Aku mantapkan langkah kakiku menuju bangunan tua di pinggir kampung. Sebuah bangunan yang entah tahun berapa berdiri, namun yang jelas, sudah ada sebelum aku dilahirkan.
Masih kuingat dulu masa kecilku sering bermain di sana dan saat itu pun sudah tampak tua. Sampai sekarang belum lagi dipugar. Melestarikan bangunan bersejarah katanya.Â
Benar atau tidak alasan itu aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena stasiun itu hanya ramai setahun sekali waktu lebaran. Setelah itu, hanya satu dua orang yang mau menumpang lewat stasiun itu.
Stasiun itu selalu dilewati kereta, tapi jarang disinggahi, dan kalaupun keretanya mampir, tempat duduknya sudah penuh. Ya memang begitu, nasib stasiun kecil lagi tua. Selalu dinomorsekiankan. Dan tampaknya bukan hanya nasib stasiun tua itu saja. Hampir semua hal di negara ini, yang tidak lagi menjanjikan sumber uang, jangan harap menjadi perhatian.
Bagian tengah bangunannya cukup lapang, kira-kira bisa menampung sekitar 300 orang. Tempat duduk yang berderet menempel sekeliling tembok sudah tidak layak lagi. Ada yang jebol sandarannya, atau dudukannya tinggal separo, dan yang ada pun sangat kotor karena jarang diduduki lagi.
Di sebelah kiri, ada dua toilet berdempetan dengan ruang musholla yang sangat sempit. Aku tidak pernah menyalahkan arsiteknya mengapa memberi ruang shalat yang sangat sempit, hanya cukup untuk empat orang shalat berjajar. Satu alasan yang pasti, orang datang ke stasiun itu jelas bukan untuk shalat. Jadi mengapa harus dibuat bagus dan luas? Cukup masuk akal bukan?
Di sebelah kanan, ruangan kantor yang merangkap tempat penjualan karcis. Lubang transaksi yang biasanya berbentuk setengah lingkaran, kini sudah tak ada karena sudah lama jebol dan sampai sekarang belum pernah diganti. Mungkin saja agar tetap alami.
Lampu neon 20 what yang melintang di tengah ruangan, warna kacanya sudah kecoklat-coklatan, karena saking lamanya tak dibersihkan. Sinarnya pun jadi temaram. Sangat cocok dengan suasana gedung tua itu, menjadi satu kolaborasi antik.
Malam ini kuputuskan untuk tidur di stasiun. Mencari inspirasi. Aku sudah tidak mampu lagi berfikir waras. Aku setres berat. Satu tahun aku sudah lulus sekolah, tapi bayangan bisa bekerja tak kunjung tampak. Semua lamaran yang kuajukan ditolak. Dimana lagi aku bisa dapat duit jika aku tak dapat kerja?
Mau usaha? Hmm, entahlah, bapakku lebih suka tidur diatas karung uang dibanding harus memutarnya sebagai usaha produktif.
"Uang bisa bekerja sendiri dan bahkan beranak pinak tahu!" bentak bapakku ketika aku minta sedikit modal. Aneh. Tapi itulah bapakku. Dan aku tidak harus mengikuti jejak-jejak hitam hidupnya.
Mau kerja di sawah, tidak dapat dijadikan pegangan. Selain lahannya yang sudah menyempit, hasil sawah saat ini sama sekali tidak berharga. Tampaknya orang Indonesia tidak lagi doyan ketela, kacang rebus, atau pecel, yang semuanya diproduksi dari sawahnya para petani lokal. Mereka lebih suka makan pizza, burger atau bistik, yang diproduksi dari para petani luar negeri.
"Ah. Entahlah, mungkin aku yang sudah ketinggalan jaman." Hatiku mencoba menyimpulkan.
Kusandarkan badanku di salah satu bangku, setelah kubersihkan. Kunyalakan rokok sebagai satu-satunya teman yang selama ini tak pernah protes meski ku bakar habis.Â
Kuhisap dalam-dalam dan aku pun melamun, apapun pikiran yang tiba-tiba muncul, kuturut hingga merasakan perjalanan rohani yang nikmat. Habis satu batang, kusulut lagi. Waktu semakin malam dan lamunanku semakin jauh, sampai kurasakan antara tidur dan terjaga.
Dalam setengah sadarku aku dikejutkan dengan suara orang berlarian dan tiba-tiba hilang begitu saja dalam ruang Musholla. Aku beranjak dan memepetkan diri ke tembok sebelah kiri dengan gaya pengintai.Â
Mereka pasti maling. Kulihat jam di dinding, samar-samar terlihat, jam tiga pagi. Ini adalah kesempatan. Siapa tahu dengan berhasil menangkap mereka aku bisa diangkat menjadi hansip kampung. Lumayan, dari pada nganggur terus.
"Apa kita akan menunggu sampai pagi Kang?" terdengar mereka berbisik.
"Iya. Kita tunggu orang-orang sudah mulai pergi ke pasar, biar tidak ada yang curiga."
"Kalo begitu kita bagi sekarang saja. Kayaknya tidak ada yang tahu dan mengejar kita."
"Tapi terlalu gelap, kita bagi diruang tengah saja."
"Wah gawat. Aku harus sembunyi. Ah tidak, aku harus tau siapa mereka" aku berpikir sepontan. Aku berjingkat ke arah tiga bangku yang masih berjajar di pojok ruangan dan membaringkan tubuhku. Aku akan pura-pura tidur, biar dikira gelandangan atau orang gila.Â
Stasiun tua seperti ini memang sangat pas dijadikan rumah para gelandangan dan orang gila. Daripada harus membuat rumah sendiri, yang rawan digusur Pemda karena dianggap mengotori pemandangan.
Pemerintah tidak pernah mau tahu bahwa mereka benar-benar tak memiliki rumah lain. Mereka mestinya jangan hanya menggusur tapi membangunkan rumah, minimal mewakafkan tanah untuk mereka bikin kampung gelandangan atau kampung orang gila sendiri. Sehingga jika kumuh maka cukup satu daerah saja tidak dimana-mana.Â
Tapi, ah, peduli amat dengan pemerintah. Mereka kan sekarang bukan pelayan masyarakat, justru menjadi ndoro yang harus dilayaani. Dunia memang sudah terbalik.
Kulihat dua orang berjalan pelan keluar dari musholla. Mereka terkejut dan sepontan hendak lari. Namun diurungkan saat memperhatikan aku tampak tidur pulas. Apalagi kucoba mengeluarkan suara dengkur yang kubuat-buat.
"Bajingan. Dasar maling. Sampah masyarakat. Untung kalian berdua, kalau sendirian sudah kugampar habis." Hatiku mengumpat sepuasnya. Kulirik mereka dengan membuka mata sedikit.
"Kita dapat cukup banyak. Lumayan dapur kita akan mengepul kembali. Anak-anak kita bisa terus sekolah." Salah seorang bergumam saat hasil maling mereka gelar dengan santainya.
"Bah. Maling tetap maling. Apapun tujuan kalian namanya maling tetap merugikan. Kalian tidak mikir apa, anak turun yang dihidupi dari maling, biasanya tumbuh jadi maling juga. Mereka harus dihentikan, generasi maling harus diputus. Sudah cukup pejabat korupsi maling duit rakyat. Masa rakyatnya sendiri ingin jadi maling juga? Apa jadinya dunia jika semua orang jadi maling?" Aku terus mengumpat dalam hati. Aku tak kenal mereka meski telah membuka tutup mukanya. Sepertinya mereka adalah orang desa seberang, atau justru lebih jauh lagi.
"Pak Siswono memang kaya. Ayo segera kita bagi" terdengar salah seorang bicara sebelum mereka mulai membagi hasil kerja malam itu.
Pak Siswono? Camat yang dituduh korupsi itu? Camat yang dianggap menyunat dana pengembangan desa sampai 30%? Tapi dia akhirnya tidak dihukum karena buktinya tidak kuat. Maklum saja, dia memiliki koneksi dengan orang-orang penting yang bikin keputusan.Â
Di mana-mana rakyat jika berhadapan dengan pejabat dalam pengadilan selalu kalah. Kalau dia yang dimaling aku sebenarnya juga bersyukur. Biar kapok. Meski tidak dihukum Negara, dia telah dihukum oleh rakyatnya sendiri.
Tapi maling kan tetap buruk. Sunan Kali Jaga saja tobat tidak lagi mencuri, padahal hasilnya diberikan kepada rakyat yang miskin. Atau Robin Hood yang mencuri harta para penguasa untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Tapi mereka bukan Robin Hood yang mencuri untuk kemaslahatan rakyat, mereka mencuri karena malas bekerja, hanya untuk kepentingan pribadi.
Malas? Tib-tiba kata itu berulang-ulang terngiang. Apa benar mereka adalah orang yang malas. Mencuri pada malam hari dengan resiko mati dibakar jika tertangkap. Agaknya kata malas kurang cocok bagi orang yang mencari hidup dengan taruhan nyawa.Â
Malas itu jika hanya duduk-duduk menunggu datangnya sumbangan tunai pemerintah tiap bulan tanpa usaha kerja apapun. Itu baru malas. Ah ternyata program hebat pemerintah itu hanya memperbanyak orang pemalas saja. Aku yang mau bekerja keras ternyata tak ada peluang, tapi justru pemerintah bagi-bagi duit pada orang pemalas. Sungguh tidak adil.
Maling-maling itupun bukan orang yang hanya mau pangku tangan menunggu bantuan. Mungkin saja usaha halal yang mereka tempuh selalu buntu dan frustasi. Sehingga perbedaaan mereka dengan diriku mungkin hanya batas frustasi yang berbeda. Mereka sudah frustasi dan aku belum. Mungkin tahun depan atau dua tahun lagi aku akan frustasi dan memilih menjadi maling seperti mereka.
"Man, bagianku lebih banyak ya, anakku kan lebih banyak." Terdengar mereka bicara dengan suara yang pelan, mungkin takut aku terbangun. Padahal aku sama sekali tidak tidur.
"Tapi istriku juga lagi mau melahirkan. Aku butuh biaya untuk persalinan yang tidak sedikit."
"Tapi... si bungsu bulan ini mau masuk TK. Kalau tak cukup uang pangkalnya dia akan urung sekolah. Taukan kau sekarang mahalnya sekolah TK. Jauh lebih mahal ketimbang SD, bahkan kuliah."
"Sama saja Kang. Sekarang yang namanya sekolah memang mahal, jangankan sekolah, ngaji TPA sekarang pake pungut biaya. Dulu aku diajar ngaji, pak kyai tak pernah minta bayar. E... sekarang, baru ngajar a, bat, ta, tsa, saja sudah minta bayar. Heran aku."
"Kalo begitu, malam besok kita operasi lagi saja. Tapi targetnya harus jelas. Pertama dia harus pejabat dan kalau perlu yang kira-kira tukang korupsi. Biar mereka kapok. Jika hak kita tidak diberikan dengan baik-baik, ya kita rampas. Adil kan kalau begitu?"
Adil? Sangat paradok dengan apa yang mereka lakukan. Tapi bisa saja. Saat keadilan kita bebaskan untuk dilahirkan siapa saja, tidak menjadi hegemoni kekuasaan, maka ia akan hadir dalam bentuk yang paling kasar. Selama ini keadilan diklaim sebagai otoritas pengadilan, yang ternyata banyak putusannya jauh dari nilai keadilan itu sendiri.
Keadilan dalam versi para maling ini adalah jika mereka mendapat bagian dari kekayaan pejabat korupsi, apalagi yang ditambah tidak mau zakat dan sedekah. Bagi mereka mencuri adalah hak yang perlu dilindingi undang-undang. Mereka adalah Robin Hood bagi keluarga mereka masing-masing.
Keinginanku untuk menangkap basah mereka sedikit berkurang. Bagaimana mungkin aku membiarkan anak-anak tidak sekolah, atau menyaksikan persalinan yang seharusnya disambut gembira, ternyata dirundung duka karena tak ada duit untuk membayar dokter.Â
Tapi aku juga butuh pekerjaan. Dengan menangkap mereka aku bisa mendapat kesempatan menjadi hansip kampung. Dalam kepura-puraan tidur aku berpikir keras untuk memilih.
"Tapi apa tega aku yang seorang saja dapat kerjaan, sementara dua orang terpenjara dan dua keluarga terlantar. Ah tidak. Aku tidak boleh egois. Biar Tuhan nanti yang menentukan jatahku." Aku mengambil kesimpulan untuk tidak terlibat apapun. Biarlah malam ini lewat seperti tak kusaksikan apapun. Aku hanya tertidur di stasiun tua dan bermimpi buruk.
"Ya, target baru nanti kita pikirkan lagi."
"Ya sudah. Kita sisakan sedikit untuk gelandangan itu. Sepertinya dia juga sangat butuh seperti kita."
"Boleh. Ayo segera kita pulang. Ini sudah hampir subuh."
Dua orang itu beranjak dan mendekati tempat aku tertidur. Terdengar satu bungkusan diletakkan di bawah bangku tidurku.
"Ah. Terimakasih Tuhan." Tiba-tiba aku bersorak dalam hati. Baru saja aku ngomong pada Tuhan. Ternyata Dia memang Maha Adil, Maha Kasih, dan Maha Penyayang. Jatahku langsung kontan diberikan.
"Pak tunggu." Aku bangun dari tidurku dan menghampiri dua orang pencuri itu yang sudah diambang pintu keluar. Mereka tampak sangat terkejut.
"Eh, tunggu pak. Saya tidak akan lapor siapa-siapa. Bapak tahu kan Pak Suwandi? Lintah darat yang selalu laris karena tak ada alternatif lain bagi orang yang mau pinjam. Yang rumahnya di ujung desa sebelah utara. Dia itu layak untuk dicuri hartanya. Tapi jangan lupa besok malam saya tunggu di sini." Entah setan mana yang merasukiku, tiba-tiba saja nama Suwandi muncul di benakku.
Kedua orang itu hanya tersenyum dan segera pergi menuju arah pasar dan pulang dengan hasil yang telah dibagi rata. Bertiga.
Terbayang dalam benakku, bagaimana nanti wajah bapakku merah padam karena marah ketika tahu pundi-pundi harta haramnya dimaling orang. Hmm.
Jogjakarta, 4 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H