Lawatan Presiden Prabowo ke berbagai negara pada pertengahan November 2024 membawa harapan untuk gajah Sumatera. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan usai sidang paripurna kabinet pada 2 Desember lalu menyampaikan beberapa hasil lawatan presiden diantaranya komitmen Prabowo untuk menyumbangkan 20.000 ha lahan miliknya di Aceh menjadi area konservai gajah. Hal ini sebagai tindak lanjut pembicaraan saat bertemu Raja Charles dalam kunjungan ke Inggris.
Diketahui bahwa lahan yang akan dijadikan area konservasi gajah tersebut adalah bagian dari konsesi PT. Tusam Hutani Lestari dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang dimiliki Prabowo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Aceh.
Pemerhati lingkungan dan instansi terkait dalam beberapa tahun ini telah melakukan kajian jelajah gajah salah satunya memanfaatkan  lahan konsesi sebagai upaya menangani konflik manusia-gajah.
Gajah Sumatera hidup hampir di seluruh provinsi di Pulau Sumatera dan tengah menghadapi ancaman yang sama yakni berkonflik dengan manusia karena perubahan fungsi habitat dan perburuan. Manusia dan dan gajah memanfaatkan kawasan yang sama dan keberadaan gajah untuk bertahan hidup sering  dikesampingkan.
Gajah Sumatera tidak hanya mendiami kawasan dengan status konservasi tetapi sebagian besar hidup dan menjelajah di kawasan yang telah diberi izin konsesi. Peran pemegang izin dalam upaya konservasi gajah adalah keharusan jika kita tidak mau kehilangan satwa langka ini.
Tidak hanya memberikan ruang bagi gajah namun juga penanganan konflik gajah-manusia harus tepat. Tidak bisa dipungkiri dengan semakin menyempitnya habitat gajah, frekuensi pertemuan manusia dan gajah akan acap kali terjadi yang tentu akan membahayakan kedua belah pihak.
Banyak sudah upaya yang dilakukan untuk mengantisip konflik manusia-gajah mulai dari patroli berjalan kaki, patroli menggunakan gajah latih, patroli dengan kendaraan bermotor, pemakaian kalung satelit pada gajah sehingga diketahui keberadaan mereka untuk mendapatkan berbagai informasi salah satunya sebagai peringatan dini agar tidak terjadi gangguan pada lahan masyarakat, pembuatan parit gajah dan lain sebagainya.
Namun sampai hari ini masih sering terjadi konflik gajah atau pun gajah mati atau pun manusia cedera atau meninggal karena serangan gajah. Dokumen berbagai macam strategi konservasi telah banyak dihasilkan oleh kementrian terkait, akademisi, pegiat lingkungan namun sejauh ini masih belum sukses menjawab permasalahan.
BonaÂ
Bona berbalai panjang, gajah kecil yang imut. Tingkah lakunya lucu, ceria dan suka menolong. Ia selalu muncul dengan solusi tak terduga atas kesulitan yang dihadapinya dan teman-temannya.
Tidak ayal lagi, ia sangat disukai teman-temannya dan tentu saja anak-anak yang hidup di tahun 70 hingga awal 90 an yang menanti terbitnya cerita ini pada majalah anak terkenal saat itu. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Belalai Bona bertransformasi menjadi berbagai fungsi, bisa jadi perahu untuk menyebrang melintasi sungai, menjadi tangga untuk sahabatnya naik ke pohon, menarik sesuatu yang berat, menyiram tanaman dan banyak lagi. Selalu ada solusi dari Bona dengan bantuan belalainya dan keceriaan yang dihadirkannya.
Kini Bona-Bona tidak lagi seimut gambaran itu. Gajah-gajah kesulitan mencari makanan di habitatnya karena hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati (kehati) telah berubah menjadi kebun sawit dan akasia, pemukiman bahkan lengkap dengan berbagai fasilitas umum. Mereka bertahan dalam ruang sempit yang terfragmentasi padahal sejatinya gajah memiliki daerah jelajah yang luas. Satu hari gajah dapat menjelajah sekitar 20 km.
Dalam penjelajahan, mereka memerlukan asupan makanan karena itu sepanjang lintasan yang dilewati mereka mematahkan ranting-ranting atau memakan rumput-rumputan, mengupas batang-batang pohon, meraih buah-buahan, menyedot dan menyemburkan air ke tubuhnya, berjalan beriringan dalam kelompok yang bisa mencapai 50 ekor atau lebih.
Menyemburkan air yang ditemuinya untuk mendinginkan tubuhnya, berenang dan berguling-guling di pinggiran sungai. Namun kini pemandangan seperti itu sulit ditemui.
Gajah dihalau dengan mercon, dilempari dengan obor, ditembaki dengan meriam dengan tak tentu arah. Gajah pun panik, berlari namun tidak ada tempat bersembunyi, rombongan pun terpisah dan semakin panik karena anak-anak mereka terpisah dari induknya.
Dalam situasi ini mereka merusak beberapa bagian lahan perkebunan masyarakat atau perusahaan tetapi mereka sebenarnya melintasi daerah jelajah mereka.
Tidak mau menanggung kerugian, manusia pun melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi masuknya gajah ke lahan mereka dari membuat parit gajah, pagar listrik, atau melakukan penjagaan dan pengusiran. Upaya ini sangat baik jika dilakukan sesuai dengan prosedur yang aman bagi gajah dan manusia.
Namun sesuai prinsip ekonomi, mendapatkan hasil sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya maka seringkali penanganan tersebut tidak sesuai dan justru membahayakan gajah.
Kepentingan gajah sering diabaikan karena tidak semua orang memahami dan tidak peduli arti penting satwa ini untuk keseimbangan ekosistim. Gajah dianggap satwa pengganggu dan berbahaya sehingga keberadaannya harus ditiadakan.
Gajah secara ekologi merupakan spesies kunci dalam menjaga habitat untuk menjamin ketersediaan pakan bagi kelompok gajah itu sendiri. Secara tidak langsung biodiversitas di dalam homerange akan terlindungi dari gangguang sekitar (Abdullah et al.,2012) seperti dikutip dari Studi Perilaku Gajah Sumatera di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas, Annisa Salsabila et al.,2017).
Berjalan sambil memakan tumbuh-tumbuhan menjadi suatu bukti bagaimana gajah menyebarkan benih-benih di sepanjang daerah jelajahnya yang bisa mencakup ratusan km2.
Sistim pencernaannya yang kurang baik menyebabkan gajah mengeluarkan kotoran setiap jamnya sehingga mereka memerlukan makan yang banyak, sekitar 10% dari bobot tubuh.
Kotoran yang masih segar menjadi media tumbuh yang baik bagi bibit yang terbawa di dalamnya atau pun dibantu sebarkan oleh perantara lain seperti angin. Secara ideal keanekaragaman hayati (kehati) di habitat tersebut akan terus terjaga sebelum adanya intervensi manusia scara masif.
Bona Terdampar di HutanÂ
Polisi, petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam bersama pegiat lingkungan akhirnya sampai ke kawasan hutan yang tidak lagi berhutan. Jangan bayangkan sekarang kawasan hutan sulit diakses, manusia tidak perlu berjalan jauh karena mobil dapat melintas hutan yang telah terbuka.
Sejauh mata memandang tampak silih berganti hamparan perbukitan terbuka, kebun sawit yang sudah produksi, muda bahkan yang baru ditanam, tanaman akasia yang akan segera dipanen, yang baru ditanam terhampar silih berganti dan ada juga yang tumbuh liar merajalela, sesukanya mau tumbuh kemana. Di antara bentang tersebut terlihat beberapa pemukiman dengan bangunan permanen, bahkan ada kantor pemerintah yang telah terbangun di kawasan hutan.
Hutan yang baik akan berfungsi optimal dalam menyerap karbon yang dihasilkan dari berbagai bentuk aktifitas manusia seperti industri, kendaraan, pembangkit listrik dan mencegah karbon terlepas ke atmosfir. Deforestasi (kehilangan hutan) dan degradasi (kerusakan hutan) berkontribusi besar terhadap emisi karbon global yakni 18-20%.
Di Indonesia sendiri, sektor ini penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca yakni 60%. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bumi telah mengalami kenaikan suhu yang membawa beberapa dampak seperti perubahan pola hujan, banjir dan badai yang semakin sering terjadi, naiknya permukaan air laut, dan tentu saja hilangnya beberapa jenis keanekaragaman hayati.
Tim terus mencari dan langkah mereka mulai perlahan karena bau busuk sudah sangat tajam terasa.
"Bona!" pekik Rifaldi, begitu melihat beberapa bangkai gajah tergeletak dengan kondisi yang menggembung, tidak jauh dari posisi tim berdiri. Begitulah Rifaldi secara spontan memanggil gajah-gajah karena memori massa kecilnya dihiasi dengan petualangan si Bona berbelalai panjang.
Lelaki berumur 40 tahun itu sungguh beruntung karena bekerja pada organisasi lingkungan yang bergerak dalam upaya konservasi satwa dan habitatnya. Ia sesekali ikut tim patroli gajah.
Petugas menyisir sekitar dan menemukan karung yang berisi dedak yang membalur beberapa sabun batangan yang di dalamnya ditemukan butiran-butiran hitam yang diduga racun. Barang bukti ini pun dibawa. Enam bangkai gajah diautopsi untuk kepentingan penyelidikan.
Terkadang gajah juga diracun dengan menggunakan buah-buahan seperti nenas atau pun dengan jerat sling untuk menyakiti gajah. Di beberapa kejadian, anak-anak gajah ditemukan dalam keadaan kaki yang membusuk karena terkena jerat.
Kejadian seperti ini acap kali terjadi di Provinsi Riau dalam rentang waktu 2004 hingga 2018.  Seperti holocaust gajah karena kematian mereka beruntun dan tidak hanya satu gajah namun kadang  ditemukan tiga hingga 7 bangkai di suatu TKP yang sama.
Belum kelar petugas berwenang mengumpulkan data terkait kematian gajah yang satu, telah terjadi lagi kematian gajah lainnya. Bahkan kematian mereka baru diketahui setelah mereka menjadi tulang-belulang yang berarti peristiwanya telah terjadi dalam hitungan bulan.
Sungguh sangat ironi memang, di hamparan kawasan perkebunan yang kerap ada aktifitas manusia dan tentu saja ada patroli atau pengawasan dari pihak perusahaan, kematian gajah lambat diketahui.
Ada juga kematian gajah yang memanfaatkan situasi konflik manusia-gajah dengan menargetkan gading alias ada motif perburuan dengan menggunakan senjata api.Â
Pada 10 Mei 2006, otoritas dikejutkan dengan penemuan bangkai gajah di Desa Pontian Mekar, suatu desa yang berbatasan dengan bagian Selatan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau.
Petugas menemukan sebuah proyektil di bagian kepala bangkai gajah yang diperkirakan telah mati lebih dari seminggu dengan lubang menganga bekas pengambilan sepasang gadingnya. Polisi melakukan penyidikan kasus ini termasuk uji lab proyektil tersebut namun hingga kini kasusnya tidak pernah terungkap.
Pergerakan gajah jantan sangat lincah dan dapat bereaksi lebih agresif karena itu bentuk kerusakan yang timbul pada lahan yang dilintasinya lebih besar. Gajah jantan juga dapat menyerang manusia karena merasa terganggu atau terkejut dengan aktifitas manusia.
Gadingnya menjadi incaran karena bernilai tinggi hingga puluhan juta bahkan ratusan juta di tangan kolektor. Jantan remaja akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk hidup sendiri namun tetap memantau kelompok besarnya yang dipimpin oleh betina dewasa. Situasi masyarakat yang mengalami gangguan gajah dimanfaatkan oleh pemburu untuk menargetkan membunuh dan mengambil gading gajah.
Kematian gajah yang sia-sia alias tanpa penegakan hukum menjadi salah satu penyebab tingginya kematian gajah di Riau dan provinsi lainnya di Sumatera.
Di Riau, ratusan gajah mati sepanjang tahun 2000 hingga 2014 tanpa diikuti penegakan hukum kecuali satu kasus di tahun 2005 ketika Pengadilan Negeri Rokan Hulu menjatuhkan hukuman 12,5 tahun penjara kepada 1 orang pemburu yang telah menembak 3 ekor gajah jantan di Kecamatan Tambusai Utara bersama 3 orang rekannya.
Ini adalah penegakan hukum pertama kasus kematian gajah yang pernah tercatat di Riau dan dengan hukuman tinggi karena pelaku dijerat dengan hukuman berlapis dengan penggunaan senjata api dan melawan petugas.
Tiga pelaku ditembak petugas kepolisian sektor Tambusai Utara dan mati sedangkan dua personil kepolisian mengalami cedera serius menghadapi pertarungan fisik terhadap pelaku yang menggunakan senjata tajam dan senjata api sebelum akhirnya perlawanan mereka berhasil dihentikan.Â
Harus menunggu 10 tahun kemudian hingga akhirnya ada proses pengadilan yang kembali menjatuhkan hukuman kepada pelaku pemburu gajah di Riau.Â
Pada awal Februari 2015, Enam pemburu bersenjata api diamankan oleh personil kepolisian dari Polda Riau di Kota Pekanbaru ketika tengah membawa hasil buruan sepasang gading dari wilayah konsesi PT. Arara Abadi di Kecamatan Pinggir, Bengkalis. Sementara 1 orang lagi yang menjadi penyokong dana dan pemilik senjata yang digunakan komplotan untuk berburu juga diamankan.
Dari penyidikan, komplotan juga diketahui telah melakukan perburuan di Kecamatan Langgam, Pelalawan, tidak jauh dari Taman Nasioan Tesso Nilo. Mereka berhasil menembak 2 ekor gajah jantan anak dan 1 betina dewasa dan mengamankan 2 pasang gading dan 1 pasang caling (mirip gading bagi gajah betina).Â
Namun sangat disayangkan, Pengadilan Negeri Bengkalis hanya memutus 1 tahun 1 bulan bagi eksekutor dan 1 tahun bagi penyokong dana dan pemilik senjata api. Sementara 5 lainnya divonis 1 tahun dan ada yang 10 bulan.
Dalam rentang waktu 10 tahun tersebut banyak sudah gajah yang menjadi korban namun tidak penegakan hukum yang berjalan. Kebanyakan  kasus terhenti pada proses awal dengan berbagai alasan.
Hukuman yang diharapkan dapat menjadi peringatan bagi orang-orang untuk tidak membunuh gajah tidak ada. Alasan ini juga yang menjadi pembenaran ketika terjadi konflik gajah-manusia dimana gajah  sehingga masyarakat mengorbankan gajah.
Menurut catatan WWF-Indonesia, 145 ekor gajah mati pada 2004 hingga 2014 di Riau yang sebagian besar karena konflik. Jumlah ini yang diketahui mungkin ada lagi yang tidak diketahui dan hanya yang terjadi di Riau. Kondisi yang sama juga terjadi di berbagai habitat gajah di provinsi lainnya.
Dalam rentang waktu 10 tahun setelahnya bisa jadi jumlah kematian lebih kecil atau lebih besar. Lebih kecil bisa jadi karena upaya yang dilakukan intensif untuk mencegah kematian gajah atau karena populasi gajah sendiri yang telah semakin sedikit.
Gajah memiliki nilai kearifan lokal dan sejarah bagi bangsa Indonesia. Orang Melayu menyebut gajah dengan Datuk Godang (besar). Datuk adalah sebutan untuk menghargaiorang yang dituakan.
 "Maaf Tuk, kami tak bermaksud mengganggu Tuk".
Begitulah biasanya yang diucapkan masyarakat ketika berjumpa dengan gajah, yang diajarkan turun temurun. Beberapa orang tua yang pernah saya jumpai bercerita kalau dulu tidak sulit mengusir gajah, mereka cukup berteriak atau melempar dengan ranting atau batu sambil berdoa supaya sang datuk menjauh.Â
Gajah menjadi kendaraan perang pada saat nusantara dihiasi dengan kerajaan-kerajaan. Tercatat kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Aceh memiliki bala pasukan bergajah yang  membawa mereka berjaya dalam mempertahankan wilayah kekuasaan dan berniaga. Tidak cukup 4 atau 5 lembar kertas untuk menceritakan arti penting gajah bagi bangsa ini.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H