Pak Tono berhenti di depan lukisan dirinya, tatapannya terpaku. Lama ia berdiri di sana, seolah tak peduli dengan kerumunan di sekitarnya. Suaranya akhirnya keluar, pelan dan nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat semua orang mendengar. "Ratna... dia suka melukis juga."
Kata-kata itu menggantung di udara, menyelimuti ruangan dengan keheningan yang penuh makna. Beberapa orang menoleh ke arah Pak Tono, yang masih menatap lukisan itu dengan mata berkaca-kaca. Ibu Masna menundukkan kepala, wajahnya sulit ditebak. Tapi di sudut bibir Masna, sebuah senyum kecil terbit---bukan kemenangan, melainkan pengakuan bahwa akhirnya, mereka mendengar.
***
Sebulan kemudian, Masna membuka kelas melukis kecil di balai desa. Aswandi membantunya mengajar anak-anak. Ibunya, yang kini mulai membatik lagi, kadang datang untuk membagi cerita tentang motif-motif tradisional.
"Masna ," panggil ibunya suatu sore. "Lihat apa yang Ibu temukan." Ia mengeluarkan kotak kayu berisi peralatan membatik lama dan beberapa kuas cat.
Masna memeluk ibunya, merasakan aroma singkong dan matahari yang selalu melekat di baju mereka. Di luar, langit senja membentang luas, tidak lagi terkunci. Seperti kanvas yang menunggu untuk dilukis, dengan warna-warna warisan dan mimpi yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H