Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kepercayaan Publik terhadap Sistem Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

6 Januari 2025   20:48 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Proses pelipatan surat suara pemilu. (Foto: KOMPAS/RADITYA HELABUMI) 

Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak awal pelaksanaannya. Salah satu yang paling kontroversial adalah wacana kembali ke mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Sistem ini sempat diterapkan pada masa Orde Baru, tetapi kemudian digantikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat pasca reformasi. 

Kini, ketika gagasan ini muncul kembali, pertanyaan yang mendasar adalah: bagaimana kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD?

Sejarah Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sistem ini dianggap efisien, tetapi dalam praktiknya, cenderung menjadi alat kepentingan politik pusat. 

Reformasi tahun 1998 membawa perubahan besar, termasuk penerapan pilkada langsung pada tahun 2005. Sistem ini bertujuan meningkatkan partisipasi rakyat dan memastikan pemimpin yang dipilih lebih mewakili kehendak masyarakat.

Namun, pilkada langsung juga membawa tantangan seperti politik uang, konflik sosial, hingga beban anggaran yang besar. Dalam konteks ini, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD muncul sebagai solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Keunggulan dan Kritik terhadap Sistem oleh DPRD

Pendukung sistem pemilihan oleh DPRD sering mengajukan beberapa argumen utama. Pertama, sistem ini lebih hemat anggaran karena tidak melibatkan proses kampanye yang besar-besaran. 

Kedua, risiko konflik horizontal yang sering terjadi dalam pilkada langsung dapat diminimalisasi. Ketiga, sistem ini dinilai dapat memperkuat peran partai politik dalam mengawal demokrasi, dengan harapan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah tokoh yang kompeten dan dapat bekerja sama dengan DPRD.

Namun, di sisi lain, kritik terhadap sistem ini juga tidak kalah tajam. Banyak pihak khawatir bahwa pemilihan oleh DPRD berpotensi membuka ruang lebih besar untuk politik transaksional.

Proses pemilihan di dalam gedung DPRD yang tertutup dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas. 

Selain itu, publik merasa kehilangan hak mereka untuk secara langsung menentukan pemimpin daerah. Hal ini dikhawatirkan dapat merusak legitimasi kepala daerah yang terpilih.

Dinamika Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik terhadap sistem ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sejarah dan persepsi terhadap kinerja DPRD. 

Dalam banyak kasus, DPRD sering kali dianggap sebagai lembaga yang rawan korupsi dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat. 

Jika kepercayaan publik terhadap DPRD rendah, maka sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Selain itu, masyarakat cenderung memiliki harapan besar terhadap proses demokrasi langsung. Pilkada langsung memberikan rasa memiliki atas proses demokrasi dan hasilnya. Pengembalian sistem pemilihan ke DPRD mungkin dianggap sebagai langkah mundur yang membatasi ruang partisipasi rakyat.

Jalan Tengah: Mencari Solusi yang Inklusif

Dalam situasi ini, penting untuk mencari solusi yang mampu menjembatani efisiensi dan partisipasi rakyat. Beberapa alternatif dapat dipertimbangkan, seperti:

1. Memperbaiki Pilkada Langsung

Memperketat pengawasan terhadap politik uang, meningkatkan pendidikan politik masyarakat, dan mengefisiensikan anggaran pilkada dapat menjadi langkah untuk mengatasi kelemahan sistem pilkada langsung.

2, Meningkatkan Transparansi DPRD

Jika sistem pemilihan oleh DPRD tetap dipertimbangkan, maka perlu ada mekanisme transparansi yang ketat. Proses pemilihan harus terbuka dan dapat dipantau oleh publik untuk meminimalisasi potensi penyimpangan.

3. Hybrid System

Menggabungkan unsur pilkada langsung dan tidak langsung. Misalnya, masyarakat memilih calon dalam pemilihan awal, sementara DPRD menentukan kandidat terbaik dari hasil tersebut.

Kepercayaan publik adalah fondasi utama bagi keberhasilan setiap sistem politik. Apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD, yang paling penting adalah memastikan bahwa proses tersebut transparan, akuntabel, dan menghasilkan pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi daerahnya. 

Sebelum memutuskan untuk mengubah sistem, pemerintah dan pembuat kebijakan harus mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap demokrasi di Indonesia.

Semoga keputusan apa pun yang diambil dapat semakin mendekatkan kita pada cita-cita demokrasi yang sejati: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Beberapa Pengalaman

Kita akan melihat beberapa pengalaman dari daerah yang pernah menerapkan sistem tersebut, bagaimana publik merespons, serta tantangan yang muncul dalam membangun kepercayaan terhadap sistem ini.

