"Tunggu dulu, jangan terlalu galak seperti itu. Kau memang tidak berubah sama sekali ya, Ravisha." sang pria berjubah menekankan suaranya pada kata terakhir yang ia ucapkan, Ravisha.
Nyi Kulodarmaji menunduk, ia merasakan perasaan yang telah lama ia tidak rasakan. Amarah, dendam, kebencian, kekecewaan, dan harapan. Semuanya menjadi satu, karena satu kata, Ravisha, memanggil semua ingatan yang ia telah tinggalkan.
"Kau... Apakah itu benar-benar kau..." Nyi Kulodarmaji mengangkat wajahnya, matanya tajam tertuju pada sang pria berjubah.
"Entahlah, apakah aku benar-benar dia yang kau maksud atau bukan. Yang pasti aku kesini hanya untuk melihat bagaimana keadaan teman lama ku, dan juga untuk memberitahu mu satu hal kecil." sang pria berjubah menyodorkan telapak tangannya lalu dari sana tiba-tiba muncul api yang menyala, dimana perlahan api itu membentuk delapan kelopak bunga.
"Lihat dan perhatikan." lanjut pria berjubah itu.
Warna dari api yang menyala itu berubah dari merah menjadi biru dan bersamaan dengan itu, delapan kelopak bunga semakin mekar dan dari intinya keluar sebuah pedang. Pedang yang begitu indah, memancarkan kekuatan yang luar biasa.
"Apakah itu?!" Nyi Kulodarmaji terkejut, ia tidak bisa menyakini bahwa hal itu benar-benar ada.
"Inilah, Warugeni." sang pria berjubah mengangkat tangannya ke arah langit, "Api merah jadi biru, delapan jalan kehidupan telah terbuka, jadi satu, Hasto Broto. Langit, runtuhlah!" pedang yang ia sebut Warugeni itu melesat dengan cepat kearah langit.
"Gawat!" Nyi Kulodarmaji segera pergi dari medan perang menuju kembali ke Istana Tirtapura. "Aku harus segera melaporkan ini."
Tak berselang lama setelah Warugeni melesat ke arah langit, langit pun bergemuruh, seakan ingin jatuh, petir menyambar dahsyat, langit yang cerah berubah jadi gelap dan membiru.
Para pasukan yang awalnya saling membunuh pun berhamburan menyelamatkan diri, namun apakah mereka benar-benar bisa selamat, tatkala langit akan runtuh menimpa mereka.