Sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD melalui proses yang dianggap lebih terpusat.Â
Namun, proses ini sering kali dipandang sebagai simbol kontrol pusat terhadap daerah. Publik hanya menjadi penonton dalam pemilihan pemimpin mereka, tanpa memiliki kesempatan untuk langsung terlibat.
Pengalaman ini menorehkan kesan buruk di kalangan masyarakat. Banyak laporan tentang politik transaksional dan praktik oligarki yang menguasai proses pemilihan tersebut.Â
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem ini rendah, karena masyarakat merasa tidak memiliki kontrol atas pemimpin yang akan memengaruhi kehidupan mereka secara langsung.
Studi Kasus: Kepercayaan Publik dalam Pemilihan oleh DPRD
1. Keterlibatan DPRD dalam Politik Transaksional
Di beberapa daerah, praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi sorotan utama.Â
Salah satu kasus yang menonjol adalah adanya dugaan jual beli suara di DPRD, yang mana kandidat dengan dukungan finansial besar memiliki peluang lebih besar untuk terpilih. Situasi seperti ini menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat.
2. Kesenjangan antara Pemimpin dan Rakyat
Salah satu kritik terbesar terhadap sistem ini adalah jarak antara pemimpin terpilih dan masyarakat. Dalam sistem pilkada langsung, masyarakat dapat menilai langsung rekam jejak dan visi calon kepala daerah.Â
Namun, ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD, publik kehilangan kontrol dan hanya dapat berharap bahwa DPRD memilih kandidat yang terbaik. Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa prioritas DPRD sering kali berbeda dari harapan masyarakat.