecah. Namun, Puutaro langsung tidak sadarkan diri.

****

Silau cahaya luar, masuk ke kelopak mata dan menyadarkan Puutaro. Dia lalu membuka mata.

"Silakan dinikmati makan paginya, Tuan Puutaro." kata seorang dengan baju seragam necis, yang akhirnya dia tahu bahwa itu pelayan.

"Terimakasih," Puutaro menjawab. Sambil menyeruput minuman hangat yang tersedia.

Dia melirik koran yang terletak di meja, dan membaca nama nya, "De Telegraaf."

Puutaro masih heran kenapa ada koran itu disana. Kemudian dia membuka lipatan koran, dan membaca tulisan di ujung kanan.

"zondag 15 augustus 1909," (*1) Puutaro mengeja tanggal yang tertera di halaman depan.

Dia lalu melihat sekeliling. Puutaro menemukan tulisan di sudut serbet yang ditaruh di pangkuannya oleh pelayan. Di situ tertulis, "Hotel De L'Europe."

Puutaro akhirnya sadar bahwa dia berada di hotel yang legendaris di Amsterdam. 

"Wah, aku terdampar di Belanda tahun 1909," gumamnya.

Hotel ini berada di tepian Sungai Amstel, sehingga dia bisa memandang dengan jelas perahu lalu-lalang, hendak masuk ke kanal-kanal yang membentuk setengah lingkaran.

Puutaro berusaha mengingat kenapa dia bisa berada disini? Hal terakhir yang diingatnya adalah, dia sedang menikmati sinetron T.O.P, kemudian listrik mendadak padam.

Dia memegang kepala bagian belakang, dan masih terasa nyeri disana.

"Mau ditambah lagi sup nya Tuan Puutaro?" ujar pelayan dengan Bahasa Indonesia yang fasih.

"Tidak, terimakasih," jawabnya.

Orang Belanda ternyata fasih berbahasa Indonesia. "Mungkin karena Belanda menduduki Indonesia dalam jangka waktu yang lama." pikirnya.

Dia juga heran kenapa bisa berada di sini? Tentunya tidak sembarang orang Indonesia bisa menginap di hotel yang berkelas seperti ini. Apakah karena lahirnya gerakan Boedi Oetomo, setahun sebelumnya yaitu pada tanggal 20 Mei 1908, yang membuat nasib kaum pribumi bisa terangkat?

Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Puutaro saat ini.

Sambil mengunyah roti putih yang dilapisi Gouda Cheese, dia membolak balik harian De Telegraaf. Dia mencari apakah ada berita tentang Indonesia disana. Namun sayang, Puutaro tidak menemukannya.

Kebanyakan berita adalah tentang kegembiraan rakyat Belanda, karena akhirnya Ratu Wilhelmina bisa melahirkan bayi, yang menjadi satu-satunya putri dari pernikahannya dengan Duke Heinrich of Mecklenburg. Puutaro tahu bahwa Ratu Wilhemina mengalami masa-masa sulit, setelah beberapa kegagalan dari kehamilan yang dialaminya beberapa tahun terakhir.

Putrinya diberi nama Juliana, yang kelak menjadi penerus Wilhelmina, sekaligus menyandang predikat ratu yang paling lama bertakhta di dunia. Ratu Juliana juga yang akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dan menandatangani kesepakatan  pada tanggal 27 Desember 1949 di Dam Palace, Amsterdam. Kota yang sama dimana saat ini Puutaro berada.

Perut Puutaro masih terasa lapar, sehingga dia mengambil sebuah roti lagi. Dia mengiris sedikit dan memasukkan ke dalam mulut, sambil juga mengunyah beberapa sayuran dingin yang dilumasi minyak olive.

Entah karena saking lapar, Puutaro menyorongkan kembali irisan roti putih bersama sayuran, sehingga membuat mulut Puutaro penuh. Dia buru-buru meraih segelas air minum, untuk menggelontor semua yang masuk di mulutnya.

Namun malang, dia tersedak hebat. Dan itu juga yang membuatnya mendadak tidak bisa bernapas.

Pelayan bergegas datang ke tempat dia duduk. Sementara, Puutaro kehabisan napas karena air tidak cukup kuat untuk mendorong makanan yang mengisi mulutnya, melewati tenggorokan.

Pandangan matanya tiba-tiba menjadi gelap.

*****

Puutaro kemudian terjaga karena ada sinar yang masuk melalui kelopak mata, berbarengan dengan bunyi ledakan seperti mercon besar.

Dia membuka mata, lalu melihat kembang api menyala silih berganti di udara.

Puutaro merasakan goyangan ke kanan dan kiri, dan menyadari bahwa saat ini berada di dalam yakatabune (*2). 

Dia kemudian melihat sekeliling. Ada sekitar 30 orang yang mengenakan yukata (*3), termasuk dirinya.

Karena dia tahu orang disekeliling bercakap-cakap dengan Bahasa Jepang, Puutaro memberanikan diri untuk bersuara.

"Kyou ha nan nichi deshouka? (*4) " Puutaro bertanya kepada perempuan yang duduk di sampingnya.

"Kyou ha Meiji yonjuu-ni nen hachi gatsu juu-roku nichi desuyo.(*5)" jawab perempuan itu.

"Hari ini tanggal 16 Agustus tahun 1909 rupanya." gumam Puutaro. Sekali lagi Puutaro memegang kepala bagian belakang, dan masih terasa nyeri.

Dia berusaha mengingat, bahwa rasanya kemarin dirinya berada di Belanda, memandangi perahu yang berseliweran masuk ke kanal-kanal yang baru dibangun di Amsterdam. Hari ini, ternyata dia sendiri berada di dalam perahu, di Jepang.

Puutaro memandangi lagi kembang api yang meledak bersahutan di udara. Ada beberapa yang berbentuk bulatan dengan warna merah di tengah, dan putih di luarnya. Itu mengingatkannya kepada bendera kebangsaan, Sang Merah Putih.

Kemudian pandangannya beralih ke meja di depan. Disitu banyak dihidangkan makanan. Ada tempura, sushi, kara-age, yakitori (*6), dan beberapa botol bir dingin. 

Yakatabune memang tidak terlalu besar, dan dilengkapi dengan atap. Ini memang salah satu tempat favorit orang Jepang untuk makan dan minum. Mereka duduk bersila mengitari meja panjang yang ditempatkan di tengah perahu.

Dengan sigap dia mengambil tempura dan kara-age menggunakan sumpit, lalu memindahkan ke piring kecil di depannya. Sambil tangan kirinya menuangkan bir ke gelas besar, dia mengunyah kara-age, dan menggelontornya dengan bir dingin itu.

Puutaro melihat tulisan yang tertempel di dinding yakatabune. Disitu tertulis "Sumidagawa Hanabi Taikai."(*7)

Nama Sumidagawa mengingatkan Puutaro kepada Ryogoku, yang berlokasi didekatnya. Puutaro gemar sekali menonton sumo, dan dia tahu bahwa gedung Ryogoku Kokugikan--yang terkenal karena menggelar pertandingan sumo secara reguler--dibuka untuk umum pertama kali saat ini, yaitu tahun 1909. Dia ingin sekali pergi ke sana.

Puutaro sekali lagi memandang orang-orang di sekeliling, dimana seluruhnya adalah anak muda. Dia yakin dari mereka inilah, kemudian melahirkan generasi yang akan membangun dan menjadi tulang punggung Jepang nanti. 

Mereka dan keturunannya juga yang akan memacu Jepang di segala bidang, sehingga menjadi yang terbaik di dunia. Walaupun mereka sempat menelan pil pahit, setelah kekalahannya pada Perang Dunia ke-2.

Bunyi dentuman kian meriah, sehingga semua orang melongok keluar untuk memandang keindahan hanabi, yang seperti menari-nari di udara.

Warna merah, putih, kuning, biru, hijau, bergantian melukis udara di malam yang sedikit pengap, pada musim panas di Sumidagawa.

Tiba-tiba, sebuah hanabi-dama (*8) besar, yang bisa ditandai dengan mudah dari percikan api panjang dan terang seperti ekor bintang jatuh, naik ke angkasa. Kemudian meledak, dan menghasilkan sinar yang amat terang, sambil menghamburkan percikan kuning keemasan, yang membentuk shidare-yanagi. (*9)

Saking terangnya, orang sampai menutup mata. Tak terkecuali Puutaro.

Rasa silau dirasakan Puutaro menembus kelopak matanya, walau dia sudah berusaha menutup matanya kuat-kuat. Puutaro bahkan mengerang karena dia tidak tahan dengan kesilauan itu.

Akhirnya kekuatan sinar menjadi agak pudar, dan perlahan berubah menjadi redup. Puutaro merasakan hangat di kelopak matanya, sehingga dia membuka mata.

Sinar matahari yang lembut terlihat dari balik pohon sengon, yang tumbuh disamping jendela kamar. Sinar itu pula yang memberikan rasa hangat, karena jatuh pas di kepalanya.

Puutaro akhirnya sadar, bahwa dia ternyata jatuh telentang di lantai kamar tidurnya, karena menginjak sapu ijuk yang terjatuh di ubin. 

Sambil masih telentang, dia mencoba mengingat kembali kejadian yang telah dialaminya, setelah listrik padam dengan tiba-tiba.

Tentang petualangannya ke Amsterdam dan Tokyo, yang ternyata hanya impian sekejap. 

Petualangan ke dua negara itu dalam kegelapan ketika listrik padam, terasa seperti satire baginya. Karena dua negara itu memang sempat menyeret Indonesia ke dalam kegelapan, di masa lalu.

"Ah, ini tahun berapa ya?" pikir Puutaro. "Jangan-jangan di luar sana adalah masa lain," harap Puutaro, walaupun dia sadar sedang berada di kamarnya. 

Puutaro menaruh harapan bahwa, mungkin kali ini dia terdampar di masa depan.

Dia berkhayal bisa melihat drone beterbangan, baik yang sedang mengantar barang maupun membawa penumpang. Atau mungkin bisa melihat hologram, yang memberikan bermacam informasi. Setidaknya Puutaro berharap juga bisa melihat robot-robot pintar, yang membantu pekerjaan manusia di rumah, membersihkan jalan-jalan disekitar komplek, maupun merawat tanaman. Bahkan kalau bisa, dia ingin melihat kendaraan otonom berseliweran, juga menemukan stasiun kereta hyperloop yang menjadi transportasi andalan.

"Ayok Jul, cepet jalannya. Kan perlombaan makan kerupuk dimulai sebentar lagi!"

Puutaro mendengar percakapan anak-anak di jalan sebelah indekos. 

Dia kemudian bangun dengan perlahan, dan bergerak menuju ke ruang depan.

Puutaro membuka pintu, lalu memandang keluar. Di jalan depan indekos yang masih kotor, anak-anak terlihat bergegas pergi ke arah lapangan.

Bendera Merah Putih yang dipasang pada rumah-rumah di sekeliling, berkibar ditiup angin.

"Eh Puutaro, elo baru bangun jam segini," sapa Firman, teman sebelah kamar Puutaro yang sedang duduk, sambil membaca koran Kompas di teras kamarnya.

"Iya, gue ketiduran," sahut Puutaro sambil meringis.

Dia melihat tanggal pada koran yang dipegang temannya itu. Disitu tertulis, "Sabtu, 17 Agustus 2019."

"Ah, ternyata aku sudah kembali ke zaman ku," kata Puutaro dalam hati.

Zaman yang bisa dikatakan tidak sepenuhnya "gelap", tapi yang pasti "terang" belum datang. 

Karena, rakyat ternyata masih suka membicarakan hal-hal yang sepele. Pula masih banyak yang "mabuk" tentang segala hal yang tidak pada tempatnya. 

Tidak bisa disangkal juga bahwa banyak yang masih punya pikiran yang "gelap". Walaupun, sama-sama ada kata gelap nya, Puutaro tidak percaya tentang "penumpang gelap". Dia menganggap itu hanya akal-akalan saja.

Karena baginya, kenyataannya adalah banyak penumpang yang "terang-terangan", namun berhati "gelap".

Namun hati kecilnya berharap, semoga semua kegelapan itu bisa habis. Sehingga, "terang" yang sesungguhnya bisa terbit di Indonesia suatu saat nanti.

Suatu saat yang dia berharap bisa terjadi, tidak begitu lama lagi.

#untuk Indonesia-ku yang hari ini berulang tahun ke-74

catatan

(1) Minggu, 15 Agustus 1909
(2) Perahu yang biasa digunakan untuk bertamasya sambil makan dan minum menyusuri sungai atau pantai
(3) Baju Kimono kasual untuk acara yang tidak resmi
(4) Hari ini tanggal berapa ya
(5) Hari ini tanggal 16 Agustus 1909
(6) Kara-age = Ayam yang dipotong berbentuk persegi dan digoreng
       Yakitori = satai Ayam
(7) Sumidagawa = Sungai Sumida. Hanabi = Kembang Api. Taikai = Pesta atau Festival
(8) Bola kembang api sebelum disulut
(9) Percikan kembang api yang berbentuk daun Pohon Yanagi yang menjulur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun