Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jepretan di Kawah Putih Ciwidey

31 Desember 2024   00:01 Diperbarui: 30 Desember 2024   19:49 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabut putih mengambang rendah di atas permukaan danau kawah, menciptakan panorama mistis yang memukau setiap pengunjung Kawah Putih Ciwidey. Di antara kerumunan wisatawan yang berdecak kagum, sosok Otoy tampak gesit bergerak dengan kamera DSLR usangnya. Pria berusia 32 tahun itu sudah menjadi bagian dari pemandangan Kawah Putih selama hampir satu dekade, mengabadikan momen bahagia para pengunjung dengan sepenuh hati.

"Mas, foto ya!" teriak seorang wisatawan. Otoy tersenyum ramah, bergegas menghampiri. Tangannya yang terampil mengatur komposisi, mencari sudut terbaik dengan latar belakang danau kawah yang memesona. Baginya, setiap jepretan adalah karya seni, meski kamera yang digunakannya adalah hasil mencicil selama dua tahun.

Hidup Otoy sederhana namun bahagia. Tinggal di rumah kontrakan kecil di kaki bukit bersama istri tercinta, Rani, yang ditemuinya justru saat bertugas sebagai fotografer di Kawah Putih. Rani, seorang wisatawan dari Bandung, jatuh hati pada kesederhanaan dan passion Otoy terhadap fotografi. Pertemuan yang awalnya hanya sebatas fotografer dan model itu berkembang menjadi kisah cinta yang manis.

"Kang, udah berapa lama sih motret di sini?" tanya Rani saat pertama kali mereka berbincang.

"Udah lima tahun, Neng. Dari dulu memang suka motret, tapi baru berani serius waktu kerja di sini," jawab Otoy dengan mata berbinar.

Namun, di balik senyum ramah dan semangat yang terpancar itu, sang kawah diam-diam meracuni tubuhnya. Setiap hembusan angin yang membawa aroma belerang bagaikan pisau tak kasat mata yang perlahan mengoyak paru-parunya. Awalnya, Otoy hanya menganggap enteng batuk kecil yang datang di penghujung hari. "Cuma debu biasa," kilahnya pada Rani setiap kali istrinya bertanya.

Minggu berganti bulan. Batuk itu mulai terdengar seperti lonceng peringatan yang menggetarkan malam-malam mereka. Otoy sering terbangun di tengah malam, terbatuk hebat hingga tubuhnya membungkuk, mencengkeram dadanya yang terasa terbakar. Rani hanya bisa menatap nanar, menggosok punggung suaminya dengan tangan bergetar, sementara dalam hati menghitung berapa kali dalam seminggu ini suaminya terbangun dengan cara yang sama.

Suatu pagi, saat sedang melayani wisatawan, mendadak dunia Otoy berputar. Kabut putih di depannya seolah menghitam, dan udara terasa begitu berat, seolah seluruh gas belerang di kawah memutuskan untuk memenuhi paru-parunya sekaligus. Dia terhuyung, nyaris menjatuhkan kamera kesayangannya, sementara keringat dingin membasahi wajahnya yang memucat.

Dokter yang memeriksa Otoy memberikan diagnosis yang mengkhawatirkan. "Kang Otoy harus mengurangi paparan terhadap gas belerang. Kalau tidak, kondisi pernapasannya bisa semakin memburuk."

Diagnosa itu bagaikan petir di siang bolong. Kawah Putih adalah sumber penghasilan utama Otoy. Bagaimana dia bisa menghidupi keluarganya jika harus meninggalkan pekerjaannya? Tekanan ekonomi dan kekhawatiran Rani membuat Otoy sering termenung, merasa lemah dan kehilangan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun