"Ini beda, Mini. Dulu kita cuma perlu modal tenaga dan keberanian. Sekarang?" Lestari menggeser layar ponselnya. "Lihat. Minggu lalu ada yang pre-order 100 kilo sayur. Mendadak batal. Uang sudah keluar, barang melimpah. Belum lagi..."
"Ta," potong Rukmini. Tangannya gemetar menggenggam cangkir kopi yang mulai dingin. "Aku nggak punya pilihan. Kemarin anakku nunjukin harga sayur online. Separuh dari harga kita. Bagaimana aku bisa bersaing?"
Lestari terdiam. Di bawah cahaya temaram, ia melihat guratan lelah di wajah sahabatnya. Tapi di mata itu, api yang dulu membara masih menyala --- api yang membuat Rukmini bertahan ketika pedagang lain menyerah.
"Dua puluh lima tahun, Ta," suara Rukmini pecah. "Dua puluh lima tahun aku bangun usaha ini. Dari nol. Dari utang sana-sini. Sekarang..." ia menelan ludah. "Aku nggak bisa duduk diam nunggu semuanya hancur."
Lestari menyandarkan punggungnya. Dalam kepalanya berputar kenangan-kenangan masa lalu --- bagaimana Rukmini memaksakan diri berjualan meski sedang hamil tua, bagaimana ia tetap tersenyum melayani pembeli meski suaminya baru saja menghambur-hamburkan uang dagangannya.
"Baiklah," Lestari menghela napas. "Tapi aku peringatkan kamu. Ini akan jadi perjalanan paling berat dalam hidupmu. Kamu harus siap begadang tiap malam, belajar istilah-istilah baru, handle pembeli yang lebih cerewet dari emak-emak pasar. Dan yang paling penting..." ia menatap tajam mata sahabatnya, "kamu harus rela melepas cara lama yang sudah jadi nyawa kamu selama ini."
Rukmini mengangguk mantap. "Lebih berat dari mengandung sambil jualan? Lebih berat dari bangun subuh demi rebutan sayur segar? Lebih berat dari nangis diam-diam waktu uang dagangan dipakai judi?"
Seulas senyum tersungging di bibir Lestari. "Ini Mini yang aku kenal. Oke, besok bawa HP-mu. Kita mulai dari yang basic."
Pukul dua pagi. Rukmini masih terjaga, matanya merah menatap layar ponsel. Ini adalah kali ketiga ia mencoba mengunggah foto dagangannya.
"Hapus... hapus... Ya Allah, fotonya hilang lagi!" ia mengerang frustrasi. Jari-jarinya yang kapalan tersandung tombol yang salah, menghapus hasil kerja dua jam terakhir.
Di sebelahnya, Ayu yang ikut begadang menahan kantuk. "Sabar, Bu. Namanya juga belajar."