Mohon tunggu...
Syahrul Anami
Syahrul Anami Mohon Tunggu... Lainnya - Simultan Writer

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Banteng Laut: Balas Rugi Atas Ikan yang Dicuri

31 Mei 2024   23:44 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:48 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Fajar belum beranjak dari peraduan ketika Darwis, seorang nelayan, mulai mendorong kapalnya menuju lautan. Pasang-pasang kayu itu ia larung bersama harapan anak istrinya tentang hidup dan keselamatan. 

Darwis dan kapalnya berlayar jauh menuju lautan yang lebih dalam dan kaya isinya. Jaring ia tebar, kadang pula tongkat-tongkat pancing ia lemparkan kailnya. Bersama kolega kapalnya, mereka mengadu nasib di atas gelombang.

Namun nahas, nasibnya pagi itu kurang beruntung. Dua hingga tiga kapal, tentu ia tak kenali, turut merampas haknya atas lautan itu. Ikan-ikan ditarik menuju permukaan oleh pukat-pukat harimau. 

Ia punya nyali, berani, namun kapal-kapal besi menemani para penangkap asing, entah bersenjata maupun tidak, Darwis mengurungkan niatnya. Mending pulang dengan badan utuh dan kering, dibanding basah dan pecah bersama kapalnya. 

Darwis pulang. Tangannya hanya menenteng beberapa ekor. Istrinya bertanya tentang bagaimana kehidupan hari esok? 

"Ikan-ikan kita dicuri, bahkan sebelum sempat kurasa licin sisiknya di tanganku." nanar Darwis.

***

Laut China Selatan (LCS) adalah tempat mengadu nasib para nelayan Kepulauan Natuna, termasuk Darwis, nelayan imajiner penulis. Secara geografis, LCS terletak diantara Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan. Perairan ini menjadi wilayah penting bagi pelayaran internasional yang menghubungkan perdagangan benua Asia, Amerika, hingga Eropa. 

Di samping itu, perairan ini mengandung sumber daya alam berupa gas dan minyak (Nainggolan dalam Junef, 2018). Maka tak mengherankan apabila ia nampak begitu eksotis untuk dikuasai. 

Konflik Laut China Selatan, sederhananya, merupakan masalah tumpang-tindih klaim wilayah antara negara pantai di sekitarnya. Namun, permasalahan ini menjadi lebih kompleks akibat klaim sepihak China atas wilayah LCS.

Pada tahun 1947, China mengeluarkan peta yang menandai wilayah Laut China Selatan sebagai bagian kedaulatannya. Penandaan ini dikenal dengan nama Nine Dash Line atau Sembilan Garis Putus yang membentang jauh dari China daratan hingga mendekati Kepulauan Natuna. (Nainggolan dalam Junef, 2018). 

Nine Dash Line dilatari klaim historis atas kepemilikan dan pemanfaatan kepulauan Spratly dan Paracel sejak abad ke-2 sebelum masehi. Lebih tepatnya di zaman Dinasti Han yang dirajai Kaisar Wu (Dam dalam Darmawan, nd).

Klaim tersebut tentunya mendapat sejumlah protes dari negara sekitar LCS. Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia mesti menghadapi China yang secara terang-terangan menggunakan kekuatan bersenjata untuk menguatkan klaim dan mengusai kepulauan dan perairan dalam sengketa. 

Pada 1995, di gugusan karang Mischief, Kepulauan Spratly, China menahan kapal Analita asal Filipina yang melaksanakan survei di LCS. Saat itu, kru kapal Analita menemukan bangunan-bangunan oktagonal yang didirikan di atas gugusan karang Mischief. Setelah itu, kapal-kapal China melakukan pengepungan, menangkap, dan menahan kru kapal Analita selama sepekan lamanya. (Darmawan, nd).

Sekitar 10 tahun setelahnya, giliran nelayan Vietnam yang harus berurusan dengan China. Mereka ditembaki dan ditahan dengan dalih pelanggaran teritorial oleh China. Sembilan orang tewas dan delapan lainnya ditahan di Pulau Hainan kala itu. Sialnya, nelayan-nelayan ini dianggap sebagai bajak laut dan diduga melakukan aksi penembakan lebih dulu. 

Nampaknya, ingin dikatakan bahwa penembakan terhadap nelayan Vietnam adalah bagian dari aksi-reaksi, bukan penembakan yang semena-mena. Kemudian pada 2013, insiden penembakan terhadap nelayan Vietnam terulang kembali (Darmawan, nd). 

Entah pernyataan pemerintah China kah yang benar. Ataukah justru hanya sebagai dalih agar tidak memberikan kesan agresif di wilayah sengketa.

Bergeser jauh ke barat daya Laut China Selatan, terdapat Kepulauan Natuna yang menjadi patok tarik Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Klaim China terhadap LCS memang tidak menyerempet wilayah teritorial 12 mil, namun mengiris bagian yang cukup besar dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. 

Makanya, jika ditelaah lebih lanjut, China memang tidak melakukan pelanggaran di laut teritorial. Melainkan melanggar hak kedaulatan Indonesia atas ZEE yang diatur dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982. 

United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982, merupakan konvensi yang mengatur berbagai ketentuan mengenai Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan laut dan pelayaran. 

Zona Ekonomi Ekslusif merupakan wilayah selebar 200 mil yang ditarik dari garis pangkal pengukuran Laut Teritorial. Berdasarkan Pasal 56 dan 60 UNCLOS 1982, negara memiliki hak berdaulat atas ZEE-nya untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, negara juga berhak untuk membuat pulau buatan, melaksanakan riset, serta melakukan upaya konservasi lingkungan.

UNCLOS 1982 diratifikasi oleh sejumlah negara. Anehnya, China turut menandatangani UNCLOS, namun tetap mempertahankan klaim Nine Dash Line miliknya yang mengiris hak berdaulat negara lain.

Sekilas, problematika LCS terlihat seperti rebutan tanah antar warga. Siapa pun yang punya sertifikat tanah atau setidaknya dokumen kuat yang mampu memenangkan klaim, maka dia akan menjadi pemilik tanahnya.

Namun, coba bayangkan. Pihak yang kalah dalam adu klaim justru tak terima dan berusaha melakukan klaim secara paksa atas tanah yang telah ditetapkan tuannya. Maka, apa yang terjadi pada perebut paksa? Idealnya, dia akan dipolisikan dan dijebloskan ke penjara. Sesederhana itulah alur perdebatan klaim atas tanah bila terdapat kekuatan yang mampu mengatur sang pelanggar. Namun, skema ini tidak berlaku di LCS.

Pada 2016, Filipina mengajukan protesnya terkait konflik klaim dengan China ke Pengadilan Artbitrase Internasional. Pengadilan mengetok Palu yang memenangkan Filipina dan secara otomatis membantah kepemilikan China atas sebagian besar wilayah LCS.

Lantas, bukan kah dengan demikian masalah klaim Laut China Selatan sudah selesai? Tentu saja tidak. Keputusan Pengadilan Artbitrase tidak serta merta membuat China menarik klaim serta kapal ikannya dari LCS. Keberadaan kapal-kapal penangkap ikan dan Coast Guard China masih melenggak lenggok, tentu, tanpa terkecuali di Laut Natuna Utara (LNU).

Keberadaan kapal-kapal China di Laut Natuna Utara bukan tak membawa ancaman apapun. Perebutan LNU sebagai wilayah China akan mempersempit ruang Indonesia di antara dua kekuatan besar yakni Amerika dan China. Jika keduanya saling adu kekuatan, bukan tak mungkin Indonesia akan terseret ke dalam pusaran perang.  

Selain itu, jika dipikirkan kembali, amat mengherankan pelaut China melarung jauh ke wilayah ZEE Indonesia. Jika yang dicari hanyalah ikan, maka keuntungan yang diperoleh mungkin tidak ada. Menangkap ikan di LNU membutuhkan berbagai biaya seperti bahan bakar kapal, biaya pekerja, konsumsi, dan biaya logistik lainnya. Belum lagi masalah penyimpanan agar ikan tetap segar.

Wawancara purnawirawan TNI, Gatot Nurmantyo, dalam wawancara bertajuk "Provokasi China di Natuna", justru lebih masuk akal. Kapal-kapal China bukan sekedar memancing, melainkan bisa jadi ada pergerakan intelijen maupun penelitian yang dilakukan kapal "pemancing" milik china di wilayah ZEE indonesia.

Terkait dugaan aktivitas penelitian, pernyataan Pak Gatot seperti benar adanya. Keberadaan kapal Hao Yang Di Zhi 10 di LNU sudah cukup menjadi bukti. 

Kapal ini terlihat mengambil rute zig-zag, membentuk pola tertentu, ditemani kapal Coast Guard, dan berdasarkan keterangan Organisasi Maritim Nasional, Di Zhi 10 dilengkapi kemampuan survei bawah laut diantaranya survei geologi, biologi, dan oseanografi. Status kapal ini, dalam data Automatic Identification System, adalah Restricted Manuverability. Tak lain dan tak bukan, status ini merupakan penanda khusus kapal yang sedang melakukan survei laut. (Ambari, 2021)

Sesulit itukah mengusir mereka?

Kita barangkali berpikir, mengapa tidak menggunakan pendekatan militeristik yang keras? Jawabannya sederhana, kita tak punya satupun kartu as dalam menghadapi China selain melalui pengadilan atau dukungan internasional. 

Setidaknya, ada beberapa alasan mengapa mengusir eksistensi China di LNU menjadi sulit. Pertama, China merupakan mitra kerjasama Indonesia terkait ekonomi, pengembangan dan transfer teknologi, proyek pembangunan, hingga investasi dalam sektor pertambangan.

 China sendiri diketahui menjadi investor ke-2 terbesar setelah Singapura dengan realisasi penanaman modal asing sekitar 7,4 milyar dolar. (Kementerian Investasi dalam Annur, 2024). Dengan demikian, mengusik keberadaan China di LNU bisa saja berpengaruh terhadap invetasinya di Indonesia. 

Kedua, dari sektor militer. Terdapat interval peringkat yang cukup jauh antara China dan Indonesia. Indonesia menempati posisi ke-13 ranking militer dunia dalam rilis Global Fire Power. Sedangkan China masih saja bertengger dalam tiga besar negara dengan militer terkuat setelah Amerika dan Rusia. 

Ranking tersebut memberikan indikasi perbedaan kapasitas militer antar negara. Sehingga, dalam artian singkat, melakukan pendekatan militer dengan keras di LNU berarti siap untuk bunuh diri.

Ketiga, apabila ingin meningkatkan kapasitas dan kualitas armada, maka perlu dilakukan eskalasi anggaran militer. Tetapi, peningkatan jumlah anggaran militer berarti harus mengurangi anggaran di bidang lainnya apabila jumlah ketersediaan anggaran tidak meningkat dari tahun ke tahun. 

Keempat, menggunakan pendekatan melalui ASEAN mungkin terdengar bagus. Namun, sesuai dengan pendapat Analis Politik Internasional, Dinna Wisnu, dalam sebuah diskusi bertajuk, "Adu Diplomasi di Natuna", memasukkan permasalahan LNU ke ASEAN bukanlah solusi yang tepat. 

Selain tidak semua negara ASEAN memiliki laut, negara tetangga pun melakukan kegiatan perikanan di LNU. Bagaimana cara Indonesia dapat bekerjasama dengan negara tetangga apabila kita sedang berselisih dengan mereka juga? 

Di samping masalah kelautan dan perikanan, penyelesaian LCS dengan menggait seluruh asean akan sulit. Pasalnya, tidak semua anggota ASEAN memiliki masalah klaim dengan China. Kepentingan nasional masing-masing negara akan menjadi faktor penentu apakah mereka bersedia bergabung untuk "melawan" klaim China atau tidak. Gamblangnya, apa pentingnya mereka berurusan dengan si raksasa?

Apa yang sudah diperbuat untuk membendung klaim China?

Melalui forum yang dihadiri anggota ASEAN, Indonesia sebenarnya sudah berusaha untuk menyelesaikan masalah terkait LCS secara damai dengan membuat Document of Conduct dan mendorong pembuatan aturan mengikat yakni Code of Conduct. Akan tetapi, perjalanan penyelesaian LCS melalui forum berlangsung sangat alot. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya Code of Conduct yang dibuat. 

Code of Conduct yang dirancang pun belum tentu, secara pasti, mengontrol tindakan China di LCS sebagaimana keberadaan kapalnya pasca keputusan Pengadilan Artbitrase. Seperti pernyataan almarhum Rangga Sasana, pemimpin Sunda Empire, "Siapa yang peduli jika nuklir itu diledakkan?" Kalau konteksnya dibawa ke LCS, mungkin jadi, "Siapa peduli dengan aturannya?"

Selain pendekatan "ramai-ramai", Indonesia juga berusaha menekan klaim China atas LNU secara mandiri. Indonesia membangun instalasi eksplorasi/eksploitasi energi, melakukan deploy nelayan, penjagaan oleh kapal perang, mengajukan nota protes dan berbagai tindakan lainnya. Namun, sama saja. Kapal China tetap nangkring di sana.

Balas Rugi Ikan yang Dicuri

Mengajak China berperang dan menurunkan armada militer skala besar bukan solusi yang tepat. Investasi dan kerjasama di berbagai bidang menjadi belati mata dua. Nelayan telah diturunkan, sebagian kecil armada laut dilayarkan, nota protes dilayangkan. Namun tetap saja, China masih ngopi-ngopi. 

Oleh karena itu, lebih baik Indonesia memberikan sedikit perlawanan. Bukan tembakan meriam, luncur roket, maupun bom. Melainkan, membuat sebuah attachment khusus bernama "Banteng Laut" pada kapal-kapal kita. 

Banteng Laut adalah istilah yang penulis pakai untuk sebuah attachment tambahan pada kapal, entah itu Coast Guard ataupun kapal biasa. Banteng Laut, dalam ide penulis, merupakan sebuah tanduk tajam terbuat dari bahan baja ataupun sejenisnya. 

