Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Terkunci

17 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

"Itu sudah lama sekali," tambah Masna. Ia mencoba mengalihkan tatapannya ke sawah, tapi kenangan itu sudah menyerbu pikirannya.

Aswandi membuka tas usangnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah buku sketsa kecil dengan sampul yang sudah lusuh. "Ini," katanya sambil menyerahkannya pada Masna. "Aku menyimpannya sejak kamu memberikannya padaku sepuluh tahun lalu."

Masna tertegun. Buku itu terasa begitu asing, sekaligus familiar di tangannya. Ketika ia membukanya, halaman-halamannya telah menguning, tetapi gambar-gambarnya tetap hidup: petani membajak sawah, seekor kucing tidur di bawah pohon, ibu-ibu mencuci di sungai. Semua itu adalah potret masa kecilnya, jejak-jejak yang dulu ia buat tanpa berpikir panjang.

"Aswandi..." suaranya bergetar.

"Aku lihat lukisanmu di belakang gudang sekolah," potong Aswandi, tatapannya tajam tapi lembut. "Kamu sudah jauh lebih baik dari ini. Lebih hidup. Tapi kenapa harus sembunyi?"

Masna menggigit bibirnya. "Kamu tahu kenapa," katanya lirih. "Pak Tono pernah bilang pada ayahku, anak perempuan yang terlalu bebas itu berbahaya. Katanya, itulah yang membuat putrinya sendiri kabur ke kota dan tidak pernah kembali. Aku tidak mau jadi alasan ayahku malu."

Aswandi menarik napas panjang, menatap ke arah cakrawala yang mulai memerah. "Tapi kamu bukan seperti putri Pak Tono, Masna. Kamu tidak ingin kabur, kan? Kamu hanya ingin melukis." Ia menoleh padanya, matanya penuh keyakinan. "Dan kalau tradisi itu hanya membuatmu memadamkan cahaya sendiri, apa itu benar-benar tradisi yang harus dijunjung?"

***

Malam itu, sambil membantu ibunya mengupas singkong yang akan dijual besok, Masna mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Suara piring berdenting dan nyala lampu minyak menjadi satu-satunya saksi. "Bu," ujarnya hati-hati, "kenapa waktu muda Ibu berhenti membatik?"

Tangan ibunya terhenti. Kulit singkong di tangannya belum terkelupas sepenuhnya. "Siapa yang cerita?" tanyanya dengan nada datar, tapi matanya menatap tajam.

"Aswandi," jawab Masna pelan. "Katanya dulu Ibu pembatik yang terkenal di desa sebelah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun