Kabut putih mengambang rendah di atas permukaan danau kawah, menciptakan panorama mistis yang memukau setiap pengunjung Kawah Putih Ciwidey. Di antara kerumunan wisatawan yang berdecak kagum, sosok Otoy tampak gesit bergerak dengan kamera DSLR usangnya. Pria berusia 32 tahun itu sudah menjadi bagian dari pemandangan Kawah Putih selama hampir satu dekade, mengabadikan momen bahagia para pengunjung dengan sepenuh hati.
"Mas, foto ya!" teriak seorang wisatawan. Otoy tersenyum ramah, bergegas menghampiri. Tangannya yang terampil mengatur komposisi, mencari sudut terbaik dengan latar belakang danau kawah yang memesona. Baginya, setiap jepretan adalah karya seni, meski kamera yang digunakannya adalah hasil mencicil selama dua tahun.
Hidup Otoy sederhana namun bahagia. Tinggal di rumah kontrakan kecil di kaki bukit bersama istri tercinta, Rani, yang ditemuinya justru saat bertugas sebagai fotografer di Kawah Putih. Rani, seorang wisatawan dari Bandung, jatuh hati pada kesederhanaan dan passion Otoy terhadap fotografi. Pertemuan yang awalnya hanya sebatas fotografer dan model itu berkembang menjadi kisah cinta yang manis.
"Kang, udah berapa lama sih motret di sini?" tanya Rani saat pertama kali mereka berbincang.
"Udah lima tahun, Neng. Dari dulu memang suka motret, tapi baru berani serius waktu kerja di sini," jawab Otoy dengan mata berbinar.
Namun, di balik senyum ramah dan semangat yang terpancar itu, sang kawah diam-diam meracuni tubuhnya. Setiap hembusan angin yang membawa aroma belerang bagaikan pisau tak kasat mata yang perlahan mengoyak paru-parunya. Awalnya, Otoy hanya menganggap enteng batuk kecil yang datang di penghujung hari. "Cuma debu biasa," kilahnya pada Rani setiap kali istrinya bertanya.
Minggu berganti bulan. Batuk itu mulai terdengar seperti lonceng peringatan yang menggetarkan malam-malam mereka. Otoy sering terbangun di tengah malam, terbatuk hebat hingga tubuhnya membungkuk, mencengkeram dadanya yang terasa terbakar. Rani hanya bisa menatap nanar, menggosok punggung suaminya dengan tangan bergetar, sementara dalam hati menghitung berapa kali dalam seminggu ini suaminya terbangun dengan cara yang sama.
Suatu pagi, saat sedang melayani wisatawan, mendadak dunia Otoy berputar. Kabut putih di depannya seolah menghitam, dan udara terasa begitu berat, seolah seluruh gas belerang di kawah memutuskan untuk memenuhi paru-parunya sekaligus. Dia terhuyung, nyaris menjatuhkan kamera kesayangannya, sementara keringat dingin membasahi wajahnya yang memucat.
Dokter yang memeriksa Otoy memberikan diagnosis yang mengkhawatirkan. "Kang Otoy harus mengurangi paparan terhadap gas belerang. Kalau tidak, kondisi pernapasannya bisa semakin memburuk."
Diagnosa itu bagaikan petir di siang bolong. Kawah Putih adalah sumber penghasilan utama Otoy. Bagaimana dia bisa menghidupi keluarganya jika harus meninggalkan pekerjaannya? Tekanan ekonomi dan kekhawatiran Rani membuat Otoy sering termenung, merasa lemah dan kehilangan harapan.
"Aa masih punya bakat fotografi yang luar biasa. Kenapa tidak coba bikin studio foto sendiri?" usul Rani suatu hari.
Usulan itu membuka perspektif baru bagi Otoy. Dia mulai belajar tentang fotografi studio secara otodidak, menghabiskan malam-malam dengan tutorial online dan buku-buku fotografi. Sambil tetap bekerja di Kawah Putih dengan waktu yang dikurangi, Otoy mulai mengumpulkan modal untuk studio kecil-kecilan.
Di suatu malam, saat Otoy tertidur pulas setelah seharian mencari informasi tentang studio foto, Rani diam-diam mengeluarkan kotak perhiasan pemberian orangtuanya. Cincin emas pemberian ibunya saat menikah, kalung yang selama ini dia simpan untuk hari tua, gelang warisan neneknya—semua kenangan berharga itu dia tatap lama, sebelum akhirnya mengambil keputusan yang menggetarkan hatinya.
"Perhiasan bisa dibeli lagi, Aa. Tapi kesehatan dan mimpi Aa tidak bisa ditunda," bisiknya lembut keesokan paginya, sambil meletakkan segepok uang hasil penjualan perhiasannya di tangan Otoy yang gemetar. Air mata Otoy menetes tanpa suara, menatap pengorbanan cinta yang begitu dalam dari perempuan yang menjadi tulang punggung hidupnya.
Dengan modal seadanya, mereka menyewa ruko kecil di pinggir jalan raya Ciwidey. Bangunan tua dengan cat mengelupas itu mungkin tak menarik bagi orang lain, tapi di mata Otoy dan Rani, tempat itu adalah istana impian mereka. Selama seminggu penuh mereka bekerja tanpa kenal lelah, mengubah ruang kusam itu menjadi studio sederhana. Otoy memasang backdrop dari kain bekas yang dicat ulang, sementara Rani menghias dinding dengan hasil jepretan terbaik suaminya di Kawah Putih.
Hari pembukaan "Studio Foto Otoy" adalah hari yang sederhana namun penuh makna. Tidak ada pita yang digunting, tidak ada balon warna-warni, hanya spanduk sederhana dan beberapa equipment fotografi bekas yang berhasil mereka kumpulkan. Tapi senyum di wajah Otoy dan Rani memancarkan harapan yang jauh lebih berharga dari segala kemewahan.
Awal-awal sangat berat. Persaingan dengan studio foto yang lebih besar dan mapan membuat Otoy harus berpikir kreatif. Dia menawarkan paket foto pre-wedding dengan konsep unik, memanfaatkan keindahan alam Ciwidey sebagai lokasi. Perlahan tapi pasti, nama Studio Foto Otoy mulai dikenal.
Namun, nasib seolah belum puas menguji keteguhan hati mereka. Di tengah sesi pemotretan keluarga pada suatu Minggu pagi yang sibuk, mendadak napas Otoy tersengal. Kamera di tangannya terlepas, jatuh ke lantai dengan suara yang memekakkan telinga. Tubuhnya yang sudah bertahun-tahun digerogoti gas belerang akhirnya menyerah. Dia terhuyung, mencengkeram dada kirinya yang terasa seperti dicabik-cabik, sementara mulutnya megap-megap mencari udara yang seolah menghilang dari paru-parunya.
"Aa!" Jeritan Rani membelah keheningan studio. Dia berlari menangkap tubuh suaminya yang ambruk ke lantai. Klien-klien yang sedang menunggu giliran berhamburan panik. Seseorang berteriak memanggil ambulans, sementara yang lain membantu membaringkan Otoy yang wajahnya sudah membiru.
Di dalam ambulans, Rani menggenggam tangan dingin suaminya yang tak sadarkan diri. Air matanya menetes di atas jemari Otoy yang masih menggenggam remote kamera. Sirine ambulans meraung-raung membelah jalanan Ciwidey, membawa tubuh lemah sang fotografer yang telah bertahun-tahun menantang bahaya demi sebuah mimpi.
Di ruang ICU, Otoy terbaring tak berdaya dengan selang oksigen dan berbagai peralatan medis menempel di tubuhnya. Bunyi monoton monitor jantung menjadi musik pengiring malam-malam panjang Rani yang terjaga. Dia teringat hari-hari di Kawah Putih, bagaimana suaminya selalu tersenyum di balik kamera, mengabaikan batuk yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Setiap tarikan napas Otoy yang tersengal terasa seperti hukuman atas keras kepala mereka mengabaikan peringatan dokter selama ini.
"Mungkin ini saatnya Aa berhenti motret," bisik Rani dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak, Neng. Fotografi bukan hanya pekerjaan buat Aa. Ini passion Aa, mimpi Aa," jawab Otoy lemah tapi tegas.
Keluarga dan teman-teman berdatangan, memberikan dukungan moral dan material. Dokter menyarankan pengobatan intensif dan perubahan gaya hidup. "Kang Otoy masih bisa jadi fotografer, tapi harus lebih menjaga kesehatan," tegasnya.
Selama masa pemulihan di rumah sakit, ranjang Otoy berubah menjadi kantor improvisasi. Di antara selang infus dan obat-obatan, berserakan sketsa-sketsa kasar dan catatan mimpi yang ditulis dengan tangan gemetar. Setiap malam, ditemani dengung mesin rumah sakit dan cahaya temaram, dia menggoreskan impiannya di atas kertas: denah studio yang lebih besar, konsep foto yang belum pernah ada di Ciwidey, bahkan rencana workshop fotografi untuk anak-anak muda setempat.
Rani, yang setia mendampingi, diam-diam mencatat setiap detail dari bibir pucat suaminya. Di sela-sela menyuapi bubur rumah sakit dan mengganti selang infus, dia belajar dari tutorial YouTube di ponselnya: cara mengoperasikan kamera, teknik pencahayaan dasar, bahkan manajemen studio foto. Saat Otoy tertidur, dia berlatih mengatur lighting dengan senter ponsel, membayangkan setiap sudut studio yang akan mereka bangun kembali.
"Neng sudah bisa motret sendiri sekarang," ujar Rani suatu hari, memamerkan hasil jepretannya—foto Otoy yang tersenyum lemah di ranjang rumah sakit, dengan cahaya senja membuat siluet indah di wajahnya. Otoy menatap hasil foto itu lama, matanya berkaca-kaca melihat bagaimana cinta bisa mengubah seorang Rani menjadi fotografer dadakan.
Tiga bulan kemudian, Otoy kembali ke studio dengan semangat yang telah diitempa kesakitan. Studio Foto Otoy bukan lagi sekadar tempat bernaung, tapi sebuah akademi mini yang mewujudkan mimpi-mimpinya selama di rumah sakit. Dinding-dinding kusam kini dicat ulang dengan warna-warna cerah. Ruang tunggu disulap menjadi galeri mini yang memamerkan foto-foto terbaik Kawah Putih—pengingat dari mana semua ini bermula.
Satu per satu, Otoy merekrut anak-anak muda berbakat dari sekitar Ciwidey. Ada mahasiswa fotografi yang putus kuliah karena biaya; gadis lulusan SMA yang memotret dengan ponsel androidnya; dan mantan tukang parkir yang punya mata tajam untuk komposisi. Di bawah bimbingan Otoy, mereka bukan sekadar asisten—mereka adalah generasi penerus yang dia bina dengan sepenuh hati.
Setiap Sabtu pagi, studio berubah menjadi ruang kelas. Otoy membagikan pengalaman dan pengetahuannya, tidak hanya tentang teknik fotografi, tapi juga pelajaran hidup yang dia petik dari perjalanannya. "Kamera bisa dibeli, tapi mata fotografer dan hati yang tulus itu tidak ternilai," begitu dia selalu mengingatkan anak-anak didiknya.
Perlahan tapi pasti, nama Studio Foto Otoy bergema di luar Ciwidey. Bukan lagi sebagai "tukang foto Kawah Putih", tapi sebagai tempat lahirnya fotografer-fotografer muda berbakat. Klien berdatangan bukan hanya untuk foto, tapi untuk menjadi bagian dari cerita inspiratif yang terdengar hingga ke kota-kota besar. Para fotografer profesional kadang mampir, berdecak kagum melihat bagaimana sebuah studio sederhana bisa menjelma menjadi mercusuar yang menerangi mimpi anak-anak muda Ciwidey.
Lima tahun berlalu sejak hari pertama Studio Foto Otoy dibuka. Kini, studio itu telah berkembang menjadi salah satu studio foto terkemuka di Ciwidey. Otoy masih sesekali mengunjungi Kawah Putih, bukan lagi sebagai tukang foto, melainkan sebagai fotografer profesional yang membawa klien pre-wedding atau wisatawan khusus.
"Aa tidak menyesal ninggalin Kawah Putih?" tanya Rani suatu sore, saat mereka duduk di teras rumah baru mereka yang asri.
Otoy tersenyum, memandang ke arah Kawah Putih yang tampak dari kejauhan. "Kawah Putih mengajarkan Aa banyak hal, Neng. Di sana Aa belajar tentang perjuangan, di sana juga Aa ketemu Eneng. Tapi kadang kita harus mengambil keputusan sulit untuk masa depan yang lebih baik."
Di dinding studio, terpajang foto-foto Kawah Putih karya Otoy, termasuk foto pertama Rani yang dia ambil dulu. Setiap foto menyimpan cerita perjuangan, pengorbanan, dan cinta yang mendalam. Bagi Otoy, setiap jepretan kamera bukan sekadar mengabadikan momen, tapi juga menyimpan serpihan kisah hidupnya yang penuh makna.
Kini, Otoy bukan lagi sekadar tukang foto Kawah Putih. Dia adalah bukti bahwa passion, keteguhan hati, dan dukungan orang tercinta bisa mengubah mimpi menjadi kenyataan, bahkan di tengah badai kehidupan yang paling gelap sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H