Tanduk ini dipasang di bawah haluan kapal, seolah-olah sebagai pemecah ombak. Namun sebenarnya tanduk ini difungsikan untuk mempenetrasi kompartemen dan menyebabkan kerusakan pada kapal yang ditabrak.

Banteng Laut harus lebih panjang dari haluan. Bentuknya seperti tombak, entah itu dengan diameter berbentuk bulat sempurna, ataupun dibuat pipih seperti pisau dengan posisi terbalik. 

Tujuan utama dari Banteng Laut adalah memberikan kerusakan kompartemen pada lambung kapal Coast Guard China, maupun kapal-kapal lainnya yang melakukan pelanggaran di ZEE Indonesia. Lambung kapal sendiri berfungsi untuk memberikan daya apung (Kurniawan, 2022). 

Sehingga, kerusakan pada lambung kapal, seperti kebocoran, akan merusak daya apung dan berpotensi untuk tenggelam. Maka, kapal asing yang ditabrak menggunakan Banteng Laut mesti keluar dari wilayah LNU untuk bersandar dan melakukan perbaikan kebocoran. 

Kegiatan menabrak kapal, penulis nilai sebagai tindakan yang tidak lebih ofensif dibandingkan memuntahkan meriam atau roket. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan hanyalah frekuensi tabrakan dengan kapal asing agar gesekan fisik tetap dalam ambang batas yang tidak menghasilkan perang.  

Dengan begini, Indonesia setidaknya memberikan perlawanan terhadap kehadiran kapal asing yang melanggar di ZEE kita. Perlawanan tidak selalu soal perang. Membuat kapal patroli negara pelanggar mengalami kerusakan pun dapat disebut demikian. Perlawanan seperti ini memang kecil, tetapi setidaknya membuat negara pelanggar harus mengalokasikan biaya kerusakan. 

Merujuk pada alasan dan penjelasan sebelumnya, kita sulit memperoleh kepastian atas mundurnya China dari Laut Natuna Utara. Hal demikian, tentu, dilatari oleh kedigdayaan China atas Indonesia dalam bidang militer, ekonomi, dan pembangunan. Indonesia tak memiliki kartu as untuk mengusir China, hanya ada diplomasi berserta tarik ulur penyelesaian, yang pada dasarnya tetap menguntungkan China di LNU dengan memberikan mereka waktu untuk menyempurnakan rencananya. 

Sebab itu, dengan menempatkan Banteng Laut di bawah haluan, setidaknya dapat meladeni keberadaan kapal-kapal China tanpa mengeluarkan tembakan. Yang perlu dilakukan cukup dengan merusak kompartemen kapal yang berbuah pada eskalasi biaya operasional China. 

Kita mungkin belum bisa mengusir secara permanen dalam waktu dekat dengan armada militer dan kondisi pembangunan saat ini. Namun, setidaknya dengan Banteng Laut, kita memberikan perlawanan yang merugikan sebagai balas dari ikan-ikan yang telah diambil.   

Referensi:

Ambari, M. 2021 .Ancaman Berkepanjangan di Laut Natuna Utara. Mongabay. Dapat diakses pada: https://www.mongabay.co.id/2021/09/21/ancaman-berkepanjangan-di-laut-natuna-utara/

Annur, Cindy M. 2024. Bukan China, Ini Negara Investor Terbesar di Indonesia pada 2023. Katadata. Dapat diakses pada: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/29/bukan-china-ini-negara-investor-terbesar-di-indonesia-pada-2023

CNN Indonesia. 2020. Adu Diplomasi di Natuna. Youtube. Dapat diakses melalui: https://youtu.be/FG-v9XCv71c?si=gW9lTF91vGXNbMKN

Darmawan, Arief bakhtiar. nd. Dinamika Isu laut Tiongkok Selatan: Analisis Sumber-Sumber Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Dalam Sengketa. 

Dwi, Andika. 2023. Daftar Peringkat Militer Terkuat di Dunia 2023, Indonesia Urutan Ke-13.  Tempo. Dapat diakses pada: https://dunia.tempo.co/read/1698473/daftar-peringkat-militer-terkuat-di-dunia-2023-indonesia-urutan-ke-13

Junef, Muhar. 2018. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan (Maritime territorial Dispute in South China Sea). Jurnal Penelitian De Jure. Vol 18. No. 2

Kurniawan, D. 2022. Dasar-Dasar Teknik Konstruksi Kapal. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

TvOne, 2020. Full Wawancara Jend. (Purn) Gatot Nurmantyo Soal Konflik Natuna. Dapat Diakses pada: https://www.youtube.com/watch?v=-BZhPSAmqys&t=3s   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun