Aroma rempah-rempah bercampur dengan wangi sayuran segar menguar di udara pagi yang lembap. Rukmini menata dagangannya, jemarinya yang mulai keriput memilah daun kemangi yang menguning. Lapak sederhana itu telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya selama dua puluh lima tahun terakhir --- dari gadis desa yang hanya membawa sekeranjang sayur, hingga menjadi pedagang yang dipercaya oleh seluruh penduduk desa.
"Mini, kamu lihat nggak? Sekarang anak-anak muda jarang ke pasar," bisik Bu Siti dari lapak sebelah, tangannya sibuk menimbang cabai untuk pembeli yang semakin jarang. Matanya yang berkantung menunjukkan kekhawatiran yang sama dengan yang dirasakan Rukmini.
Rukmini menganggukpelan. Ia teringat bagaimana dulu harus bangun jam tiga pagi untuk mendapatkan tempat strategis, bagaimana ia harus berebut pelanggan dengan pedagang lain. Sekarang, jangankan berebut, mencari pelanggan saja susah.
"Anak saya bilang, sekarang orang lebih suka belanja pakai HP," kata Bu Siti lagi, suaranya getir. "Katanya praktis, nggak perlu kepanasan, nggak perlu tawar-menawar."
Rukmini merasakan dadanya sesak. Pendapatan hariannya sudah turun hampir 60% dalam tiga bulan terakhir. Uang sekolah Ayu di perguruan tinggi swasta dan cicilan motor Tono terasa semakin berat.
"Bu, lihat deh!" Ayu tiba-tiba memekik dari ruang tengah, mengagetkan Rukmini yang sedang membereskan piring. "Sayur bayam yang Ibu jual 15 ribu seikat, di sini cuma 8 ribu. Tomat Ibu 20 ribu sekilo, di sini 12 ribu!"
Rukmini mengelap tangan ke celemeknya, bergegas menghampiri putrinya. Dahinya berkerut melihat deretan angka di layar ponsel Ayu. Harga-harga itu membuat perutnya mual --- separuh dari harga jualnya di pasar.
"Mana mungkin? Pasti sayurnya jelek," Rukmini menggeser tubuh Ayu, merebut ponsel dari tangannya. Jarinya yang kasar mengusap layar dengan canggung, memperbesar foto-foto sayuran yang tampak segar dan menggiurkan.
"Mereka dapat barang dari mana?" suara Rukmini bergetar. Ia ingat bagaimana setiap subuh harus berebut sayur segar dengan pedagang lain, tawar-menawar dengan petani sampai tenggorokannya serak.
Ayu tersenyum penuh kemenangan. "Namanya sistem pre-order, Bu. Mereka ambil langsung dari petani. Nggak ada stok nganggur, nggak ada barang busuk. Lihat nih," ia mengambil alih ponsel, menunjukkan kolom ulasan. "Lima ribu lebih review bagus. Pengirimannya cepat, sayurnya segar."
"Omong kosong!" Suara Tono menggelegar dari kamar. Pria itu muncul dengan wajah masam. "Mini, kamu mau diracuni ide-ide aneh sama anak ini? Sudah bagus jualan di pasar. Itu yang kamu bisa, itu yang cocok buat kamu."
Rukmini membeku. Dua puluh lima tahun. Selama itu ia berdiri di bawah terik matahari, menghadapi hujan, membangun kepercayaan pelanggan satu per satu. Bahkan ketika Tono kehilangan pekerjaan dan terjerat hutang rentenir, dia yang membanting tulang melunasi semuanya --- dengan cara 'kuno'-nya berdagang di pasar.
"Cocok?" Rukmini mendesis, matanya menatap tajam suaminya. "Seperti hutangmu yang sudah cocok dilunasi dengan uang dari cara dagang 'kuno'-ku ini?"
Hening. Tono memalingkan wajah. Ayu menahan napas.
"Aku memang nggak ngerti teknologi," Rukmini melanjutkan, suaranya gemetar menahan emosi. "Tapi aku ngerti satu hal: pasar sedang berubah. Dan aku nggak akan duduk diam menunggu usahaku mati."
Warung kopi Pak Karjo sudah hampir tutup ketika Rukmini memberanikan diri menemui Lestari. Dalam temaram lampu neon yang berkedip-kedip, ia melihat sahabatnya itu masih sibuk dengan ponselnya.
"Ta," Rukmini menarik kursi plastik di sebelah Lestari. Suara deritnya bercampur dengan dengung generator listrik yang mulai dinyalakan. "Aku perlu bantuanmu."
Lestari mendongak, alisnya terangkat. Ia kenal nada suara itu --- nada yang sama ketika dua puluh lima tahun lalu Rukmini datang padanya, meminjam modal untuk membuka lapak pertamanya.
"Ajari aku jualan online."
Lestari menghela napas panjang, meletakkan ponselnya. "Mini, Mini... kamu tahu ini nggak semudah yang kamu pikir? Lihat nih," ia menunjukkan aplikasi di ponselnya. "Dalam sehari, aku harus mantau lima platform berbeda. Tiap lima menit ada chat masuk. Complain pembeli datang tengah malam. Stok harus diupdate tiap jam. Salah sedikit, rating anjlok."
"Waktu kita mulai dulu, kamu juga bilang jualan di pasar nggak mudah," Rukmini tersenyum getir. "Tapi kita bertahan, kan?"
"Ini beda, Mini. Dulu kita cuma perlu modal tenaga dan keberanian. Sekarang?" Lestari menggeser layar ponselnya. "Lihat. Minggu lalu ada yang pre-order 100 kilo sayur. Mendadak batal. Uang sudah keluar, barang melimpah. Belum lagi..."
"Ta," potong Rukmini. Tangannya gemetar menggenggam cangkir kopi yang mulai dingin. "Aku nggak punya pilihan. Kemarin anakku nunjukin harga sayur online. Separuh dari harga kita. Bagaimana aku bisa bersaing?"
Lestari terdiam. Di bawah cahaya temaram, ia melihat guratan lelah di wajah sahabatnya. Tapi di mata itu, api yang dulu membara masih menyala --- api yang membuat Rukmini bertahan ketika pedagang lain menyerah.
"Dua puluh lima tahun, Ta," suara Rukmini pecah. "Dua puluh lima tahun aku bangun usaha ini. Dari nol. Dari utang sana-sini. Sekarang..." ia menelan ludah. "Aku nggak bisa duduk diam nunggu semuanya hancur."
Lestari menyandarkan punggungnya. Dalam kepalanya berputar kenangan-kenangan masa lalu --- bagaimana Rukmini memaksakan diri berjualan meski sedang hamil tua, bagaimana ia tetap tersenyum melayani pembeli meski suaminya baru saja menghambur-hamburkan uang dagangannya.
"Baiklah," Lestari menghela napas. "Tapi aku peringatkan kamu. Ini akan jadi perjalanan paling berat dalam hidupmu. Kamu harus siap begadang tiap malam, belajar istilah-istilah baru, handle pembeli yang lebih cerewet dari emak-emak pasar. Dan yang paling penting..." ia menatap tajam mata sahabatnya, "kamu harus rela melepas cara lama yang sudah jadi nyawa kamu selama ini."
Rukmini mengangguk mantap. "Lebih berat dari mengandung sambil jualan? Lebih berat dari bangun subuh demi rebutan sayur segar? Lebih berat dari nangis diam-diam waktu uang dagangan dipakai judi?"
Seulas senyum tersungging di bibir Lestari. "Ini Mini yang aku kenal. Oke, besok bawa HP-mu. Kita mulai dari yang basic."
Pukul dua pagi. Rukmini masih terjaga, matanya merah menatap layar ponsel. Ini adalah kali ketiga ia mencoba mengunggah foto dagangannya.
"Hapus... hapus... Ya Allah, fotonya hilang lagi!" ia mengerang frustrasi. Jari-jarinya yang kapalan tersandung tombol yang salah, menghapus hasil kerja dua jam terakhir.
Di sebelahnya, Ayu yang ikut begadang menahan kantuk. "Sabar, Bu. Namanya juga belajar."
"Belajar bagaimana? Ibu sudah tiga hari nggak tidur nyenyak gara-gara aplikasi ini!" Rukmini nyaris membanting ponselnya. "Dulu jualan di pasar gampang. Tinggal tata barang, pasang harga, selesai!"
"Bu Rukmini?" sebuah chat masuk. "Pesanan saya kok belum sampai ya? Padahal sudah bayar dari kemarin."
Rukmini panik. Tangannya gemetar membuka catatan pesanan - sebuah buku tulis penuh coretan dan tanda panah membingungkan. "Yu, yang request bayam merah siapa? Yang minta tomat organik yang mana? Kenapa catatannya jadi campur aduk begini?"
"Ibu masih nyatet manual sih," Ayu menghela napas. "Kan sudah ada aplikasi catatan..."
"Aplikasi lagi, aplikasi lagi! Kepalaku sudah mau pecah!"
Dari kamar sebelah, terdengar suara Tono. "Tuh kan, sudah Bapak bilang. Mending jualan seperti biasa saja."
Air mata Rukmini menetes ke layar ponsel. Lima belas pesanan tertunda, tiga komplain pelanggan, dan satu review buruk dalam seminggu. "Mungkin Bapakmu benar, Yu. Ibu sudah terlalu tua untuk ini."
