Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pencuri Harga Diri

11 Juli 2019   17:56 Diperbarui: 11 Juli 2019   22:39 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu malam, sebuah kampung geger sewaktu seorang warga yang bertugas ronda memukul kentongan sepuluh kali dengan memberi jeda pada tiap dua pukulan.

Nyaris semua warga yang mendengar berhamburan keluar rumah, menuju pos ronda setempat. Ada yang hanya memakai baju, ada yang hanya memakai celana dalam, bahkan ada yang bertelanjang.

Berduyun-duyun mereka berkumpul ke sebuah pos ronda yang terletak di pertengahan kampung yang agak kumuh dan muram itu.

"Siapa yang kemalingan?" tanya seorang warga yang telanjang.

"Entah," jawab yang bertugas ronda.

"Lalu kenapa kau memukul kentongan?" tanya ibu-ibu yang mengenakan daster.

"Tadi saya melihat ada seseorang yang lari terbirit-birit membawa Harga Diri," terangnya, "makanya saya pukul."

"Astaga. Kejam betul dia," ucap seorang warga yang hanya memakai celana, "ke mana dia lari?"

"Dia lari ke semak-semak. Hilang dalam gelap."

"Siapa jualah yang kehilangan Harga Diri di saat-saat begini. Kasihan benar dia."

"Harga Diri siapakah kira-kira?" tanya salah seorang warga pada kerumunan mereka. "Entah," jawab seorang lagi, "cuma keluarga Haji Amat, Ustad Gofur, dan Pak RW yang punya Harga Diri di kampung ini."
 
Sekejap kemudian munculah Pak RW sambil mengucek-ucek matanya. Dia baru bangun tidur.

"Siapa yang kemalingan?" tanya Pak RW.

"Entah," jawab warga yang meronda sambil mengupil.

"Tadi katanya, dia melihat ada orang asing lari ke semak-semak, Pak. Sambil membawa Harga Diri," terang seorang warga.

"Lalu? Adakah dari kalian yang merasa kehilangan Harga Diri?"

"Tidak, Pak. Harga Diri kami sudah tiada sejak cukup lama," jawab beberapa warga yang ada di pos serentak.

"Kau," tunjuk Pak RW pada satu warga yang tidak memakai baju dan celana, "Harga Diri kamu masih ada?"


"Tidak ada, Pak."

"Siapa jualah kiranya yang malang betul nasibnya kehilangan Harga Diri di saat-saat begini," Pak RW bingung sambil menggaruk-garuk kepala. "Kasihan benar dia tidak bisa menjual Harga Diri dengan mahal pada Calon Pemimpin nanti."

Tak lama setelah itu Ibu RW datang, terbirit-birit dia lari menyusul suaminya ke pos ronda. "Bapak.. Bapak.. Bapak...," panggil dia.

"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Pak RW pada istrinya yang mirip ikan buntal itu.

"Anu... Anu...," Istrinya ngos-ngosan.

"Tarik nafas dulu, Bu."

"Anu, Pak. Harga Diri kita hilang!"

Semua warga kaget. Tak terkecuali Pak RW yang membelalak matanya. "Hah!? Kok bisa!?" Pak RW kaget masih tak percaya. "Aduh Gusti! Malang betul nasibku!"

Atas perintah Pak RW seluruh warga berpencar untuk mencari Harga Diri keluarganya yang dibawa lari oleh seorang yang asing itu.

Berbondong-bondong mereka mencari Harga Diri keluarga Pak RW, ke semak-semak, ke selokan, ke jamban, hingga ke kandang kambing.

"Ketemu?" tanya Pak RW

"Belum, Pak," jawab warga yang telanjang.

"Kalau kau? Ketemu?" tanya Pak RW pada warga yang tadi meronda.

"Tidak juga, Pak."

Beberapa saat kemudian datanglah anak laki-laki Pak RW sambil menguap dan mengucek-ucek matanya.

"Siapa yang kemalingan?" tanya dia

"Entah," jawab warga yang meronda tadi.

"Loh, kau ini! Kan saya yang kemalingan!" sahut Pak RW sambil memukul kepala orang itu.

"Bapak kehilangan apa?"

"Harga Diri kita, Nak."

"Memang Bapak menaruhnya di mana?"

"Hah! Kau ini malah bertanya. Toh, seharusnya kau sudah tahu kalau bapak kau biasanya menaruhnya di bawah kasur," terang Pak RW. "Kau tidak lihat ada orang asing masuk ke rumah kita, Nak?"

"Tidak, Pak."

"Aneh benar. Dia bisa tahu letak Harga Diri kita di bawah kasur. Padahal cuma Bapak, Ibu, sama kau yang tahu."

Beberapa warga meminta kepada Pak RW untuk segera melaporkan kejadian ini kepada polisi.

"Kita lapor polisi saja, Pak," usul salah seorang warga.

"Betul," timpal orang yang telanjang.

"Jangan, Pak," cegat anak Pak RW.

"Loh, kau ini mau Harga Diri kita hilang!?"

"Anu, maksud saya tunggu 24 jam dulu."

"Tidak. Bapak mau lapor sekarang. Kalau 24 jam lagi bisa habis dia bagi-bagi Harga Diri Kita."

***

Tak perlu waktu lama, dalam waktu 12 jam, penadah  yang sempat  menyimpan Harga Diri keluarga Pak RW ditangkap dan di bawa ke kantor polisi.

"Heh, babi, di mana kau simpan Harga Diri saya?" tanya Pak RW dengan emosi sambil mengepalkan tangan dan membentak meja.

"Bapak RW tenang dulu," ucap Pak Polisi menenangkan.

"Loh, bagaimana saya bisa tenang, Pak. Harga Diri keluarga saya diambil!"

"Saya mengerti, Pak. Tapi kita harus menginterogasi dia sesuai prosedur. Yaitu dengan santai dulu. Kalau dia tidak menjawab baru nanti kita pukul."

"Saya setuju," sahut Pak RW. "Di mana Harga Diri saya,"  tanya Pak RW lagi pada penadah itu.

"Sedang di bawa anak buah saya ke pusat kota," jawabnya

"Brengsek betul kau ini! Mau kau apakan Harga Diri saya!?"

"Mau saya jual setengah ke Calon Presiden, sisanya saya bagi dan jual kepada beberapa Calon Pemimpin Daerah."

"Kurang ajar!" bentak Pak RW sambil melayangkan genggamannya ke rahang orang itu. Mata Pak RW memerah.

"Cukup Pak RW," kata Pak Polisi mencoba menenangkan. "Bapak tidak usah menangis. Ya, saya mengerti benar betapa berartinya Harga Diri itu bagi Bapak. Tapi percayalah, kami akan berusaha menghentikan anak buah penadah ini. Bapak tenang saja."

"Tidak," kata Pak RW, matanya masih memerah, "tangan saya sakit. Rahang dia keras juga rupanya."

"Mas penadah, dari mana atau dari siapa Anda mendapatkan Harga Diri itu?"

"Dari anak dia sendiri, Pak," jawab penadah itu sambil menunjuk Pak RW.

"Apa!? Anak saya!? Kurang ajar betul dia. Pantas dia tidak mau saya melapor polisi. Saya kurung dia di kandang kambing nanti," ketus Pak RW

***

Pada perjalanan hendak menuju ke kota, polisi juga sudah berhasil meringkus beberapa anak buah dari penadah itu. Ada yang melewati rawa, ada yang menyeberang sungai dan berenang di antara tai-tai.

"Ampun, Pak. Ampuun!"

"Mana Harga Diri Pak RW!?" tanya salah satu Pak Polisi dengan suara tinggi.

"Ampun, Pak. Saya cuma bawa bagian yang kecil. Tidak sampai seperempat. Bagian yang setengahnya ada pada teman saya. Dia sedang akan ketemuan sama Tim Sukses Calon Pesiden."

Dari berbagai informasi yang didapat akhirnya anak buah penadah yang membawa setengah Harga Diri keluarga Pak RW itu berhasil dilumpuhkan juga di dekat kota.

Rupanya warga yang semalam merondalah yang menjadi salah satu anak buah penadah itu.

"Oh! Kau rupanya!?" ucap Pak RW marah-marah sambil memukul kepala orang itu.

Sementara suasana kota terlihat muram sekali. Warga kota yang mendengar keributan berduyun-duyun keluar dari tempat tinggalnya. Ada yang hanya memakai baju, ada yang hanya memakai celana dalam, bahkan banyak juga yang telanjang. 

Mereka terlalu heboh dengan kabar pencurian Harga Diri. Karena memang kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memiliki Harga Diri. Di kota, Harga Diri sekarang sedang langka dan banyak dicari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun