Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah di Sudut Gang

23 Desember 2024   07:32 Diperbarui: 23 Desember 2024   07:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidak ada yang namanya mantan penjahat, yang ada hanya penjahat yang sedang bersembunyi." Kalimat itu terngiang di telinga Hamid, seperti mantra yang terus diulang masyarakat. Padahal, bukankah Allah berfirman bahwa pintu taubat selalu terbuka? Bahwa setiap dosa bisa diampuni kecuali syirik? Tapi mengapa manusia lebih suka menutup pintu maaf mereka?

Hamid menghela nafas panjang sambil membereskan gerobak gorengannya. Matahari sudah condong ke barat, pertanda waktu ashar akan segera tiba. Dari sudut gang tempatnya berjualan, azan berkumandang memanggil. Suara yang dulu sangat dirindukannya ketika di balik jeruji besi.

"Bang Hamid, pisangnya masih ada?" seorang anak kecil menghampiri gerobaknya.

"Udah habis dek, besok ya," jawab Hamid sambil tersenyum. Lengan bajunya yang panjang sedikit tersingkap, menampakkan ujung tato yang mencuat. Segera ditariknya lengan baju itu, menutupi jejak masa lalu yang tak bisa dihapus.

***

Dulu, tidak ada yang menyangka putra Ustadz Mahmud yang hafiz Quran bisa terjerumus begitu dalam. Hamid kecil selalu menjadi kebanggaan. Di usia sembilan tahun, ia sudah hafal lima juz. Setiap Ramadhan, suaranya yang merdu menggetarkan hati jamaah ketika memimpin tarawih. Wajahnya yang berseri, persis seperti ayahnya di masa muda, membuat orang-orang tak henti memuji.

"Mashaa Allah, Ustadz. Putra bapak ini pasti akan jadi ulama besar."

"Lihat cara dia membaca Al-Quran, persis seperti Syekh Al-Ghamidi!"

"Alhamdulillah, ada penerus Ustadz Mahmud."

Pujian demi pujian itu perlahan berubah menjadi beban. Di sekolah, teman-temannya mulai menjaga jarak. "Jangan ajak Hamid, nanti dilaporkan ke ayahnya," begitu mereka berbisik. Di rumah, ibunya selalu mengingatkan untuk menjaga sikap. "Kamu anak ustadz, Nak. Orang-orang selalu memperhatikan." 

Saat SMP, Hamid mulai merasa tercekik. Setiap kali ia tertawa terlalu keras, ada saja yang mengingatkan bahwa anak ustadz harus lebih santun. Ketika nilai matematikanya turun, orang-orang menggeleng heran - bagaimana mungkin anak yang hafal Al-Quran bisa lemah dalam berhitung? Bahkan ketika ia ingin bergabung dengan klub sepak bola sekolah, ayahnya dengan halus menyarankan untuk fokus pada hafalan dan kajian.

"Belajar agama lebih penting, Nak. Masa depanmu ada di situ."

Tekanan itu memuncak di kelas dua SMA. Hamid bertemu Dani, siswa pindahan yang tidak tahu latar belakang keluarganya. Untuk pertama kalinya, Hamid merasakan kebebasan berteman tanpa label "anak ustadz". 

Dani membawanya ke lingkaran pertemanan baru. Awalnya hanya nongkrong biasa di warung kopi sampai larut. Lama-kelamaan, mereka mulai mengajaknya ke tempat-tempat yang lebih "berani". Rokok pertama yang ia hisap terasa menyakitkan, tapi sensasi "memberontak" itu membuatnya ketagihan.

"Santai saja, Mid. Hidup itu perlu keseimbangan," kata Dani suatu malam, sambil menyodorkan sebatang rokok yang ternyata bukan rokok biasa.

Ganja menjadi pintu masuk Hamid ke dunia yang lebih gelap. Sensasi melayang membuatnya lupa akan semua beban dan tuntutan. Hafalan Al-Quran yang dulu ia banggakan perlahan memudar, tergantikan oleh hafalan harga berbagai jenis narkoba.

"Lo tahu Mid? Barang yang kemarin itu masih kurang greget. Gue punya yang lebih mantap," Dani mengeluarkan serbuk putih dari sakunya.

Sabu-sabu menjadi pelarian terakhir sebelum akhirnya polisi menangkap mereka dalam sebuah razia di rumah kos. Saat borgol mengekang tangannya, yang Hamid ingat hanya wajah ayahnya yang membeku di depan pintu masjid, mendengar kabar penangkapan putra kebanggaannya.

Lima tahun penjara adalah harga yang harus ia bayar. Tapi mungkin hukuman terberat adalah saat mendengar ibunya jatuh sakit karena shock, dan ayahnya yang sempat berhenti menjadi imam karena malu. Setiap malam di selnya, Hamid menangis mengingat ayat-ayat yang dulu ia hafal - ayat-ayat yang kini seolah mengejek kebodohannya memilih jalan yang salah.

"Ya Allah, kalau masih ada pintu taubat untukku..." doanya selalu terputus oleh isak tangis.

***

"Masya Allah, anak Ustadz Mahmud? Yang benar saja!" Begitu bisik-bisik yang terdengar ketika berita penangkapannya tersebar. Ayahnya yang selama ini menjadi imam besar di masjid jami' kota itu sempat tak kuasa menahan malu. Tapi setiap malam, Hamid tahu, ayahnya tak pernah absen mendoakannya.

Lima tahun di penjara mengajarkan banyak hal. Di sanalah ia kembali menemukan Al-Quran, kembali mendengar ayat-ayat yang dulu dihafalnya mengalun dalam hati. Setiap malam ia bermunajat, memohon ampun dan petunjuk.

Kini, setelah bebas, Hamid memilih membuka usaha kecil-kecilan. Gerobak gorengan di sudut gang dekat masjid menjadi pilihan. Setidaknya ia masih bisa mendengar azan lima waktu, meski belum berani masuk ke dalam masjid. Tatapan sinis jamaah terlalu menusuk untuk dihadapi.

"Sudah tutup, Bang?" tanya Pak RT yang kebetulan lewat.

"Iya, Pak. Mau shalat ashar dulu," jawab Hamid sopan.

"Di mushola belakang saja ya, jangan di masjid. Nanti jamaah resah," ujar Pak RT dengan nada yang dibuat sehalus mungkin, tapi tetap saja menyayat hati.

Hamid mengangguk paham. Ia sudah terbiasa. Sajadah lusuh pemberian ibunya selalu ia bawa dalam tas, siap digelar di sudut gang atau mushola kecil yang sepi. Yang penting masih bisa sujud kepada Allah, pikirnya.

Ramadhan datang membawa sejuta kenangan. Hamid ingat bagaimana dulu ia mengajar anak-anak mengaji, bagaimana suaranya yang merdu melantunkan ayat-ayat suci membuat jamaah terpesona. Kini, ia hanya bisa mendengarkan samar-samar suara tadarus dari masjid tempatnya berjualan.

Malam itu, seperti biasa Hamid menggelar sajadah di sudut gang untuk shalat tarawih. Namun tiba-tiba terdengar keributan dari arah masjid.

"Imam kita mendadak sakit! Bagaimana ini?"

"Ustadz pengganti sedang ke luar kota!"

"Siapa yang bisa menggantikan?"

Hamid menunduk, tangannya gemetar. Hafalan Al-Quran masih melekat dalam ingatannya, tapi haruskah ia memberanikan diri?

"Maaf," Hamid memberanikan diri menghampiri kerumunan, "kalau diizinkan, saya bisa membantu."

Semua mata tertuju padanya. Ada yang menatap ragu, ada yang berbisik-bisik, tapi Pak Ustadz tua yang menjadi takmir masjid justru tersenyum.

"Kamu anak Ustadz Mahmud kan? Yang dulu sering imam di sini?"

Hamid mengangguk pelan.

"Alhamdulillah. Mari, masjid ini rumah Allah, terbuka untuk semua hambaNya."

Dengan langkah gemetar, Hamid maju ke mihrab. Ketika suaranya mengalunkan takbiratul ihram, beberapa jamaah terkesiap. Suara merdu yang dulu sering mereka rindukan kini hadir kembali. Ayat-ayat Al-Quran mengalir lancar dari lisannya, membuat suasana khusyuk luar biasa.

Usai shalat, beberapa orang mencoba mendekati Hamid dengan tatapan penuh selidik. Suara langkah sepatu boots yang berat memecah keheningan ketika dua orang polisi berseragam memasuki masjid dengan tergesa-gesa, keringat mengucur di dahi mereka.

"Kami mendapat laporan ada mantan narapidana mencurigakan di sekitar masjid," ujar salah satu polisi sambil mengatur nafas. "Katanya dia membawa tas besar yang mencurigakan."

"Tunggu sebentar!" Pak Ustadz tua yang rambutnya sudah memutih berdiri dengan tegap, suaranya lantang namun tenang. "Hamid baru saja mengimami kami. Bacaan Al-Qurannya begitu indah sampai membuat beberapa jamaah menangis khusyuk. Dia sudah berubah."

"Maaf Pak Ustadz, tapi prosedur tetap harus kami jalankan. Ada yang melapor dengan sangat meyakinkan..."

"Saya yang melapor!" seorang pria setengah baya bermuka masam menerobos kerumunan. Telunjuknya menuding tepat ke wajah Hamid. "Tidak pantas mantan pembunuh jadi imam! Ini penghinaan! Merusak kehormatan masjid kita yang suci!"

Bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa jamaah mundur menjauh dari Hamid.

"Astaghfirullah," Pak Ustadz menggeleng sedih. Dia melangkah pelan mendekati si pelapor. "Wahai saudaraku, justru yang merusak kehormatan masjid adalah sikap kita yang tidak memberi kesempatan saudara kita untuk bertaubat. Bukankah Allah Maha Pengampun? Lihatlah tas besar yang kau curigai itu..."

Pak Ustadz membuka tas Hamid. Isinya? Mushaf Al-Quran dan buku-buku agama.

"Selama di penjara, Hamid tidak hanya menghafal Al-Quran, tapi juga belajar untuk mengajarkannya. Setiap hari dia membawa ini semua untuk mengajar anak-anak di musholla dekat pasar."

Suasana hening. Hamid menunduk dalam-dalam, air matanya menetes diam-diam membasahi sajadah.

"Mulai besok," Pak Ustadz menepuk pundak Hamid dengan hangat, suaranya bergetar penuh haru, "kamu tidak hanya mengajar mengaji di mushola pasar. Anak-anak masjid kita juga butuh guru yang hafal Al-Quran. Yang lebih penting lagi, mereka butuh teladan nyata tentang taubat dan pengampunan Allah."

Polisi akhirnya tersenyum lega dan pamit undur diri. Satu per satu jamaah mendekati Hamid, meminta maaf atas prasangka buruk mereka selama ini. Si pelapor? Dia yang pertama menjabat tangan Hamid dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan saya, Ustadz Hamid," ucapnya tulus. 

Di sudut gang itu, sajadah lusuh Hamid masih tergelar. Saksi bisu perjalanan seorang hamba kembali ke jalan Tuhannya. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hamid bisa sujud syukur di dalam masjid, ditemani wangi sajadah dan lembutnya AC yang menyapu tubuh.

"Ya Allah, terima kasih telah memberiku kesempatan kedua," bisiknya dalam sujud.

Keesokan harinya, gerobak gorengan Hamid tetap mangkal di sudut gang. Tapi kini, setiap waktu shalat, ia tak perlu lagi menggelar sajadah di pinggir jalan. Pintu masjid telah terbuka untuknya, seperti pintu rahmat Allah yang tak pernah tertutup bagi siapapun yang ingin kembali.

Tato di lengannya memang tak bisa hilang, tapi hati yang telah dibasuh dengan air mata taubat itu kini terasa lebih bersih dari sebelumnya. Karena terkadang, justru dari tempat tergelap, cahaya hidayah bisa memancar paling terang.

"Innama a'malu binniat - Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya," begitu Hamid selalu mengingatkan dirinya sendiri. Dan niatnya kini hanya satu: menebus masa lalu

 dengan kebaikan, setetes demi setetes, seperti tinta yang perlahan mengukir kisah baru dalam lembar kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun