PROLOG
Mentari pagi terbit, pohon- pohon menari bersamaan, suasana kota saat itu bising oleh kendaraan dan suara para pasien di rumah sakit. Tiga suara tangisan bayi terdengar bersamaan di suatu kamar bersalin di lantai dua rumah sakit itu. Itu kami! Kami bersahabat sejak lahir. Lahir bersama di rumah sakit yang sama dengan tanggal dan pukul yang sama, yaitu tiga puluh Juli tahun dua ribu tepat pada pukul tujuh pagi. Ketiga orang tua kami juga bersahabat sejak kecil, waktu di Jogja. Hingga dewasa mereka bersama-sama merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan sampai mempunyai kami seperti sekarang ini.
Namaku, Bintang Asmara Alauna. Perempuan yang paling cantik, karena kedua sahabatku dua-duanya laki-laki. Aku suka sekali coklat. Apapun yang rasanya coklat, akan aku makan. Aku berbakat dalam musik, terutama piano. Ayah yang mengajarkannya kepadaku sejak usiaku empat tahun, sebab dulu ayah seorang pianis ternama. Ayah dan bunda ku baik sekali. Aku sangat menyayanginya.
Bima Davino Teddy Adrian. Pria tinggi, jenius, dan yang paling perhatian kepadaku dibanding sahabatku yang satu lagi. Aku sering memanggilnya "Teddy Bear". Walaupun faktanya, dia tidak segemuk boneka Teddy. Hanya namanya saja yang sama. Dia sangat senang melukis. Aku iri padanya, sebab dia sering tour keliling dunia untuk memamerkan beberapa lukisannya. Â Tetapi, aku bangga padanya.
Bastian Mischa Alvaro. Pria tampan dan mempunyai tubuh yang atletis. Walaupun dia tak seperhatian dan tak sejenius seperti Si Teddy Bear, tetapi dia jago bermain segala macam permainan olahraga, seperti sepakbola dan basket. Aku pernah menyukainya saat SMP, mungkin sampai sekarang.
                        ***
Waktu itu, ketika konser piano pertamaku akan dimulai. Aku menunggu kedua sahabatku datang untuk menonton pertunjukanku. Tetapi, Bima tidak bisa hadir karena dia harus ke Singapura untuk mengantar neneknya yang akan di operasi. Aku menelepon Bastian, tetapi dia tidak mengangkat teleponku sama sekali. Aku kesal padanya. Dia sama sekali tidak datang sampai konserku berakhir.
Aku pergi ke luar studio untuk mencari udara segar. Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Dua pria bertubuh besar keluar dari mobil itu datang menghampiriku dan menyodorkan sebuah pistol tepat di kepalaku. Aku terkejut saat itu. Ketika aku akan berteriak untuk meminta tolong, sebuah kain membungkam mulutku dan aku mencium wewangian dari kain itu. Mataku tertutup, dan aku sudah tak sadarkan kembali sejak saat itu.
Tak lama, aku bangun. Penglihatanku ketika itu buram. Aku duduk dibangku di tengah-tengah gedung kosong yang menyeramkan. Tangan dan kaki ku diikat. Darah mengucur di keningku. Gaun konser pianoku lusuh. Aku melihat di sekelilingku dua pria yang menyodorkan pistol itu tergeletak di lantai.Â
Di depanku, berdiri seorang pria memakai jas berwarna hitam. Itu Bastian! Dia membukakan tali yang mengikat tangan dan kakiku. Dia menggendong dan membawaku ke mobilnya. Dia membersihkan luka dikeningku dan menempelkan sebuah plester.
"Bas, terimakasih", kataku. Dia tersenyum lalu memeluk erat tubuhku. Dia berbisik dengan berakata aku bersyukur kamu baik-baik saja. Jantungku tiba-tiba berdebar. Dan saat itu sepertinya, aku mulai menyukai Bastian.
                        ***
PART 1 : SELAMAT ULANG TAHUN, BUNDA!
Pagi itu, udara masih dingin dan diluar pun hujan. Tak ingin rasanya meninggalkan kasur dengan cuaca seperti ini. Aku pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat dan roti coklat panggang kesukaanku. Di meja makan ada ayah yang sedang membaca koran pagi SindoNews dan bunda yang sedang bercakap -- cakap melalui telepon.Â
Bel rumahku berdering, ayah bergegas membukakan pintu, tetapi aku menahannya,Â
"Aku saja, Yah", pintaku. Ku bukakan pintu itu, ada Bima yang berdiri sambil menjinjing sebuah tas.
"Pagi, Bintang!",
"Pagi Bim, ada apa?",
(sambil menyodorkan tas itu kepadaku)
"Nih buat kamu",
"Wah, apa nih?",
"Itu oleh-oleh serba coklat dari Paris, favoritemu!",
"widihhh, tau aja. Thank you ya, Bim...",
"Okey, jangan lupa dihabisin. Nanti diembat lagi sama semut hahaha!",
"Ih apaan sih...",
Bima langsung berbalik badan, dan melambaikan tangan kepadaku. Aku balik melambaikannya. Aku buru-buru masuk ke rumah karena hujan semakin deras. Aku langsung berlari ke kamar dan batal membuat teh hangat juga roti panggang coklat demi menghabiskan semua coklat favoriteku dari Bima. Teddy bear memang yang paling perhatian.
Â
                       ***
Di ruang tengah terlihat ayah sedang mencari sebuah benda. Kertas-kertas putih berceceran, berantakan. Aku bertanya kepadanya, "Ayah, lagi nyari apa?", dia bilang brosur penerbangan. Aku teringat sesuatu. Aku pergi ke dapur, mencari sebuah kertas berisikan paket dan diskon penerbangan ke Bali. Aku lupa, tadi aku membuangnya. Aku mengobrak-abrik tempat sampah, dan akhirnya menemukan kertas itu. Untungnya, tempat sampah itu baru aku bersihkan pagi tadi. Â Jadi, tidak kotor sama sekali. Aku buru-buru memberikannya kepada ayah,
"Ayah nyari ini kan?"
"Nahhhh, iya ini nih yang ayah cari!",
"Maaf yah, tadi Bintang yang buang hehehe. Tapi ini brosur penerbangan ke Bali buat apa?",
"Sutttt, buat liburan. Bundamu kan sebentar lagi ulang tahun. Ayah mau menghadiahinya itu",
"Wahhh, ikut dong",
"Ikut ajalah. Bima, Bastian, Om Rio, Tante Keith, Om Andre, dan Tante Sienna juga semuanya ikut",
"Beneran? Kayanya cuma aku yang paling gatau soal ini",
"Bunda juga. This is surprise!!",
Mendengar itu, aku langsung menemui sahabat-sahabatku untuk membicarakan soal ini. Kenapa ayah memberitahukan mereka dulu daripada aku. Kata Bima, ini kejutan. Kejutan ulang tahun untuk bunda sekaligus kejutan liburan untuk aku katanya. Ya, memang dari kecil aku ingin sekali pergi ke Bali. Tetapi, kesempatan itu baru datang sekarang. Dibalik ini semua, aku senang akhirnya bisa beristirahat sejenak menyampingkan sementara kesibukan-kesibukan metropolitan dengan berlibur bersama orang-orang terdekat.
Malam ini tepat pukul dua belas bunda berulang tahun. Aku dan ayah menyiapkan kue bolu strawberry kesukaannya, sekaligus hadiah liburan ke Bali itu. Aku dan ayah mengendap-ngendap masuk ke kamar utama. Melihat tidur bunda yang nyenyak sekali, aku menjadi tak tega untuk mengejutkannya. Aku mematikan lampu kamar. Bunda terbangun, dia tak suka tidur dengan keadaan kamar yang gelap. Aku dan ayah diam-diam membuntutinya di belakang, dan ketika bunda menyalakan lampu kamar, ia berbalik, lalu SURPRISE! Bunda terkejut, aku melihat mata indahnya berkaca-kaca. Ayah memeluknya, disusul aku yang menyelinap ke tengah-tengah pelukan mereka.Â
Tiba-tiba pintu kamar utama terbuka, disana ada Bima, Bastian, dan sahabat-sahabatnya bunda dan ayah yang datang membawa kue bolu juga. Kami pergi ke ruang tengah, untuk memotong kue bersama-sama. Malam itu malam yang indah. Semuanya bahagia.
                     ***
PART 2 : PERTEMUAN PERTAMA DENGAN AJANA
Hari ini, hari keberangkatan kami ke Bali. Sejak dini hari tadi, aku dan bunda sibuk menyiapkan barang-barang bawaan dan koper, sementara ayah mencuci mobil. Bastian dan Bima sudah berada di bandara sejak pukul enam. Kami yang paling telat datang. Untungnya, dengan bakat ngebut ayah yang sudah top kami tidak tertinggal pesawat.
"Bi, kemana aja? Aku udah nelponin dari tadi ga diangkat-angkat",
"Duh, iya Bas kita telat bangun",
"Yaudah, yu masuk",
Petugas bandara memeriksa kami dan barang bawaan dengan sangat teliti. Aku, Bima, dan Bastian memasuki ruang penumpang pesawat disusul ayah, bunda, dan sahabat-sahabatnya di belakang. Aku duduk disamping bunda, dan sebelah kananku ada Bima yang langsung tertidur lelap. Ngantuk katanya. Semalam tidak tidur lagi sehabis memberi kejutan untuk bundaku tersayang.Â
Kami menunggu beberapa menit untuk pilot melakukan lepas landas. Sembari menunggu, aku melanjutkan bacaan novelku yang akhir-akhir ini selalu tak pernah tamat karena kesibukkan ku yang kian bertambah.
Terdengar suara langkahan kaki dan tas jatuh dari belakangku. Kulihat seorang wanita cantik seusiaku yang kelelahan, buktinya ia terus saja mengusap-usap keringat yang bercucuran di keningnya. Ku bantu dia membereskan barang-barang bawaannya yang berjatuhan di lantai pesawat. Dia duduk di sebelah kiriku, tepatnya di sebelah kiri bunda. Aku memberikannya sebuah sapu tangan untuk dia mengusap keringatnya yang bercucuran. "Terimakasih...", katanya. Aku tersenyum lalu melanjutkan kegiatan membaca novelku itu.
Bima selalu saja mengganggu. Dia menyiku-nyiku tanganku dan tiba-tiba menanyakan soal wanita yang berada di sebelah kiri bunda.Â
"Bi, Bi!"
"Ihhh, diem dulu!"
"Sutt, itu yang sebelah kiri bundamu siapa?"
"Gatau"
"Yah gimana sih, tadi kan kamu ngobrol sama dia"
"Ya, aku gatau Bim... kalo mau kenalan sini pindah aja sebelah bunda!"
Bima bangun dari tempat duduknya, lalu berbisik kepada bunda. Bunda bangun dari tempat duduknya lalu duduk di tempat Bima dan Bima duduk di tempatnya bunda. Bima mengajaknya berkenalan. Dengan lantang dan bangganya dia mengenalkan nama "BIMA DAVINO TEDDY ADRIAN". Wanita itu mengenalkan namanya juga. Namanya, Ajana Laura Tashavani. Mereka lalu bersalaman dan berbincang-bincang membicarakan kehidupan dan statusnya masing-masing. Setelah itu, aku tidak menyimak lagi pembicaraan mereka karena aku memakai earphone ditelingaku dan tidur begitu saja.
                       ***
PART 3 : PERTUNANGAN DIMAS DAN IVANNA
Tepukan di bahuku membangunkan aku dari tidur. Aku menggosok-gosok mataku yang masih setengah terbangun. Rupanya pesawat yang aku tumpangi sudah mendarat di tempat tujuan. Pulau Dewata. Aku sampai di bandara internasional Ngurah Rai. Aku, keluarga, serta sahabat-sahabatku turun dari pesawat. Aku melihat sekeliling, tetapi wanita yang berkenalan dengan Bima tadi sudah tiada. Mungkin dia turun terlebih dahulu. Aku mengambil koper dan barang-barang bawaanku dengan troli. Ayah sudah menyiapkan mobil, kami masuk lalu perjalanan kami dilanjut dengan perjalanan darat menuju Ubud.Â
Ketika sampai di hotel, aku, Bima, dan Bastian ternganga melihat hotel yang ayah pesan begitu besar dan mewah. Aku bertanya-tanya siapakah pemilik hotel ini? Pasti orangnya sangat sukses! Aku pun bertanya-tanya mengapa ayah memesan hotel yang begitu mewah. Pasti harga sewanya pun mahal. Ah sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, mari kita nikmati saja waktu istimewa ini dan nikmati fasilitas yang tersedia.
Kami masuk ke lobi hotel dan disambut dengan baik oleh para pegawainya. Mereka memberi kami kunci yang bentuknya sudah bukan seperti kunci pintu lagi melainkan seperti kartu ATM. kami beristirahat sejenak dan bersiap-siap untuk makan malam. Tante Sienna bilang, aku harus menggunakan gaun yang indah karena malam ini ada acara spesial di hotel yang kami tempati. Aku mengangguk dengan pikiran yang bertanya-tanya lagi acara spesial seperti apa yang diadakan nanti malam. Ah sudahlah, itu tidak terlalu penting, yang penting sekarang aku istirahat, mandi, lalu bersiap-siap untuk mendatangi acara spesial yang Tante Sienna bicarakan tadi.Â
Bastian mengikutiku dari belakang,
"Sini Bi, aku bantu",
"Eh, eh gausah Bas aku bisa sendiri",
"Beneran?",
"Hm, tapi boleh deng, thank you, ya!",
Bastian membantuku membawakan koper dan barang bawaanku lainnya sampai pintu kamar hotel. Dia tersenyum lalu membalikkan badan dan memasuki kamar hotelnya. Wow, lihatlah kamar hotel yang ayah pesan ini. Mewah! Pemandangannya pun indah, langsung menghadap gunung-gunung yang menjulang tinggi melebihi awan-awan putih di langit yang biru itu. Ayah sengaja memilih Ubud untuk menjadi tempat peristirahatan kami. Selain berada di dataran tinggi dan udaranya pun segar, ayah ingin bernostalgia dengan tempat ini.
Ubud adalah tempat resepsi pernikahannya dengan bunda. Tempat yang menjadi saksi akan janjinya untuk menjaga dan menyayangi bunda sehidup semati. Ubud juga merupakan tempat bertemunya pertama kali antara Om Rio dengan Tante Keith, orang tuanya Bima. Tante Keith merupakan warga negara Perancis yang menetap di Indonesia untuk menyelesaikan studinya hingga menikah dan mempunyai keturunan yang bernama Bima, si Teddy Bear itu.
Â
                      ***
Aku memilih gaun berwarna merah muda untuk dipakai malam ini ke acara spesial itu. Rambut panjangku dibiarkan terurai dan aku pasangkan jepitan mutiara di kanan dan kiri kepalaku untuk menambah kesan feminim. Aku memakai sepatu kaca yang merupakan hadiah ulang tahun pemberian Bastian. Aku sangat menyukai sepatu itu.Â
Aku keluar dari kamar hotel dan sudah berdiri dua pria tampan pengawal pribadiku, yaitu Bima dan Bastian. Hahaha. Mereka menertawakanku dengan keras di lorong hotel.Â
"Kenapa sih kalian? Ada yang aneh ya sama penampilanku malam ini?",
"Bi, ini gaun kebalik atau emang modelnya kaya gini sih?", tanya Bima
"Emang gini kok!... (aku terdiam sejenak memandangi gaun merah muda yang aku pakai)",
Aku berbalik lalu berlari ke kamar hotel untuk memperbaiki gaunku yang kenyataannya memang terbalik. Astaga, aku malu sekali. Pantas saja mereka berdua menertawakanku tak henti-hentinya. Setelah itu, aku keluar lalu menyusul Bima dan Bastian yang sudah menungguku di aula hotel.
"Eh, kok kalian Cuma berdua? Bintang mana?", tanya bundaku yang celinga-celingu mencari-cariku ke sekeliling aula hotel.
"Itu tante tadi....", Bima yang berbicara gugup lalu setelah itu tertawa kecil menyembunyikan pipi merahnya akibat terus-terusan menertawakanku.
"Hai semua!", aku datang dengan percaya dirinya dengan gaun yang sudah tidak terbalik lagi.
"Wow, kamu cantik sekali Bintang", puji Om Andre kepadaku
"Wow, Om Andre juga ganteng banget hari ini", aku balik memuji walaupun sebetulnya Om Andre tetap tampan meski memakai kaos oblong sekalipun.
Semua hadirin terdiam karena tepukan tangan seseorang. Pembawa acara memberi instruksi bahwa acara akan segera dimulai. Pria berjas putih berawakan campuran antara Indonesia dan Inggris turun dari tangga. Aku menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatanku terhadap pria itu. Itu Om Dimas! Adik ayah yang sudah lama tidak berjumpa karena harus menyelasaikan pendidikannya di Inggris. Dia menggandeng seorang wanita cantik di sampingnya. Wanita itu bagaikan putri raja karena memakai gaun dan tiara yang indah.
Semua lampu dimatikan, hanya lampu yang menyorotkan mereka berdua saja yang dinyalakan. Alunan biola dimainkan begitu harmonis menambah suasana menjadi romantis. Sekarang aku tau, acara spesial ini merupakan hari pertunangannya om Dimas dengan wanita itu.Â
Bastian terus memandangi wanita yang memainkan biola itu. Wanita yang aku bantu di pesawat dan berkenalan dengan Bima. AJANA! Siapa dia? Mengapa dia hadir di acara pertunangan om Dimas dan calon istrinya?Â
"Bim, gila cantik banget!",
"Itu Ajana, kan?", tanyaku pada Bima
"Oh jadi kalian tau siapa dia?",
Aku dan Bima mengangguk. Suara biola itu semakin pelan, pelan, lalu berhenti memainkan melodinya. Sepasang pria dan wanita yang bertunangan itu saling bertukar cincin yang menjadi tanda hubungan mereka sudah terikat satu sama lain. Bastian menarik tangan Bima dan Bima menarik tanganku memaksa untuk menghampiri wanita yang memainkan biola itu. Bastian berkenalan lalu berbincang satu sama lain.
Ayah dan bunda memanggilku untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan. Aku menarik tangan Bima dan mengajaknya pergi meninggalkan dua orang yang sedang berbincang-bincang itu. Aku duduk di meja makan dan Bima duduk disampingku. Om Dimas dan calon istrinya itu datang ke meja makanku bersama Ajana dan Bastian. Mereka mengenalkan Ajana pada kami. Ternyata, Ajana itu adalah adik dari calon istrinya om Dimas yang bernama Ivanna. Berarti ia akan menjadi bagian dari keluargaku. Bunda mengajak Ajana untuk duduk disampingnya. Kami makan dan menyantap hidangan bersama, berbahagia, hingga pergantian hari tiba.
                        ***
PART 4 : PETAKA DI PULAU DEWATA
Matahari bersinar terlalu cepat, menurutku. Aku masih mengantuk tetapi bunda terus saja mencoba membangunkanku. Dia bilang hari ini kita akan pergi ke Pantai Pandawa. Ah aku sangat suka sekali dengan pantai. Jadi ketika mendengar kata pantai aku tidak bisa menolak untuk tidak pergi. Bunda tersenyum melihat semangatku untuk pergi ke pantai hingga aku tidak sadar malah membawa selimut ke kamar mandi. Hahaha itu konyol sekali.Â
Di lobi, semuanya sudah siap. Ajana, Om Dimas, dan calon istrinya pun ikut. Mereka semua berseragamkan pakaian pantai. Aku memasuki mobil yang sudah terparkir di depan pintu lobi hotel. Bima, Bastian, dan Ajana ikut ke mobilku. Bastian duduk di kursi belakang dan mengajak Ajana untuk duduk bersamanya. Aku menertawai Bima yang kelihatan jealous melihat Bastian dengan Ajana.
"Hahaha, Bim kenapa sih?",
"Aku duduk sama kamu, ya Bi!" (Dengan wajah yang terus cemberut),
Sekitar satu setengah jam lamanya kami melakukan perjalanan dari Ubud ke Pantai Pandawa. Kebiasaan Bima yang suka mual-mual karena mabok darat membuat mobil yang kami tumpangi paling terlambat tiba disana.Â
Cuaca hari ini sangat mendukung untuk berjemur di pantai. Gelombang lautnya pun sedang tenang, cocok untuk berselancar di bawah sinar matahari yang terik. Wah indah sekali pemandangannya. Pantai ini berada di balik perbukitan, dan sering disebut dengan Pantai Rahasia.
Disekitar pantai terdapat dua tebing besar yang salah satu sisinya dipahat lima patung Pandawa dan Kunti. Aku turun dari mobil dan meminta tolong ayah untuk menurunkan papan selancar yang dibawanya. Asal kalian tahu, selain piano aku pun menyukai olahraga surfing. Almarhum kakekku yang mengajarkannya. Sebenarnya, aku tidak suka membicarakan ini. Terkadang, pantai bisa membuatku bahagia karena pasirnya yang berbisik dan langitnya yang luas membiru. Tetapi, pantai juga bisa mendatangkan kesedihan karena suara gemuruh gelombangnya yang membuat aku mengenang akan kematian, kakek.
"Kamu beneran mau surfing lagi?", tanya Bima kepadaku
"Iya, Bim. Dengan cara ini aku bisa mengenang walaupun menyakitkan",
"Yaudah, mari aku bantu bawakan papan seluncurmu",
Aku mengajak Bima dan yang lainnya untuk meminum es kelapa terlebih dahulu di sebuah warung di pinggiran pantai. Ayah, Om Rio, Om Andre, dan Om Dimas bermain voli pantai sedangkan bunda, Tante Sienna, Tante Keith, dan Tante Ivanna sedang memakai sun protection untuk berjemur di bawah sinar matahari yang terik.Â
Bima dan Bastian sedang memesan es kelapa untuk kami. Disini, hanya ada aku dan Ajana saja. Kami saling terdiam. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai akhirnya,
"Nama kamu Bintang kan?", tanya Ajana kepadaku
"Iya. Ajana kamu wanita yang di pesawat itu kan?",
"Benar. Oh iya ini aku kembalikan sapu tanganmu",
"Tidak perlu, untukmu saja",
Aku tidak suka mendapatkan kembali barang seperti sapu tangan yang sudah diberikan. Jadi, aku tolak saja pengembalian sapu tanganku itu dari Ajana. Bima dan Bastian datang membawakan empat buah es kelapa segar untuk kami. Aku rasa gelombang laut sudah semakin bagus untuk diselancari.Â
Aku mengganti pakaianku agar terasa nyaman saat dipakai berseluncur. Bima, Bastian, dan Ajana mengawasiku dari pantai. Ajana berbisik kepadaku, bahwa dia ingin diajarkan surfing juga. Dengan senang hati aku membantunya. Tetapi, Bastian menolak. Dia bilang itu akan sangat berbahaya untuk Ajana. Menurutku, tidak apa lah untuk mencoba sekali selagi orangnya mau. Â Siapa dia berani melarang-larang kemauan seseorang. Apalagi untuk Ajana calon saudaraku.Â
Aku mengambil papan seluncur yang baru. Aku mengajarkannya mulai dari keseimbangan tangan dan kaki, berenang, lalu mencoba di ombak yang tenang. Dari pinggir pantai terlihat Bima yang melambai-lambaikan tangannya memberi semangat kepadaku dan Ajana. Bastian hanya memandangi sambil melipatkan tangannya di depan dada. Aku berteriak "Bastian, kamu harus mencoba ini! Kalo tidak kamu akan menyesal! Hahaha".Â
Tiba-tiba suara gemuruh gelombang terdengar keras sekali, ombak semakin tinggi, dan aku merasa papan seluncur yang ditumpangi aku dan Ajana mulai hilang kendali. Aku mengajak Ajana untuk tetap tenang. Aku melihat Ayah yang sepertinya berteriak kepadaku. Semua orang yang ada di pinggir pantai melambaikan tangan kepadaku untuk segera kembali menjauhi gelombang laut. Tetapi, aku tidak bisa mendengar dan melihatnya dengan jelas.
Papan seluncurku terus menjauhi pantai. Ajana mulai terlihat panik dan ketakutan. Aku terus berusaha menenangkannya.Â
Langit semakin gelap, petir menyambar ke berbagai arah dan air hujan turun deras sekali. Aneh, padahal tadi langit masih cerah dan matahari terik sekali. Dari belakangku, gelombang besar datang menghantam papan seluncurku. Aku memeluk Ajana untuk menjaga agar dia terus berada disisiku. Aku dan Ajana jatuh ke dalam laut. Pandanganku gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku kehabisan udara. Aku mencari-cari Ajana yang tiba-tiba hilang dari pelukanku. Aku mencari-cari ke dasar laut tetapi tetap tidak menemukannya. Aku tidak kuat. Aku berusaha berenang ke permukaan.Â
Badanku lemas sekali. Pengawas pantai menolongku lalu membawaku ke pinggir pantai. Aku menangis mencari Ajana yang masih belum aku temukan. Tim penyelamat datang dan berusaha mencari Ajana ke dalam laut. Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku ketakutan dan pikiranku mulai kacau. Bima memelukku dan berusaha menenangkanku. Bastian ikut mencari Ajana dengan tim penyelamat itu. Begitu pula ayah, om Andre, om Rio, dan om Dimas. Dalam hati, aku berteriak untuk tidak mengulangi hal yang sama. Jangan sampai laut kembali menghilangkan nyawa seseorang. Aku benar-benar ketakutan.
                       ***
PART 5 : LEBIH BAIK PULANG
Hari itu, menjadi liburan kami yang tidak menyenangkan. Aku tidak ingin kejadian seperti itu berulang untuk yang ke sekian kalinya. Peristiwa itu menjadi hal yang menyakitkan untuk kedua kalinya. Tetapi, aku bersyukur kepada Tuhan karena Ajana berhasil ditemukan dengan selamat. Dia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan perawatan. Setelah dua jam dokter memeriksa keadaan Ajana, ia bilang Ajana sudah sadar dan pulih kembali. Aku buru-buru masuk ke ruangan tempatnya di rawat untuk melihat keadaannya.
"Ajana, kamu sudah merasa baik?", tanyaku
"Lumayan", jawabnya dengan lesu
Aku meminta maaf kepadanya dan kepada semua orang yang menjadi saksi kejadian itu karena tidak bisa menjaga Ajana dengan baik. Mereka bilang aku tak perlu meminta maaf, karena semua kejadian itu bukan salahku. Itu sebuah kecelakaan. Untungnya, aku dan Ajana selamat dan tetap baik-baik saja. Aku merasa tenang mendengar hal itu. Aku kira semuanya akan menyalahkan dan memarahiku, terutama Bastian. Karena dia yang paling protektif terhadap Ajana akhir-akhir ini setelah bertemu dengannya.
Malam itu, aku memutuskan untuk tidur di rumah sakit menjaga Ajana bersama kedua sahabatku. Orang tuaku dan yang lainnya kembali ke hotel, dan akan ke rumah sakit sekitar jam empat pagi. Esok hari, Ayah berniat untuk memesan tiket penerbangan untuk pulang ke Jakarta. Tetapi, Ajana menolak. Katanya dia masih ingin liburan bersama kami. Menurutnya, semua rencana liburan ini rusak olehnya. Sebab itu, dia tidak mau rencana liburan kami usai begitu saja. Akhirnya, Ayah memutuskan untuk pulang ke Jakarta pada dua hari yang akan datang. Kebetulan, menurut dokter esok hari Ajana sudah bisa pulang.Â
Kami berjalan-jalan sebentar ke Denpasar untuk melihat-lihat ibu kota provinsi yang mempunyai julukan pulaunya para dewa ini. Ajana mengajakku untuk membeli beberapa souvenir. Tampaknya, Ajana sangat mahir menggunakan bahasa Bali. Dia melakukan tawar menawar kepada para penjual souvenir itu dengan bahasa Bali lalu mereka memberi kami diskon. "Kamu orang Bali?", tanya Bastian kepada Ajana setelah kami keluar dari toko souvenir itu. Ajana mengatakan Ya, aku orang Bali asli.
Kami mengelilingi taman di sekitar kota Denpasar dan menonton pertunjukan wayang yang mengisahkan tentang Rama dan Sinta sampai petang tiba. Kami kembali ke hotel untuk beristirahat karena esok pagi kami harus terbang kembali ke Jakarta.
Di kamar hotel, terlihat bunda sedang mengemasi barang-barang. Aku mendatanginya,
"Bunda, Bintang minta maaf sebab liburan ini jadi rusak karenaku", sembari memeluk bunda dari belakang. "Tidak Bintang, kita memang harus pulang. Bunda dan Tante Keith baru ingat bahwa lusa nanti kamu, Bima, dan Bastian akan mengikuti program beasiswa ke Perancis kan? Kamu harus menyiapkan segalanya, "kata Bunda. Benar, lusa nanti aku, Bima, dan Bastian akan mengikuti program beasiswa ke Perancis untuk melanjutkan pendidikan kami ke perguruan tinggi. Kami memilih Perancis karena disana ada keluarga kami juga sehingga orang tuaku dan orang tua kedua sahabatku tidak perlu khawatir.
                       ***
Sore ini, tepat pukul empat waktu keberangkatan kami kembali ke Jakarta. Aku menunggu Bastian yang masih membereskan barang bawaannya di kamar hotel. Dia keluar dengan menggunakan kemeja pendek berwarna biru tua, celana jogger krem dan jaket yang dilingkar di bahunya. Mengapa harus setampan ini sih?
"Lama banget!", kesalku padanya karena aku sudah menunggu sekitar setengah jam di depan pintu kamar hotelnya
"Hehe maafin dong", sembari memeberkan senyuman dan mengacak-acak rambutku
"BASSSS!", kesalku padanya
Aku langsung menarik tangannya dan bergegas masuk ke lift menuju lobi untuk menemui yang lainnya. Saat sedang berduaan di lift, aku merasa deg-degan. Bukan karena berduaan dengan Bastian, tetapi aku khawatir jika tiba-tiba lift ini mati dan aku hanya bersama Bastian yang kurang bisa diandalkan. Aku menghela nafas. Dia bertanya kepadaku mengapa aku menghela nafas begitu kencang?, mata ku meledek kepadanya dan tidak menghiraukan pertanyaannya itu. Pintu lift terbuka. Aku langsung keluar dan berlari menuju bunda yang sedang berada di resepsionis.
Aku berpamitan kepada Ajana, Om Dimas, dan Tante Ivanna. Ajana memelukku dengan erat, katanya dia sangat senang berjumpa dengan ku, Bima, apalagi Bastian. Aku tersenyum kecil padanya.
"Bintang, kapan-kapan kamu kesini lagi ya?",
"Siap, aku berharap saat dewasa nanti kita bisa bertemu dan liburan bersama di negara kesukaanku",
"Apa?",
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya tersenyum kecil lagi dan memeluknya kembali sebagai tanda perpisahan. Selamat tinggal Ajana. Sementara ini, kami harus kembali kepada kebiasaan kami di Jakarta. Lain waktu, aku akan datang lagi kesini, mengajarimu surfing, dan tidak akan mengecewakanmu. Aku berharap kita bisa bertemu di negara yang akan aku, Bima, dan Bastian tuju, yaitu Perancis.
                       ***
PART 6 : PERSIAPAN UNTUK KEJUTAN BESAR
Tiba di Jakarta, kembali bertemu dengan hiruk pikuk kemacetan, kepadatan, dan kebisingannya. Tubuhku yang lelah aku sandarkan pada kursi mobil yang sedang melaju dari bandara menuju rumahku. Tangan bunda yang lemhut mengelus-elus rambutku yang kusut terurai menutupi dahi. Aku lelah sekali, Bun. Rasanya punggung dan pinggangku mau patah semua. Padahal tadi di pesawat aku hanya tidur, tidur, dan tidur.
Sebuah tangan menggoyahkan badanku dengan pelan. Bisikan di telingaku memperdengarkan dengan jelas bahwa itu suara Bunda, "Bintang, yu bangun..", bisiknya dengan lirih. Aku mengedip-ngedipkan mataku lalu menggosoknya perlahan. Kepalaku sakit sekali, sepertinya aku kebanyakan tidur selama perjalanan ke Bali.
Hari itu, masih pagi sekitar jam sebelasan kami sudah tiba di rumah. Aku membantu bunda untuk membereskan barang bawaan dan koper ke dalam lemari. Aku melihat kalender digital di handphoneku untuk mengecek seberapa lama lagi liburan semester limaku di SMA. Gawat! Tiga hari lagi aku masuk sekolah. Sedang aku belum mempersiapkan apa-apa untuk mengikuti program beasiswa perguruan tinggi di luar negeri. Selain itu, aku ditunjuk oleh wakil kepala sekolah untuk bertanggung jawab sebagai wakil pelaksana hari perayaan ulang tahun SMA ku.Â
Aku segera menghubungi Davi yang merupakan ketua pelaksananya untuk bertanya sudah seberapa jauh persiapannya. Tetapi, Davi malah memarahiku. Karena, sudah beberapa hari liburan ini aku sulit dihubungi. Begitu juga Bastian yang merupakan seksi acaranya. Aku meminta maaf dengan sepenuhnya kepada Davi, aku lupa tidak memberitahunya kalau aku pergi liburan ke Bali. "Handphone ku hilang waktu aku sedang surfing. Kayanya kebawa ombak. Aku minta maaf sekali, Davi..", kataku.
Memang benar waktu kejadian di laut itu bersama Ajana, handphoneku terjatuh ke dasar laut dari saku celana seragam surfingku. Sehari setelahnya aku menangis-nangis kepada ayah untuk cepat di belikan yang baru. Ketika di pesawat untuk perjalanan pulang kembali ke Jakarta, ayah memberiku sebuah handphone baru yang lebih bagus dan canggih dari sebelumnya. Aku bahagia sekali ketika itu.
                       ***
Memasuki hari-hari sekolah kembali aku dan teman-temanku sudah disibukkan dengan hari perayaan ulang tahun sekolah. Pagi itu, aku sudah tiba di sekolah pukul empat pagi. Sepagi itu aku bersemangat untuk mempersiapkan dengan matang segala persiapan. Aku menunggu Bima di koridor aula sekolah. Dia dan aku akan tampil pertama untuk membuka acara. Seperi biasa, dia yang akan memainkan biola dan aku yang bermain piano.Â
Semua peralatan musik sudah aku dan teman-temanku siapkan di atas panggung. Sembari menunggu, aku mengetes suara alat-alat musik itu. Bima datang dari pinggir koridor aula dan menepuk bahuku dengan agak keras. "Hai! Lagi apa?", tanyanya dengan tanpa dosa yang sudah mengagetkan aku. Apalagi hari masih pukul setengah lima pagi. Aku takut seandainya  yang menepuk bahuku itu bukan manusia. Aku pasti menjerit dan membuat teman-temanku pasti menjerit ketakutan kerena mendengar jeritanku.Â
Bima! Aku mencubit perutnya karena sudah mengagetkan aku dan terlambat datang. "Aku bilang jam empat udah di sekolah, kenapa ini baru datang?", tanyaku dengan kesal padanya. Dia tertawa seolah meledekku sambil membetulkan mikrofon yang ada di hadapanku. "Tes, tes, 1,2,3 selamat pagi dan salam hangat walaupun hari masih dingin sedingin sikapnya kepadaku. Teman-teman, kalian sangat bersemangat untuk mempersiapkan hari perayaan ulang tahun sekolah ini. Kalo kalian cape nanti jajan aja ke kantin ya, bayar pake uang sendiri hahaha", goda Bima kepada teman-teman yang sedang mendekor koridor aula sekolah.
Davi menatap dengan sinis ke arah Bima, dia melipatkan kedua tangan didadanya pertanda dia sedikit kesal dengan ucapan Bima di mikrofon tadi. "Bim, Davi ngeliatin tuh!", tegurku kepadanya yang masih sedikit tertawa. "Maaf Bapak Ketuplak, maaf ya", mohonnya dengan halus kepada Davi. Bima kemudian mengeluarkan biola dari tasnya yang ia gendong sedari tadi. Kemudian ia mulai memaikan sebuah lagu. Aku ikut mengiringinya dengan memainkan piano di sebelah Bima.Â
Jika didalami, lagu ini indah sekali. Asal kalian tahu, ini adalah lagu ciptaan kakekku dan oppa nya Bima yang sudah tiada pula. Dalam jiwaku, aku mulai merintih, menangis, tetapi aku balut dengan senyuman. Agar semua orang tidak perlu tahu, seberapa besar kesedihan yang aku dan Bima alami. Semua itu hanya akan tersimpan di dalam lubuk jiwa sebagai kenangan.
Aku menatap Bima yang mulai meneteskan air mata. Tiba-tiba ia berhenti memainkan biolanya. "Jangan dilanjutin Bi, biar penonton penasaran", ledeknya. Aku tersenyum dan mengangguk, "Baiklah". Hari semakin siang, siswa dan siswi mulai berdatangan ke koridor aula sekolah untuk menyaksikan sambutan dari kepala sekolah dan ketua osis. Aku dan Bima bersiap-siap di belakang panggung. Melihat Bima memakai jas untuk tampil hari ini, membuat aku bersemangat untuk berduet dengannya. Aku janji pada diriku sendiri, akan membuat penampilan ini berkesan, demi aku, Bima, dan kesuksesan acara.
                       ***
Setelah semua perayaan itu berakhir, hari-hariku mulai disibukkan dengan belajar, ujian, dan program beasiswa untuk menuju kelulusan. Aku menyemangati kedua sahabat kecilku agar kita semua berhasil mencapai apa yang kami cita-citakan.
Hari-hari berat mulai terlalui sedikit demi sedikit, perjuangan tanpa batas tak pernah berakhir. Badan dan pikiranku mulai letih. Perasaanku bergejolak menunggu pengumuman beasiswa itu datang.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku yang sedang setengah mengantuk akibat mendengar penjelasan materi Sejarah yang disampaikan Bu Metha tadi, langsung dikagetkan oleh Bima dan Bastian. Katanya kami harus menghadap ke ruang wakil kepala sekolah. Ada apa? Tanyaku pada mereka. Mereka berdua menggelengkan kepala dan merangkulku untuk berjalan lebih cepat menuju ruangan yang agak suram itu. Kami diberi amplop yang berisi selembaran surat keterangan yang menyatakan bahwa kami, LULUS! Kami bertiga berhasil menyelesaikan ujian program beasiswa itu dengan nilai sempurna. Aku masih tak percaya. Aku baca berulang kali dan hasilnya tetap sama. Dengan spontan, aku loncat dan langsung memeluk kedua sahabatku. Aku menangis, terharu bahagia. Bima dan Bastian pun sama hal nya. Tak kuasa menahan air mata yang jatuh perlahan-lahan.
                      ***
Di luar ruangan wakil kepala sekolah, orang tua kami berada. Mereka senang melihat kami bertiga lulus program beasiswa itu. Aku tak kuasa lagi menahan tangis bahagia. Hampir mau pingsan rasanya, tetapi aku masih bisa menahan.
Aku peluk erat-erat selembaran surat keterangan itu. Sesampainya dirumah, aku pajang di kamarku menggunakan figura putih bersih. Sebelum dan sesudah tidur aku selalu menatapnya terlebih dahulu. Sudah tak sabar menunggu kelulusan yang sebenarnya tiba. Karena itu merupakan akhir menuju awalan yang indah.
                       ***
PART 7 : LYON, KAMI AKAN MENEMUIMU
Tiba di kota yang aku dan sahabat kecilku idam-idamkan sejak dahulu. Kota bersejarah yang menjadi saksi persahabatan orang tua kami yang menyenangkan. Dahulu, orang tua kami sempat tinggal di kota ini ketika krisis moneter melanda negara kami tahun 1998. Disini, orang tua kami dan keluarganya membangun kembali usaha sampai maju hingga sekarang. Lalu kembali lagi ke Indonesia setelah krisis moneter usai dan melanjutkan perusahaan bersama-sama.
Aku, Bima, dan Bastian tinggal bersama di rumah keluarga kami yang berada di satu kawasan. Untungnya, jarak antara kampus dan kediaman kami yang baru ini tidak terlalu jauh. Ah, bahagia sekali hidupku.
Sore itu sembari menghabiskan waktu, aku, Bima, dan Bastian berjalan-jalan di tengah kota Lyon. Aku sengaja merepotkan mereka untuk mencarikanku sebuah aromanis warna-warni berbentuk bunga yang besar. Bak putri raja yang sedang menyuruh para pelayan untuk mengabulkan permintaannya. Mereka mau saja menuruti perintahku. Baik sekali memang Bima dan Bastian. Aku menyayangi keduanya.
Kami bertiga duduk di pinggiran jalan kota Lyon sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Bima sedang kembali kepada kebiasaannya yang berbakat yaitu melukis. Entah apa yang ia sedang lukis. Mungkin menjiplak salah satu mural yang ada di kota ini. Memang, kota Lyon terkenal akan kota dengan banyak mural di setiap dinding bangunan dan gedung-gedungnya. Bahkan, kota ini disebut sebagai kota mural di Perancis.
                       ***
Aku terbangun dari tidur untuk mengambil segelas air putih hangat di dapur. Di ruang tengah, Bima masih terbangun sedang menonton film kesukaannya, yaitu Transformers dengan sub judul terbarunya yaitu Transformers : The Last Knight. Aku menghampiri lalu duduk di sebelahnya. "Kalo nonton film kaya ginian, ajak-ajak dong Bim..", pintaku dengan alih mengganggunya. Dia tersenyum lalu megacak-acak rambutku yang tidak aku ikat. Semakin lama, semakin mengantuk juga. Aku dan Bima tertidur di sofa ruang tengah hingga dini hari.
Mamasuki hari-hari perkuliahan aku mulai sibuk dengan segala macam aktivitas. Lebih sibuk dan tugas banyak menumpuk dibandingkan saat SMA. Minggu-minggu pertama di kampus masih terasa asing. Aku, Bima, dan Bastian berkuliah di salah satu kampus terfavorit di kota ini bernama Universit de Lyon. Namanya juga Perancis, ya semua mahasiswa dan pengajar menggunakan bahasa Perancis ketika kegiatan perkuliahan. Untungnya, karena kakekku merupakan penduduk asli negara ini, maka sedari kecil ia sudah mengajarkan aku sedikit demi sedikit bahasanya.
                        ***
PART 8 :SEMUA YANG SUDAH DITATA DENGAN BAIK, HANCUR
Sepulang kuliah, aku dan kedua sahabatku mampir ke kebun anggur yang jaraknya tidak jauh dari komplek rumah kami. Aku ingin menyaksikan bagaimana serunya memanen anggur. Telepon dari saku celanaku berdering. Ada telpon dari bunda. Katanya, ada kabar buruk bahwa Ajana..., Ajana meninggal? Mendengar itu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Teleponku, aku jatuhkan lalu menunduk dan menangis di depan kedua sahabatku. Bima mengambil teleponnya dan berbicara pada bunda. Ajana sakit Demam Berdarah dan mengalami trauma berat akibat kecelakaan di laut saat di Bali.
Aku merasa bersalah atas kepergiannya. Bastian menangis, lalu berlari ke rumah. Aku dan Bima mengejarnya. "Semuanya salah kamu, Bi! Kalo aja hari itu kamu ga so soan kangen sama kakekmu itu, ga pengen surfing, ini semua ga akan terjadi! Ajana pasti ga akan pergi!", bentak Bastian kepadaku. Aku mencoba menjelaskan dan menenangkannya bahwa semua itu merupakan kecelakaan dan takdir. Semua terjadi karena kehendak yang maha kuasa. "Kamu gabisa nyalahin aku gitu aja, Bas. Semua itu kecelakaan dan sudah digariskan oleh Tuhan", jelasku padanya.
Aku melihat Bima, dia pun sama pusingnya mendengar kejadian ini. Bima pun sama, sama sama menyalahkanku. Aku kesal, aku marah kepada mereka. "Bas, kamu sayang sama Ajana?", tanyaku padanya. Dia menjawab, "Lebih dari kalian!", masih dengan nada marahnya. Aku terkejut mendengar itu. Rasanya hatiku hancur. Aku kira persahabatan kita di atas segalanya. Tetapi, menurut Bastian tidak. Ajana yang segalanya. Aku menangis, aku pergi dari rumah. Entahlah, aku tidak punya tujuan. Aku diam saja di tempat ketika aku dan kedua sahabatku menghabiskan aromanis berbentuk bunga besar di hari pertama kami sampai di Lyon. Aku menangis mengingat-ingat pengalaman persahabatan kami selama delapan belas tahun yang menyenangkan. Tetapi, mendengar ucapan Bastian tadi, aku merasa semua itu tidak ada apa-apanya.
Aku masih duduk di pinggiran kota ini, mataku sembab. Orang-orang di hadapanku berlarian sambil berhamburan. Mereka semua kenapa? Sedang dikejar anjing? Atau Satpol PP? Aku melihat cahaya terang di salah satu bangunan di gedung kota itu yang agak dekat dengan kediamanku. Tiba-tiba suara ledakan terdengar begitu kencang. Aku berlari begitu cepat menjauhi bangunan itu. Badanku terpental lalu kepalaku menghantam trotoar jalan. Penglihatanku buram, badanku lemas tak bertenaga. Terasa sekali, banyak darah yang bercucuran di keningku.
                     ***
Sudut pandang Bima :
Aku bingung disitu. Bastian masih tampak kesal dan menangis tersedu-sedu. Bintang lari, pergi entah kemana. Aku berusaha mencari Bintang ke setiap sudut kota Lyon. Diluar, banyak sekali orang berlalu-lalang. Mobil polisi, ambulan, dan pemadam kebakaran saling berdatangan. Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Aku tak sengaja mendengar dari seorang lelaki paruh baya yang menjerit sambil berlari-lari, "Awas ada bom! Cepat-cepat pergi! Ada seorang remaja wanita yang terkena ledakan! Tolong bantu dia!", Aku langsung teringat dengan Bintang. Dimana keberadaannya sekarang? Ya Tuhan, semoga dia baik-baik saja.
Malam itu, aku mendapat telepon dari pihak rumah sakit. Remaja wanita yang bernama Bintang Asmara Alauna menjadi korban ledakan bom di kota Lyon sore tadi. Aku terkejut, pikiranku buyar. Aku harus pergi menemui Bintang sekarang juga. Aku memberitahu Bastian dan bergegas menuju rumah sakit untuk melihat kondisi Bintang. Ia sedang berbaring di ruangan UGD dan sedang ditangani oleh tim medis. Wajahnya berlumuran darah, para perawat sedang membasuhnya dengan kain kasa. Astaga Bintanggggg!!! Aku menjerit melihatnya. Aku sudah menghubungi keluarganya agar cepat terbang ke Perancis hari ini juga. Badanku gemetar, aku memaksa masuk ke ruangan itu. Tetapi, para perawat itu menahanku. Kata dokter, kondisi Bintang kronis. Tuhan, selamatkan Bintang. Aku akan melakukan apa saja demi keselamatannya.
Bastian diam di sudut ruangan rumah sakit. Aku menghampirinya. Dia memelukku, lalu menangis, lagi. "Bim, aku gamau Bintang pergi. Aku gamau orang yang aku sayang, yang kita semua sayang pergi lagi. Apalagi ini Bintang. Cewe paling berpengaruh diantara kita. Bim, kita harus gimana, Bim?!", teriaknya di telingaku. Aku pun sama, Â ikut menangis juga. Aku berusaha menenangkan Bastian, "Bas, untuk sekarang ini kita berdo'a yang terbaik untuk keselamatan Bintang. Aku yakin kok, Bintang pasti kuat. Dia pasti selamat dan sembuh. Mimpi kita yang selanjutnya harus tercapai bareng-bareng lagi. Ga boleh ada satu pun diantara kita yang pergi".
                       ***
PART 9 : KEMBALI BERSAMA
Sejak malam, aku dan Bastian tidur menemani Bintang di rumah sakit. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku baru saja pulang dari toko coklat yang biasa aku beli jika berkunjung ke kota ini untuk pameran lukisanku. Aku membeli sekotak coklat kesukaannya Bintang.Â
"Bintang, aku membawakan coklat kesukaanmu. Dan ini, hadiah dariku untukmu. Jika hadiahnya sudah terbuka, itu tandanya kamu sudah bangun. Aku menunggu momen itu". Bintang dinyatakan koma. Aku terus berdo'a agar ia cepat siuman. Kita harus pergi ke Paris. Waktu di Bali, ia pernah memimpikan soal Menara Eiffel. Akan kubawa dirimu kesana Bintang. Sembuhlah demi mimpi-mimpi kita.
Sudah tiga puluh hari terlewati. Bintang masih belum bangun juga. Dari pagi hingga pagi lagi, Bastian selalu ada di samping Bintang. Ia mengharapkan Bintang untuk segera bangun dari komanya. Aku tau, ia pun pasti menyukai Bintang. Tetapi, ia tak pernah mengungkapkannya sampai bertemu dengan Ajana. Dan rasa dalam dirinya pasti tumbuh kembali.
Aku pergi keluar sebentar untuk mencari udara segar. Berusaha memainkan sebuah lagu yang indah dengan biola  demi menghibur diri sendiri. Aku teringat dengan lagu yang pernah ku mainkan bersama Bintang waktu perayaan ulang tahun SMA. Lagu itu diberi judul "Hiduplah Demi Kau dan Aku" ciptaan oppa dan kakeknya Bintang. Dalam setiap bait liriknya, dalam jiwa ku berkata : Tuhan, sembuhkanlah Bintang. Hanya itu yang ku inginkan sekarang.
Bastian berlari ke arah ku, menarik tangan ku dengan paksa.
"Bim, huh.. huh... dari mana aja sih? Di cari seantero rumah sakit kaga ada",
"Ya dari tadi disini lah. Tenang tenang, tarik nafas, hembuskan. Sekarang jelasin ada apa lari-lari kesini ganggu ketentraman diri seorang Bima. Mana bau lagi, belum mandi kan?",
"Ah ga penting! Yang penting itu.."
"Itu apa?",
"Itu BINTANG SADAR!!!!",
"APAAA??!!",
Aku berlari menuju ruang rawat inap itu. Dua perawat dan seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah penuh senyuman. Aku yakin itu pertanda baik. Dokter mengatakan, kondisi Bintang sudah membaik dan lumayan stabil. Ia hanya butuh waktu untuk pemulihan dari koma. "Bintang mencari Bima, anda Bima bukan?", Â tanya dokter itu padaku. Iya, iya, aku Bima.
Bintang menjulurkan kedua tangan, aku memeluknya dengan erat. Di atas meja di samping kasurnya, terdapat lukisan buatanku. Ia sudah membukanya ternyata.
"Bintang, lukisannya bagus kan?",
"Tidak, kurang satu orang soalnya. Kamu!"
"Kan aku yang gambar, gimana sih", sambil tertawa mendengar pernyataan Bintang
"Enggak mau, pokonya entah bagaimana caranya, harus ada tiga orang! Kita kan sahabat. Iya kan Bas?", tanyanya pada Bastian yang ada di sebelahku. Bastian tersenyum lalu mengangguk.
                       ***
EPILOG
Sudut pandang Bintang :
Aku sudah bangun. Bersyukur karena masih bisa melihat kalian, kedua sahabatku yang aku sayang. Ayah, bunda, dan yang lainnya datang. Memelukku dan memberikan banyak bingkisan serta bunga yang berwarna-warni. Aku senang masih bisa berjumpa. Mereka tertawa bahagia, aku pun sama. Terimakasih Tuhan, karena Kau masih memberiku kesempatan untuk kembali bersama dengan orang-orang tercinta.
Pagi itu, aku sudah siap dengan segala benda yang akan aku bawa. Yeay! Kita akan ke Paris hari ini. Aku tak sabar melihat Menara Eiffel yang megah itu. Aku masuk ke dalam mobil bersama Bima dan Bastian untuk memulai perjalanan. Orang tuaku dan yang lainnya mengikuti dari belakang.
Akhirnya, berhasil juga aku dan kedua sahabatku menginjakan kaki di kota ini, yang orang-orang sebut dengan kota romantis. Aku mengajak Bima dan Bastian untuk menghampiri seorang pelukis yang ada di pinggir taman. "Tuan, mau kah engkau melukis kami bertiga?", tanyaku pada pelukis itu. Ia mengangguk dan mengatakan bisa. Aku meminta untuk dilukis bersama Menara Eiffel nya juga, agar lebih ikonik menurutku.
"Lukisannya sudah jadi", sambil memberikan lukisan itu kepada ku yang sudah terbungkus rapi. "Terimakasih ya, Tuan", sambil menyodorkan beberapa lembaran euro kepadanya. "Wah, bagus sekali lukisannya. Lebih bagus dari lukisan Bima malah hahaha", ledek Bastian kepadanya. Bima hanya balik tertawa begitu pun aku.Â
Inilah yang aku harapkan kembali. Berada diantara orang-orang yang menciptakan warna di dalam hidupku. Orang-orang yang selalu berusaha mengisi kekosongan jiwaku. Mengusir sepi dan sunyi, dengan tawa juga harmoni. Tak henti-hentinya aku berkata, Terimakasih, terimakasih Tuhan atas segala yang Kau berikan.
"Bintang, Bastian, berhasil juga aku bawa kalian kesini. Akhirnya, aku bisa kembali lagi ke Perancis. Tetapi, tidak seorang diri. Ada kalian yang bisa menjaga dan menemani", Bima tersenyum menatap lagit. Aku dan Bastian mengikutinya sambil berbaring di atas rumput hijau di hadapan Menara Eiffel.
                       ***
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H