Sejarah dan Pengalaman Masa Lalu

Sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD melalui proses yang dianggap lebih terpusat. 

Namun, proses ini sering kali dipandang sebagai simbol kontrol pusat terhadap daerah. Publik hanya menjadi penonton dalam pemilihan pemimpin mereka, tanpa memiliki kesempatan untuk langsung terlibat.

Pengalaman ini menorehkan kesan buruk di kalangan masyarakat. Banyak laporan tentang politik transaksional dan praktik oligarki yang menguasai proses pemilihan tersebut. 

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem ini rendah, karena masyarakat merasa tidak memiliki kontrol atas pemimpin yang akan memengaruhi kehidupan mereka secara langsung.

Studi Kasus: Kepercayaan Publik dalam Pemilihan oleh DPRD

1. Keterlibatan DPRD dalam Politik Transaksional

Di beberapa daerah, praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi sorotan utama. 

Salah satu kasus yang menonjol adalah adanya dugaan jual beli suara di DPRD, yang mana kandidat dengan dukungan finansial besar memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Situasi seperti ini menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat.

2. Kesenjangan antara Pemimpin dan Rakyat

Salah satu kritik terbesar terhadap sistem ini adalah jarak antara pemimpin terpilih dan masyarakat. Dalam sistem pilkada langsung, masyarakat dapat menilai langsung rekam jejak dan visi calon kepala daerah. 

Namun, ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD, publik kehilangan kontrol dan hanya dapat berharap bahwa DPRD memilih kandidat yang terbaik. Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa prioritas DPRD sering kali berbeda dari harapan masyarakat.

3. Minimnya Transparansi

Proses pemilihan oleh DPRD cenderung tertutup, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengawasi dan memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil. 

Ketika publik tidak dapat melihat bagaimana keputusan diambil, kepercayaan terhadap sistem ini semakin melemah.

Dampak terhadap Kepercayaan Publik

Pengalaman-pengalaman di atas telah meninggalkan jejak mendalam terhadap pandangan publik mengenai pemilihan kepala daerah oleh DPRD. 

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem ini cenderung rendah, terutama di daerah yang memiliki sejarah kuat dengan politik transaksional.

Bagi masyarakat yang terbiasa dengan pilkada langsung, sistem pemilihan oleh DPRD dianggap sebagai langkah mundur. Mereka merasa kehilangan suara dan hak untuk menentukan pemimpin secara langsung. 

Ketika rasa memiliki terhadap proses demokrasi berkurang, dampaknya tidak hanya pada legitimasi pemimpin yang terpilih, tetapi juga pada stabilitas sosial dan politik di daerah tersebut.

Pelajaran dari Pengalaman Negara Lain

Pengalaman serupa juga dapat ditemukan di beberapa negara lain yang menerapkan sistem serupa. Di India, misalnya, pemilihan kepala daerah oleh dewan lokal sering dikritik karena kurangnya keterlibatan masyarakat dan risiko korupsi. 

Sebaliknya, negara-negara dengan sistem pemilihan langsung, seperti Filipina, menghadapi tantangan seperti politik uang, tetapi tetap mendapat dukungan karena rakyat memiliki kendali lebih besar dalam proses pemilihan.

Tantangan dan Solusi

Untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD, beberapa langkah dapat dilakukan:

  1. Transparansi Proses Pemilihan
    Proses pemilihan oleh DPRD harus dilakukan secara terbuka dan dapat diawasi publik. Ini dapat mencakup siaran langsung proses pemilihan dan pelaporan yang rinci mengenai kriteria penilaian calon kepala daerah.
  2. Reformasi DPRD
    Meningkatkan akuntabilitas dan integritas anggota DPRD adalah langkah penting. Jika DPRD dipercaya sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat, maka sistem pemilihan ini akan lebih dapat diterima.
  3. Kombinasi dengan Partisipasi Publik
    Sistem pemilihan oleh DPRD dapat diimbangi dengan mekanisme partisipasi masyarakat, seperti survei publik atau forum konsultasi untuk mengidentifikasi calon yang paling diinginkan rakyat.

Kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan persepsi terhadap integritas DPRD itu sendiri. 

Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan reformasi menyeluruh, wacana ini hanya akan memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Namun, dengan pendekatan yang tepat, termasuk reformasi DPRD dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sistem ini masih memiliki peluang untuk diterima. 

Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran, bukan sekadar nostalgia. Demokrasi yang sehat harus terus berkembang dengan mempertimbangkan suara rakyat sebagai elemen utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun