"Masna !" Suara ibunya memecah keheningan. "Kenapa belum masak? Nanti ayahmu pulang dari sawah tidak ada yang dimakan!"
Masna buru-buru menyembunyikan kanvas di balik kain lusuh di sudut kamar, tempat yang sama di mana ia menyimpan semua mimpinya. Dari luar kamar, terdengar helaan napas berat ibunya.
Langit pagi tampak biru pucat, seolah membentang tanpa batas. Namun, bagi Masna, batas itu jelas---tirai bambu yang menghalangi cahaya, seperti hidupnya yang terkurung oleh tradisi. Gadis berusia dua puluh tahun itu duduk di dekat jendela, menggenggam kuas seperti menggenggam rahasia. Dengan gerakan ragu, ia mencelupkan kuas ke cat biru tua, lalu menarik garis di atas kanvas kecil di depannya. Di musim kemarau seperti ini, langit selalu tampak lebih biru, seperti kanvas tanpa batas. Tapi di balik dinding kamar sempit ini, Masna merasa langit itu hanya ilusi, kebebasan yang tak pernah bisa ia sentuh.
"Ibu tidak mengerti kenapa kamu jadi seperti ini," kata ibunya pelan. "Dulu kamu anak yang penurut. Sejak kenal Aswandi ..."
"Aswandi tidak ada hubungannya dengan ini, Bu," potong Masna , tangannya gemetar membereskan cat-cat murah yang ia beli dari uang mengajar mengaji. "Ini tentang aku."
Di desa kecil ini, di mana sawah membentang hingga kaki gunung dan tradisi mengakar lebih dalam dari sumur-sumur tua, perempuan seperti Masna diharapkan menjalani hidup yang sederhana. Kakaknya, Siti, sudah menikah di usia delapan belas dan kini memiliki dua anak. Sepupunya, Yani, berhenti sekolah di SMP untuk membantu di warung. Melukis? Itu mimpi yang tidak seharusnya dimiliki anak perempuan dari keluarga petani.
***
"Kamu masih ingat tidak," kata Aswandi sore itu, saat mereka duduk di tepi sawah yang membentang luas. Langit sore memerah, warnanya merayap ke sawah yang luas. "Langit ini tidak hanya milik mereka yang punya kebebasan," kata Aswandi sambil memandang ke atas. "Ia milik semua orang yang berani bermimpi, termasuk kamu."Â
"Dulu kita sering main di sini. Kamu selalu membawa buku gambar kecil, melukis apa saja yang kamu lihat. Aku bahkan pernah jadi modelmu, ingat?"
Masna tersenyum tipis, meski ada rasa perih yang ikut menyelinap. "Tentu aku ingat," jawabnya pelan. Dulu, di mata anak-anak lain, melukis adalah hal aneh. Namun, Aswandi tidak pernah mengejeknya. Ia hanya duduk di sampingnya, memperhatikan setiap goresan garis yang Masna buat dengan penuh minat. Kadang, ia bahkan ikut mencoret, meski tangannya kaku dan hasilnya tidak jelas.