Mau kerja di sawah, tidak dapat dijadikan pegangan. Selain lahannya yang sudah menyempit, hasil sawah saat ini sama sekali tidak berharga. Tampaknya orang Indonesia tidak lagi doyan ketela, kacang rebus, atau pecel, yang semuanya diproduksi dari sawahnya para petani lokal. Mereka lebih suka makan pizza, burger atau bistik, yang diproduksi dari para petani luar negeri.
"Ah. Entahlah, mungkin aku yang sudah ketinggalan jaman." Hatiku mencoba menyimpulkan.
Kusandarkan badanku di salah satu bangku, setelah kubersihkan. Kunyalakan rokok sebagai satu-satunya teman yang selama ini tak pernah protes meski ku bakar habis.Â
Kuhisap dalam-dalam dan aku pun melamun, apapun pikiran yang tiba-tiba muncul, kuturut hingga merasakan perjalanan rohani yang nikmat. Habis satu batang, kusulut lagi. Waktu semakin malam dan lamunanku semakin jauh, sampai kurasakan antara tidur dan terjaga.
Dalam setengah sadarku aku dikejutkan dengan suara orang berlarian dan tiba-tiba hilang begitu saja dalam ruang Musholla. Aku beranjak dan memepetkan diri ke tembok sebelah kiri dengan gaya pengintai.Â
Mereka pasti maling. Kulihat jam di dinding, samar-samar terlihat, jam tiga pagi. Ini adalah kesempatan. Siapa tahu dengan berhasil menangkap mereka aku bisa diangkat menjadi hansip kampung. Lumayan, dari pada nganggur terus.
"Apa kita akan menunggu sampai pagi Kang?" terdengar mereka berbisik.
"Iya. Kita tunggu orang-orang sudah mulai pergi ke pasar, biar tidak ada yang curiga."
"Kalo begitu kita bagi sekarang saja. Kayaknya tidak ada yang tahu dan mengejar kita."
"Tapi terlalu gelap, kita bagi diruang tengah saja."
"Wah gawat. Aku harus sembunyi. Ah tidak, aku harus tau siapa mereka" aku berpikir sepontan. Aku berjingkat ke arah tiga bangku yang masih berjajar di pojok ruangan dan membaringkan tubuhku. Aku akan pura-pura tidur, biar dikira gelandangan atau orang gila.Â