Chap 9: Matahari Terakhir
Di dalam Hutan Agrasura yang terlihat menyejukkan dari luar namun berbahaya di dalam, berdiri sebuah Kerajaan Siluman yang dikuasai oleh seorang Penyihir Sakti, Ajisana Mahardika, yang kini sedang memikirkan cara untuk menangkap Ratu Siluman sebelumnya, Dyah Asih Malapetaka.
"Dyah Asih... Kau tidak akan bisa lari dari ku khikhikhi hidup mu ada di tangan ku, dan ketika aku sudah mendapatkan mu khikhikhi aku akan bertambah kuat khikhikhi." Ajisana tertawa di atas singgasana namun tawa nya berhenti ketika seorang siluman datang ke hadapannya.
Seorang siluman kadal datang ke hadapan Ajisana Mahardika dan berlutut, "Hamba izin menghadap Maharatu."
"Siluman kadal, apa yang membawa mu kesini? Apa kau sudah menyelesaikan tugas yang kuberikan padamu? Khikhikhi."
"Siap Maharatu, hamba telah menemukan keberadaan Dyah Asih. Dia berada di kerajaan Tirtapura bersama seorang pria yang menemani nya." lapor si siluman kadal.
Sontak Ajisana Mahardika berdiri dari duduknya, tertawa kencang, "Dyah Asih!! Akhirnya... Akhirnya... Kau akan aku habisi. Penjaga! Masukkan siluman kadal ini ke penjara! Biarkan dia membusuk bersama kawanannya." perintah Ajisana Mahardika.
Terpancar aura haus darah dari mata Ajisana Mahardika, ia tidak bisa menahan hasrat untuk membunuh Dyah Asih. Seakan-akan hidupnya hanya untuk membunuh Dyah Asih, lantas Ajisana Mahardika memerintahkan dua orang jenderal siluman untuk memimpin pasukan besar ke kerajaan Tirtapura.
"Kerajaan Tirtapura... Heh khikhikhi sudah lama aku tidak merasakan perang," gumam Ajisana Mahardika.
Lalu datanglah dua orang siluman ke hadapan Ajisana Mahardika, mereka adalah Dharmasur, seorang siluman raksasa dengan senjata gada dan Artharagsa, seorang siluman penyihir yang dapat mengendalikan mayat.
"Pergilah kalian menuju Kerajaan Tirtapura, hancurkan dan binasakan lah. Bawalah Dyah Asih ke hadapan ku, karena hidupnya adalah milikku khikhikhi." perintah Ajisana Mahardika.
"Hoo... Apakah kau tidak ingin menemuinya sendiri? Aku kira kau akan pergi kesana sendiri." seorang pria berjubah muncul dari balik bayangan.
"Khikhikhi hal itu tidak diperlukan, Dyah Asih memang sangat berharga bagi ku, tetapi dia tidak bisa pergi dari genggaman ku. Aku bisa mengambilnya kapan saja."
"Jadi kau membiarkan nya menari diatas tangan mu? Tak heran butuh berpuluh-puluh tahun untukmu mendapatkan tahta. Aku rasa aku akan mengikuti ide mu untuk saat ini." ucap pria berjubah itu.
"Khikhikhi kau diam saja disana dan perhatikan bagaimana Dyah Asih akan berakhir di tangan ku," Ajisana Mahardika berdiri dan mengangkat tongkat sihirnya, "Terbukalah! Pintu yang menghubungkan gelap dan terang, api dan air, hidup dan mati. Terbukalah! Gerbang Ghanidarma!" Ajisana Mahardika merapalkan mantera yang memunculkan gerbang teleportasi, Gerbang Ghanidarma, yang dapat mengantarkan pasukan siluman nya menuju Kerajaan Tirtapura dengan sekejap mata.
"Hmm... Gerbang Ghanidarma, menarik." ucap sang pria berjubah.
"Khikhikhi dengan ini Dyah Asih tidak akan punya kesempatan untuk lari. Pasukan serang!" perintah Ajisana Mahardika dan segera pasukan siluman bergerak serentak menyerang Kerajaan Tirtapura.
***
Dengan menaiki Ki Wiryo dalam bentuk burung raksasa, Maheswara terbang menuju Kerajaan Tirtapura karena mendapatkan perintah dari Raja Astrasoca.
"Hei apa masih jauh? Aku rasa aku ingin muntah." tanya Nyi Kulodarmaji.
"Hei jangan muntah disini! Astaga, seorang penyihir yang bisa terbang seperti mu bahkan bisa mabuk udara." gerutu Maheswara.
"Mau bagaimana lagi, aku sudah lama tidak berpergian dengan terbang seperti in-- urghh hoek..." Nyi Kulodarmaji yang sudah tak tahan memuntahkan isi perutnya di atas langit.
