"Aa masih punya bakat fotografi yang luar biasa. Kenapa tidak coba bikin studio foto sendiri?" usul Rani suatu hari.
Usulan itu membuka perspektif baru bagi Otoy. Dia mulai belajar tentang fotografi studio secara otodidak, menghabiskan malam-malam dengan tutorial online dan buku-buku fotografi. Sambil tetap bekerja di Kawah Putih dengan waktu yang dikurangi, Otoy mulai mengumpulkan modal untuk studio kecil-kecilan.
Di suatu malam, saat Otoy tertidur pulas setelah seharian mencari informasi tentang studio foto, Rani diam-diam mengeluarkan kotak perhiasan pemberian orangtuanya. Cincin emas pemberian ibunya saat menikah, kalung yang selama ini dia simpan untuk hari tua, gelang warisan neneknya—semua kenangan berharga itu dia tatap lama, sebelum akhirnya mengambil keputusan yang menggetarkan hatinya.
"Perhiasan bisa dibeli lagi, Aa. Tapi kesehatan dan mimpi Aa tidak bisa ditunda," bisiknya lembut keesokan paginya, sambil meletakkan segepok uang hasil penjualan perhiasannya di tangan Otoy yang gemetar. Air mata Otoy menetes tanpa suara, menatap pengorbanan cinta yang begitu dalam dari perempuan yang menjadi tulang punggung hidupnya.
Dengan modal seadanya, mereka menyewa ruko kecil di pinggir jalan raya Ciwidey. Bangunan tua dengan cat mengelupas itu mungkin tak menarik bagi orang lain, tapi di mata Otoy dan Rani, tempat itu adalah istana impian mereka. Selama seminggu penuh mereka bekerja tanpa kenal lelah, mengubah ruang kusam itu menjadi studio sederhana. Otoy memasang backdrop dari kain bekas yang dicat ulang, sementara Rani menghias dinding dengan hasil jepretan terbaik suaminya di Kawah Putih.
Hari pembukaan "Studio Foto Otoy" adalah hari yang sederhana namun penuh makna. Tidak ada pita yang digunting, tidak ada balon warna-warni, hanya spanduk sederhana dan beberapa equipment fotografi bekas yang berhasil mereka kumpulkan. Tapi senyum di wajah Otoy dan Rani memancarkan harapan yang jauh lebih berharga dari segala kemewahan.
Awal-awal sangat berat. Persaingan dengan studio foto yang lebih besar dan mapan membuat Otoy harus berpikir kreatif. Dia menawarkan paket foto pre-wedding dengan konsep unik, memanfaatkan keindahan alam Ciwidey sebagai lokasi. Perlahan tapi pasti, nama Studio Foto Otoy mulai dikenal.
Namun, nasib seolah belum puas menguji keteguhan hati mereka. Di tengah sesi pemotretan keluarga pada suatu Minggu pagi yang sibuk, mendadak napas Otoy tersengal. Kamera di tangannya terlepas, jatuh ke lantai dengan suara yang memekakkan telinga. Tubuhnya yang sudah bertahun-tahun digerogoti gas belerang akhirnya menyerah. Dia terhuyung, mencengkeram dada kirinya yang terasa seperti dicabik-cabik, sementara mulutnya megap-megap mencari udara yang seolah menghilang dari paru-parunya.
"Aa!" Jeritan Rani membelah keheningan studio. Dia berlari menangkap tubuh suaminya yang ambruk ke lantai. Klien-klien yang sedang menunggu giliran berhamburan panik. Seseorang berteriak memanggil ambulans, sementara yang lain membantu membaringkan Otoy yang wajahnya sudah membiru.
Di dalam ambulans, Rani menggenggam tangan dingin suaminya yang tak sadarkan diri. Air matanya menetes di atas jemari Otoy yang masih menggenggam remote kamera. Sirine ambulans meraung-raung membelah jalanan Ciwidey, membawa tubuh lemah sang fotografer yang telah bertahun-tahun menantang bahaya demi sebuah mimpi.
Di ruang ICU, Otoy terbaring tak berdaya dengan selang oksigen dan berbagai peralatan medis menempel di tubuhnya. Bunyi monoton monitor jantung menjadi musik pengiring malam-malam panjang Rani yang terjaga. Dia teringat hari-hari di Kawah Putih, bagaimana suaminya selalu tersenyum di balik kamera, mengabaikan batuk yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Setiap tarikan napas Otoy yang tersengal terasa seperti hukuman atas keras kepala mereka mengabaikan peringatan dokter selama ini.