Bastian berlari ke arah ku, menarik tangan ku dengan paksa.
"Bim, huh.. huh... dari mana aja sih? Di cari seantero rumah sakit kaga ada",
"Ya dari tadi disini lah. Tenang tenang, tarik nafas, hembuskan. Sekarang jelasin ada apa lari-lari kesini ganggu ketentraman diri seorang Bima. Mana bau lagi, belum mandi kan?",
"Ah ga penting! Yang penting itu.."
"Itu apa?",
"Itu BINTANG SADAR!!!!",
"APAAA??!!",
Aku berlari menuju ruang rawat inap itu. Dua perawat dan seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah penuh senyuman. Aku yakin itu pertanda baik. Dokter mengatakan, kondisi Bintang sudah membaik dan lumayan stabil. Ia hanya butuh waktu untuk pemulihan dari koma. "Bintang mencari Bima, anda Bima bukan?", Â tanya dokter itu padaku. Iya, iya, aku Bima.
Bintang menjulurkan kedua tangan, aku memeluknya dengan erat. Di atas meja di samping kasurnya, terdapat lukisan buatanku. Ia sudah membukanya ternyata.
"Bintang, lukisannya bagus kan?",
"Tidak, kurang satu orang soalnya. Kamu!"
"Kan aku yang gambar, gimana sih", sambil tertawa mendengar pernyataan Bintang
"Enggak mau, pokonya entah bagaimana caranya, harus ada tiga orang! Kita kan sahabat. Iya kan Bas?", tanyanya pada Bastian yang ada di sebelahku. Bastian tersenyum lalu mengangguk.
                       ***
EPILOG
Sudut pandang Bintang :
Aku sudah bangun. Bersyukur karena masih bisa melihat kalian, kedua sahabatku yang aku sayang. Ayah, bunda, dan yang lainnya datang. Memelukku dan memberikan banyak bingkisan serta bunga yang berwarna-warni. Aku senang masih bisa berjumpa. Mereka tertawa bahagia, aku pun sama. Terimakasih Tuhan, karena Kau masih memberiku kesempatan untuk kembali bersama dengan orang-orang tercinta.
Pagi itu, aku sudah siap dengan segala benda yang akan aku bawa. Yeay! Kita akan ke Paris hari ini. Aku tak sabar melihat Menara Eiffel yang megah itu. Aku masuk ke dalam mobil bersama Bima dan Bastian untuk memulai perjalanan. Orang tuaku dan yang lainnya mengikuti dari belakang.
Akhirnya, berhasil juga aku dan kedua sahabatku menginjakan kaki di kota ini, yang orang-orang sebut dengan kota romantis. Aku mengajak Bima dan Bastian untuk menghampiri seorang pelukis yang ada di pinggir taman. "Tuan, mau kah engkau melukis kami bertiga?", tanyaku pada pelukis itu. Ia mengangguk dan mengatakan bisa. Aku meminta untuk dilukis bersama Menara Eiffel nya juga, agar lebih ikonik menurutku.
"Lukisannya sudah jadi", sambil memberikan lukisan itu kepada ku yang sudah terbungkus rapi. "Terimakasih ya, Tuan", sambil menyodorkan beberapa lembaran euro kepadanya. "Wah, bagus sekali lukisannya. Lebih bagus dari lukisan Bima malah hahaha", ledek Bastian kepadanya. Bima hanya balik tertawa begitu pun aku.Â
Inilah yang aku harapkan kembali. Berada diantara orang-orang yang menciptakan warna di dalam hidupku. Orang-orang yang selalu berusaha mengisi kekosongan jiwaku. Mengusir sepi dan sunyi, dengan tawa juga harmoni. Tak henti-hentinya aku berkata, Terimakasih, terimakasih Tuhan atas segala yang Kau berikan.