"Hei!! Jangan muntah sembarangan! Penyihir dungu!!" geram Maheswara.
"Mereka terus berkelahi selama perjalanan..." gumam Sang Jaka. "Paman lihat! Kita sudah berada di atas kerajaan Tirtapura. Dan itu... sebuah pasukan siluman?!" lanjut Sang Jaka terkejut.
Maheswara segera memfokuskan penglihatannya, pasukan siluman sudah berada dekat dengan gerbang terluar kerajaan Tirtapura. "Sang Jaka, segera arahkan Ki Wiryo ke ruang singgasana." ucap Maheswara.
"Hah apa sudah sampai? Wahh... Lihat itu! Pasukan siluman! Kuhahaha apa kita akan bertarung lagi disini?! Aku akan turun--" Nyi Kulodarmaji segera bersemangat ketika melihat pasukan siluman.
"Jangan kau seenaknya saja turun kesana! Ada sesuatu yang kita lakukan sebelum itu." ucap Maheswara.
"Hee... Mengecewakan."
Maheswara dan kawan-kawan pun sampai di halaman istana dan segera menemui Raja Astrasoca. "Maheswara, tepat waktu." ucap Raja Astrasoca.
"Apa yang sebenarnya terjadi disini Raja?" tanya Maheswara.
"Kerajaan Siluman Agrasura, mereka datang untuk mengambil Dyah Asih dan menghancurkan kerajaan ini. Namun aku tidak melihat Raja mereka." jawab Raja Astrasoca.
"Raja? Apakah penyihir waktu itu?" gumam Maheswara.
"Hmm? Apa kau memiliki sesuatu yang mengganjal di hati mu?" tanya Raja Astrasoca.
"Raja, ketika aku bertemu Nyai Dyah Asih di Kerajaan Siluman Agrasura, aku melihat seorang penyihir yang memerintahkan para siluman itu. Kalau tidak salah Nyai sering menyebut namanya Ajisana Mahardika." jelas Maheswara.
"Ajisana Mahardika kah? Hmm." gumam Raja Astrasoca.
"Si Ajisana itu hanyalah seorang keroco jika kau membandingkan nya dengan ku, aku bisa menghabisi nya dengan seketika di wilayah kekuasaan ku!" sela Nyi Kulodarmaji.
"Tapi Hutan Tengkorak sudah hancur.." ucap Sang Jaka.
Nyi Kulodarmaji terkejut malu mendengar hal itu. Sementara Maheswara hanya bersiul tidak merasa terlibat.
"Maheswara, sebaiknya kau beristirahat dan temuilah Dyah Asih. Biarkan pasukan Kerajaan Tirtapura yang menangani ini." titah Raja Astrasoca.
Maheswara hanya mengangguk dan segera pergi tanpa sangkalan.
"Sang Jaka temanilah Maheswara. Nyi Kulodarmaji aku meminta mu untuk disini." titah Raja Astrasoca.
Sang Jaka pun pergi mengejar Maheswara, sementara Nyi Kulodarmaji masih berdiri di hadapan singgasana raja.
"Jadi? Ada apa kau membiarkan ku disini Astrasoca? Apa yang kau inginkan?" tanya Nyi Kulodarmaji.
"Setelah beribu-ribu tahun kau tidak menampakkan diri dan terus-menerus mengurung dirimu di Hutan Tengkorak." ucap Raja Astrasoca.
"Hei harus ada seseorang yang menjaga siluman-siluman itu untuk tidak mengamuk dan menghancurkan sebuah negeri aku tahu! Selama beribu-ribu tahun kalian hanya bisa duduk disana dan memerintah, sementara aku menjaga tanah ini dari kehancuran," jelas Nyi Kulodarmaji.
"Aku bisa menghabisi mu dengan mudah saat ini juga kau tahu itu kan?" sambung Nyi Kulodarmaji dengan sedikit menyeringai.
"Aku tahu itu, walaupun kau kehilangan sebagian kekuatan mu kau tetaplah salah satu yang terkuat." jawab Raja Astrasoca.
"Heh kau tahu itu," Nyi Kulodarmaji tersenyum sombong. "Jadi apa yang kau mau? Jangan berharap lebih dari ku." tanya Nyi Kulodarmaji.
"Aku hanya ingin kau sedikit memberikan bantuan untuk meratakan pasukan siluman Agrasura--" perintah Raja Astrasoca terpotong.
"Terlalu berbelit-belit, aku pergi!!" Nyi Kulodarmaji melesat dari ruang singgasana dengan cepat menuju medan perang.
"Dia tidak pernah berubah." gumam Raja Astrasoca.
'duarr'
Nyi Kulodarmaji mendarat tepat di tengah-tengah pertempuran.
"Akhirnya... Ayo kita mengamuk!" Nyi Kulodarmaji segera menghabisi semua siluman yang ada di hadapannya.
"Oi oi oi apa ini? Mereka semua hanya keroco! Siapa orang paling kuat disini?! Hadapi aku!" teriak Nyi Kulodarmaji bergema di medan perang.
Lalu datanglah dua siluman dari ribuan siluman, siluman dengan tubuh besar bersenjatakan gada, Dharmasur, dan siluman dengan tongkat sihir ditangannya, Artharagsa.
"Kuhahaha apakah kalian yang terkuat disini? Ayo hiburlah aku," Nyi Kulodarmaji menyeringai lebar.
Dharmasur meraum dan segera berlari ke arah Nyi Kulodarmaji, lagi-lagi Nyi Kulodarmaji menyeringai. "Kau mau adu kekuatan hah?!" Nyi Kulodarmaji dengan cepat melesat ke arah siluman bertubuh besar itu.
'boom'
Kedua kekuatan beradu, Dharmasur terpental sementara Nyi Kulodarmaji tetap berdiri tegak. "Masih terlalu cepat 1000 tahun untukmu melawan ku bodoh!" Nyi Kulodarmaji melesat menuju Dharmasur yang masih terbang di udara.
Namun ketika ia ingin melompat, kaki nya terperangkap di tanah. "Huh?!" tanpa Nyi Kulodarmaji sadari si siluman penyihir, Artharagsa, yang sedari tadi diam telah merapalkan mantra perangkap agar Dharmasur bisa melancarkan serangan dari udara "Heh... Bisa-bisanya aku lengah," gumam Nyi Kulodarmaji.
Nyi Kulodarmaji menundukkan kepalanya namun dibalik itu ia menyembunyikan seringai yang mengerikan.
"Namun kalian tidak akan bisa mengalahkan ku dengan cara bodoh seperti ini!!!" Nyi Kulodarmaji meninju bumi, membuat tanah terbuka, retakan-retakan tercipta.
"Aku bahkan tidak perlu memanggil pusaka ku hanya untuk permainan anak-anak seperti ini. Tinjuku saja sudah cukup." sekarang Nyi Kulodarmaji melesat menuju Artharagsa, "Kau akan merepotkan." Nyi Kulodarmaji menggenggam kepalanya kencang.
Artharagsa hanya bisa mengejang dan mengerang kesakitan, "Aaahhgg... Am..pun... Aaaaaaaaaaaaaaaakkkkhhhhhhh!"
'splash'
"Diam dan matilah." Nyi Kulodarmaji menghancurkan kepala Artharagsa sebelum dia bisa menunjukkan kekuatan penuhnya.
"Huh?" Nyi Kulodarmaji segera menyadari bahwa Dharmasur berusaha melesatkan serangan dengan memanfaatkan titik buta nya.
"Hup." Nyi Kulodarmaji dapat menghindar dengan cepat.
"Heh... Boleh juga kau masih bisa bertahan dari serangan ku tadi." Nyi Kulodarmaji memuji ketahanan Dharmasur.
"Grrr... Kau... Menganggu..." gerutu Dharmasur.
"Hmm... Bisa berbicara ternyata. Aku baru tau ada samsak yang bisa berbicara kuhahaha."
"Grrrahhh!!" lagi-lagi Dharmasur berlari menuju Nyi Kulodarmaji.
"Heh," Nyi Kulodarmaji kembali menyeringai, "Mari kita lihat apa kau bisa bertahan dari yang satu ini." Nyi Kulodarmaji membentuk kuda-kuda nya, memperkuat aliran energinya, mengumpulkan kekuatan di tinju nya.
Jarak diantara mereka semakin dekat hingga akhirnya Dharmasur masuk ke jangkauan Nyi Kulodarmaji. "Terimalah, Tinju Karankurana!"
'dorr'
Nyi Kulodarmaji mengarahkan tinju nya ke arah Dharmasur, menciptakan lubang yang menganga di dada Dharmasur.
Tinju Karankurana adalah salah satu jurus milik Nyi Kulodarmaji yang biasa ia pakai ketika ia malas menggunakan sihir nya. Kekuatan tinju ini setara dengan seratus tinju berkecepatan tinggi, bahkan angin yang dihasilkan dari tinju ini mampu menembus baja.
"Mengecewakan." Nyi Kulodarmaji mengatur nafasnya, merilekskan tubuhnya, hatinya dipenuhi kekecewaan. Bahwasannya yang tersisa hanyalah siluman-siluman keroco.
"Ahh... Andai saja disini ada 100 Maheswara yang bisa 'menghibur' ku sampai aku merasa puas... Aahh..." Nyi Kulodarmaji sedang asik dengan dunianya sendiri.
Namun kesenangan itu tidak bertahan lama sampai ia merasakan kehadiran seseorang, "Hmm?!" Nyi Kulodarmaji melompat mundur karena merasakan bahaya.
Seorang pria misterius dengan jubah datang dari balik pasukan yang berperang, "Gerbang Ghanidarma, cukup berguna untuk berpergian ke tempat yang jauh. Mungkin sedikit lagi aku bisa menggunakan nya dengan leluasa." ucap pria berjubah itu.
"Siapa kau? Aku merasakan energi yang kuat dari mu. Mmm... Mungkin kau akan menarik." Nyi Kulodarmaji tidak bisa menahan hasratnya untuk bertarung walaupun ia baru saja selesai.
"Ah tidak... Aku tidak berniat melukai seorang teman lama." jawab sang pria berjubah.
"Teman lama?" Nyi Kulodarmaji kebingungan.
"Aku hanya datang untuk mengetahui kabar teman lama ku, kau terlihat hebat walaupun sudah beribu-ribu tahun kita tidak bertemu." lanjut sang pria berjubah.
"Aku tidak mengenal mu. Jika kau hanya ingin berbicara, sebaiknya enyahlah kau dari sini!" ancam Nyi Kulodarmaji.
"Tunggu dulu, jangan terlalu galak seperti itu. Kau memang tidak berubah sama sekali ya, Ravisha." sang pria berjubah menekankan suaranya pada kata terakhir yang ia ucapkan, Ravisha.
Nyi Kulodarmaji menunduk, ia merasakan perasaan yang telah lama ia tidak rasakan. Amarah, dendam, kebencian, kekecewaan, dan harapan. Semuanya menjadi satu, karena satu kata, Ravisha, memanggil semua ingatan yang ia telah tinggalkan.
"Kau... Apakah itu benar-benar kau..." Nyi Kulodarmaji mengangkat wajahnya, matanya tajam tertuju pada sang pria berjubah.
"Entahlah, apakah aku benar-benar dia yang kau maksud atau bukan. Yang pasti aku kesini hanya untuk melihat bagaimana keadaan teman lama ku, dan juga untuk memberitahu mu satu hal kecil." sang pria berjubah menyodorkan telapak tangannya lalu dari sana tiba-tiba muncul api yang menyala, dimana perlahan api itu membentuk delapan kelopak bunga.
"Lihat dan perhatikan." lanjut pria berjubah itu.
Warna dari api yang menyala itu berubah dari merah menjadi biru dan bersamaan dengan itu, delapan kelopak bunga semakin mekar dan dari intinya keluar sebuah pedang. Pedang yang begitu indah, memancarkan kekuatan yang luar biasa.
"Apakah itu?!" Nyi Kulodarmaji terkejut, ia tidak bisa menyakini bahwa hal itu benar-benar ada.
"Inilah, Warugeni." sang pria berjubah mengangkat tangannya ke arah langit, "Api merah jadi biru, delapan jalan kehidupan telah terbuka, jadi satu, Hasto Broto. Langit, runtuhlah!" pedang yang ia sebut Warugeni itu melesat dengan cepat kearah langit.
"Gawat!" Nyi Kulodarmaji segera pergi dari medan perang menuju kembali ke Istana Tirtapura. "Aku harus segera melaporkan ini."
Tak berselang lama setelah Warugeni melesat ke arah langit, langit pun bergemuruh, seakan ingin jatuh, petir menyambar dahsyat, langit yang cerah berubah jadi gelap dan membiru.
Para pasukan yang awalnya saling membunuh pun berhamburan menyelamatkan diri, namun apakah mereka benar-benar bisa selamat, tatkala langit akan runtuh menimpa mereka.
"Langit akan runtuh, bumi kan menopang. Matahari terakhir kan bersinar, cahayanya musnahkan kejahatan." gumam sang pria berjubah sambil menyaksikan langit yang semakin bergemuruh.
Sementara itu Nyi Kulodarmaji sampai di ruang singgasana dan memberitahu Raja Astrasoca, namun Raja Astrasoca sudah mengetahui ini akan terjadi berkat kekuatan penglihatan masa depan yang ia miliki.
"Segera evakuasi rakyat Tirtapura!" perintah Raja Astrasoca yang langsung dilaksanakan oleh para tentara kerajaan.
Raja Astrasoca berdiri dari singgasana nya, berjalan melewati Nyi Kulodarmaji dan berhenti di balkon lalu ia melihat ke atas langit yang sedang mengamuk.
"Ini bukanlah akhir dari perjalanan mu Maheswara. Ini adalah pembukaan, awal dari kisah hidupmu."
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H