Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit yang Terkunci

17 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Ibunya terdiam sejenak, seolah waktu menariknya kembali ke masa lalu. "Itu dulu," katanya akhirnya, suaranya rendah namun sarat beban. "Sebelum krisis ekonomi, sebelum ayahmu sakit, sebelum kita kehilangan semuanya. Kadang, Masna, hidup tidak selalu memberi kita pilihan."

Masna menggenggam singkong di tangannya, tapi matanya tertuju pada wajah ibunya. Ada sesuatu di sana---rasa lelah yang selama ini ia abaikan. "Tapi sekarang beda, Bu. Aku sudah kirim beberapa lukisan ke galeri di kota. Mereka bilang---"

"Kamu apa?" Ibunya memotong, suaranya meninggi. Ia meletakkan pisau dengan kasar di atas meja kayu. "Ya Allah, Masna. Kamu mau bikin malu keluarga? Mau jadi bahan omongan seperti anak Pak Tono? Perempuan yang tidak tahu adat?"

Masna menegakkan punggungnya, meski suara ibunya menusuk. "Anak Pak Tono kabur karena dijodohkan, Bu. Bukan karena seni."

"Tetap saja, Masna!" Ibunya menatap tajam, matanya berkaca-kaca. "Kamu pikir apa yang akan dikatakan orang kalau tahu kamu melukis? Perempuan tidak butuh mimpi besar. Perempuan butuh harga diri."

Masna merasakan panas di matanya, tapi ia tidak ingin menangis. "Bu, kalau melukis adalah caraku menjaga harga diri, apa itu salah? Apa salah kalau aku ingin lebih dari sekadar hidup seperti yang diatur orang lain?"

Ibunya terdiam. Singkong-singkong di depannya terlupakan. Tapi di balik kemarahan itu, Masna melihat sesuatu di mata ibunya---seperti luka lama yang kembali terbuka.

***

Kabar tentang lukisan Masna yang akan dipamerkan menyebar secepat api di musim kemarau, membuat suasana desa riuh dengan bisik-bisik penuh cemoohan. Suatu sore, Pak Tono datang ke rumah mereka dengan langkah berat dan wajah merah menyala. Suaranya menggema di ruangan sempit.

"Saya sudah peringatkan tentang anak perempuan yang terlalu bebas!" katanya, menatap ayah Masna dengan tajam. "Sekarang lihat. Melukis? Pameran? Apa kata orang nanti? Mau jadi contoh buruk bagi anak-anak di desa ini?"

Ayah Masna menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah karena malu. "Maafkan kami, Pak Tono. Kami akan..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun