Malas? Tib-tiba kata itu berulang-ulang terngiang. Apa benar mereka adalah orang yang malas. Mencuri pada malam hari dengan resiko mati dibakar jika tertangkap. Agaknya kata malas kurang cocok bagi orang yang mencari hidup dengan taruhan nyawa.Â
Malas itu jika hanya duduk-duduk menunggu datangnya sumbangan tunai pemerintah tiap bulan tanpa usaha kerja apapun. Itu baru malas. Ah ternyata program hebat pemerintah itu hanya memperbanyak orang pemalas saja. Aku yang mau bekerja keras ternyata tak ada peluang, tapi justru pemerintah bagi-bagi duit pada orang pemalas. Sungguh tidak adil.
Maling-maling itupun bukan orang yang hanya mau pangku tangan menunggu bantuan. Mungkin saja usaha halal yang mereka tempuh selalu buntu dan frustasi. Sehingga perbedaaan mereka dengan diriku mungkin hanya batas frustasi yang berbeda. Mereka sudah frustasi dan aku belum. Mungkin tahun depan atau dua tahun lagi aku akan frustasi dan memilih menjadi maling seperti mereka.
"Man, bagianku lebih banyak ya, anakku kan lebih banyak." Terdengar mereka bicara dengan suara yang pelan, mungkin takut aku terbangun. Padahal aku sama sekali tidak tidur.
"Tapi istriku juga lagi mau melahirkan. Aku butuh biaya untuk persalinan yang tidak sedikit."
"Tapi... si bungsu bulan ini mau masuk TK. Kalau tak cukup uang pangkalnya dia akan urung sekolah. Taukan kau sekarang mahalnya sekolah TK. Jauh lebih mahal ketimbang SD, bahkan kuliah."
"Sama saja Kang. Sekarang yang namanya sekolah memang mahal, jangankan sekolah, ngaji TPA sekarang pake pungut biaya. Dulu aku diajar ngaji, pak kyai tak pernah minta bayar. E... sekarang, baru ngajar a, bat, ta, tsa, saja sudah minta bayar. Heran aku."
"Kalo begitu, malam besok kita operasi lagi saja. Tapi targetnya harus jelas. Pertama dia harus pejabat dan kalau perlu yang kira-kira tukang korupsi. Biar mereka kapok. Jika hak kita tidak diberikan dengan baik-baik, ya kita rampas. Adil kan kalau begitu?"
Adil? Sangat paradok dengan apa yang mereka lakukan. Tapi bisa saja. Saat keadilan kita bebaskan untuk dilahirkan siapa saja, tidak menjadi hegemoni kekuasaan, maka ia akan hadir dalam bentuk yang paling kasar. Selama ini keadilan diklaim sebagai otoritas pengadilan, yang ternyata banyak putusannya jauh dari nilai keadilan itu sendiri.
Keadilan dalam versi para maling ini adalah jika mereka mendapat bagian dari kekayaan pejabat korupsi, apalagi yang ditambah tidak mau zakat dan sedekah. Bagi mereka mencuri adalah hak yang perlu dilindingi undang-undang. Mereka adalah Robin Hood bagi keluarga mereka masing-masing.
Keinginanku untuk menangkap basah mereka sedikit berkurang. Bagaimana mungkin aku membiarkan anak-anak tidak sekolah, atau menyaksikan persalinan yang seharusnya disambut gembira, ternyata dirundung duka karena tak ada duit untuk membayar dokter.Â