Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Terkunci

17 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

"Pak," suara Masna memotong, membuat semua orang terdiam. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya, tapi matanya menatap lurus ke arah Pak Tono. Suaranya jernih, meski ada ketegangan yang terasa. "Bapak ingat putri Bapak, Ratna?"

Ruangan mendadak sunyi, hanya terdengar suara napas yang berat. Pak Tono menatap Masna, wajahnya berubah pucat. "Apa maksudmu?"

"Saya masih menyimpan surat-suratnya," jawab Masna, suaranya semakin tegas. "Dia menulis kepada saya sebulan sebelum pergi. Dia tidak kabur karena ingin bebas, Pak. Dia pergi karena tidak ada yang mau mendengarkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Karena suaranya selalu dibungkam."

Pak Tono tertegun, kata-kata seakan tercekat di tenggorokannya. Ayah Masna memandang anaknya dengan raut bingung bercampur cemas.

Masna melangkah maju, meski kakinya terasa lemah. "Saya tidak ingin seperti Ratna. Saya tidak ingin meninggalkan desa ini, Pak. Tapi saya juga tidak akan membiarkan suara saya dipadamkan. Saya ingin membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menghormati tradisi tanpa kehilangan mimpi-mimpinya. Melukis adalah caraku menghormati desa ini---ceritanya, keindahannya, orang-orangnya."

Pak Tono menatapnya lama, wajahnya kaku. Tak ada lagi suara amarah, hanya keheningan yang mengisi ruangan. Lalu, tanpa sepatah kata, ia berbalik dan pergi meninggalkan rumah, meninggalkan mereka dengan perasaan yang campur aduk antara takut dan harapan.

***

Hari pameran tiba dengan gemuruh. Galeri kecil di kota itu dipadati pengunjung, termasuk beberapa warga desa yang datang dengan raut wajah tegang, penuh rasa ingin tahu bercampur skeptisisme. Di antara mereka ada ibu Masna, berdiri canggung di sudut, dan Pak Tono, yang memasuki ruangan dengan langkah berat dan pandangan penuh kewaspadaan.

Di atas kanvas, langit tidak lagi sempit atau mendung. Ia memeluk desa dengan warna biru terang, mencerminkan keindahan yang sederhana namun kuat. Warga desa tertegun; mereka melihat langit yang sama, tapi melalui mata yang berbeda. Di atas kanvas, kehidupan desa terpampang dengan kejujuran dan kehangatan yang tak terbantahkan. Ada potret mendalam seorang ibu yang membatik di senja hari---detail halus itu langsung dikenali sebagai wajah ibunya di masa muda. Ada gadis-gadis mencuci di sungai, dengan ekspresi lelah namun bermartabat. Ada pemandangan sawah yang membentang di bawah langit jingga, mencerminkan perjuangan sehari-hari yang akrab bagi mereka semua.

Lalu, ada lukisan Pak Tono. Ia duduk di beranda rumahnya yang sederhana, menggenggam foto usang di tangan. Wajahnya yang keriput menyiratkan kesepian yang dalam, tapi juga kerinduan yang sulit dijelaskan.

Masna berdiri di depan kerumunan, napasnya teratur meski hatinya berdegup kencang. "Saya melukis bukan untuk memberontak," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya melukis untuk menghormati. Untuk mengabadikan cerita kita, tradisi kita, dengan cara yang belum pernah dilihat orang luar. Saya ingin dunia tahu keindahan dan kekuatan yang ada di balik kehidupan kita di desa ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun