"Belajar bagaimana? Ibu sudah tiga hari nggak tidur nyenyak gara-gara aplikasi ini!" Rukmini nyaris membanting ponselnya. "Dulu jualan di pasar gampang. Tinggal tata barang, pasang harga, selesai!"
"Bu Rukmini?" sebuah chat masuk. "Pesanan saya kok belum sampai ya? Padahal sudah bayar dari kemarin."
Rukmini panik. Tangannya gemetar membuka catatan pesanan - sebuah buku tulis penuh coretan dan tanda panah membingungkan. "Yu, yang request bayam merah siapa? Yang minta tomat organik yang mana? Kenapa catatannya jadi campur aduk begini?"
"Ibu masih nyatet manual sih," Ayu menghela napas. "Kan sudah ada aplikasi catatan..."
"Aplikasi lagi, aplikasi lagi! Kepalaku sudah mau pecah!"
Dari kamar sebelah, terdengar suara Tono. "Tuh kan, sudah Bapak bilang. Mending jualan seperti biasa saja."
Air mata Rukmini menetes ke layar ponsel. Lima belas pesanan tertunda, tiga komplain pelanggan, dan satu review buruk dalam seminggu. "Mungkin Bapakmu benar, Yu. Ibu sudah terlalu tua untuk ini."
"Eits, sejak kapan Mbok Ruk yang terkenal gigih jadi mudah menyerah?" Lestari tiba-tiba muncul di pintu dengan termos kopi. "Dulu waktu baru mulai di pasar, kamu juga sering salah timbang, salah kembalian, bahkan pernah ketipu uang palsu. Tapi kamu tetap bertahan, kan?"
Rukmini mengusap matanya. "Iya, tapi..."
"Nggak ada tapi!" Lestari duduk di sebelahnya. "Sini, kita hadapi sama-sama. Ayu, ambilin kertas. Kita bikin sistem yang lebih rapi."
Sampai fajar menyingsing, tiga perempuan itu bergadang bersama. Lestari mengajari cara membuat template chat untuk menjawab pertanyaan umum. Ayu membuat spreadsheet sederhana untuk mencatat pesanan. Rukmini? Ia belajar bahwa tombol 'kembali' berbeda dengan tombol 'hapus'.