"Eits, sejak kapan Mbok Ruk yang terkenal gigih jadi mudah menyerah?" Lestari tiba-tiba muncul di pintu dengan termos kopi. "Dulu waktu baru mulai di pasar, kamu juga sering salah timbang, salah kembalian, bahkan pernah ketipu uang palsu. Tapi kamu tetap bertahan, kan?"
Rukmini mengusap matanya. "Iya, tapi..."
"Nggak ada tapi!" Lestari duduk di sebelahnya. "Sini, kita hadapi sama-sama. Ayu, ambilin kertas. Kita bikin sistem yang lebih rapi."
Sampai fajar menyingsing, tiga perempuan itu bergadang bersama. Lestari mengajari cara membuat template chat untuk menjawab pertanyaan umum. Ayu membuat spreadsheet sederhana untuk mencatat pesanan. Rukmini? Ia belajar bahwa tombol 'kembali' berbeda dengan tombol 'hapus'.
"Pak, Bu, mohon maaf pesanan terlambat," Rukmini mengetik dengan hati-hati ke pelanggan yang komplain. "Saya masih belajar sistem baru. Sebagai permintaan maaf, saya tambahkan seikat kemangi gratis."
Seminggu kemudian, Rukmini sudah bisa membedakan mana foto yang bagus untuk diunggah. Tangannya mulai terbiasa dengan layar sentuh. Ia bahkan menemukan cara unik menata sayuran agar terlihat lebih menarik di foto.
"Bu, coba lihat reviewnya," Ayu menunjukkan layar ponsel suatu pagi.
"Mbok Ruk memang butuh waktu lebih lama mengantarnya, tapi responsenya jujur dan tulus. Dapat bonus kemangi lagi! Recommended seller!"
Rukmini tersenyum. Mungkin ia tidak secepat pedagang online lain. Mungkin ia masih sering salah pencet. Tapi setidaknya, ia tetap bisa memberikan apa yang selama ini menjadi kekuatannya: ketulusan melayani pelanggan.
"Yu," panggilnya pada Ayu yang masih sibuk merapikan spreadsheet pesanan. "Besok ajarin Ibu bikin grup WhatsApp ya? Kayaknya lebih enak kalau bisa broadcast promo sekaligus."
Ayu terperangah. Seminggu lalu, ibunya bahkan tidak tahu cara menyimpan nomor kontak.
***
Hari itu, Rukmini mendapat pesanan besar dari pelanggan di kota sebelah. Ia mengemasi lima puluh kilogram bayam, kangkung, dan tomat dengan rapi dalam kardus. Pengemudi ekspedisi yang datang menjemput memuji pengemasannya yang rapi dan profesional.
"Wah, Ibu pasti sudah lama jualan online, ya?" ujar si pengemudi sambil tersenyum.
Rukmini hanya tertawa kecil, menyembunyikan rasa bangga yang mengembang di dadanya. Ia ingat betapa berat perjalanan ini. Namun, di setiap kesulitan, ia menemukan kekuatan baru dalam dirinya.
***
Setahun berlalu sejak Rukmini pertama kali menjajal dunia digital. Kini, ia dikenal sebagai "Ratu Pasar Online" oleh sesama pedagang di desa. Lapaknya di pasar tetap buka, tapi sebagian besar transaksi kini dilakukan melalui ponsel. Ia bahkan mulai bermitra langsung dengan petani untuk memastikan pasokan segar dan harga bersaing.
Tono yang semula sinis, kini diam-diam bangga melihat usaha istrinya berkembang. Ayu, yang dulu hanya menjadi mentor teknologi, kini ikut membantu Rukmini mengelola pesanan besar-besaran.
"Bu, ada pelanggan baru mau pesan 200 kilo tomat untuk katering. Mereka bilang suka sama pelayanan kita," Ayu memberi tahu ibunya suatu pagi.
Rukmini tersenyum lebar. Di balik wajahnya yang letih, ada kebahagiaan yang sulit dilukiskan.
"Kalau aku nggak mulai waktu itu, mungkin aku sudah menyerah," gumamnya sambil memandang layar ponsel. Ia menatap angka-angka penjualan yang terus meningkat, membuktikan bahwa perjuangannya tidak sia-sia.
Pasar memang berubah, tapi semangat Rukmini tetap sama --- pantang menyerah, beradaptasi, dan terus belajar. Di dunia digital yang serba cepat, ia membuktikan bahwa pengalaman bertahun-tahun di pasar tradisional tetap menjadi modal berharga.
Rukmini tersenyum puas. Kini, ia tidak hanya menjadi pahlawan bagi keluarganya, tapi juga inspirasi bagi pedagang kecil lain yang ingin maju tanpa melupakan akar tradisi mereka.
Bio data penulis :
Guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala satuan pendidikan di SMK Negeri 1 Kelapa Kampit - Belitung Timur
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI