Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah di Sudut Gang

23 Desember 2024   07:32 Diperbarui: 23 Desember 2024   07:32 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat SMP, Hamid mulai merasa tercekik. Setiap kali ia tertawa terlalu keras, ada saja yang mengingatkan bahwa anak ustadz harus lebih santun. Ketika nilai matematikanya turun, orang-orang menggeleng heran - bagaimana mungkin anak yang hafal Al-Quran bisa lemah dalam berhitung? Bahkan ketika ia ingin bergabung dengan klub sepak bola sekolah, ayahnya dengan halus menyarankan untuk fokus pada hafalan dan kajian.

"Belajar agama lebih penting, Nak. Masa depanmu ada di situ."

Tekanan itu memuncak di kelas dua SMA. Hamid bertemu Dani, siswa pindahan yang tidak tahu latar belakang keluarganya. Untuk pertama kalinya, Hamid merasakan kebebasan berteman tanpa label "anak ustadz". 

Dani membawanya ke lingkaran pertemanan baru. Awalnya hanya nongkrong biasa di warung kopi sampai larut. Lama-kelamaan, mereka mulai mengajaknya ke tempat-tempat yang lebih "berani". Rokok pertama yang ia hisap terasa menyakitkan, tapi sensasi "memberontak" itu membuatnya ketagihan.

"Santai saja, Mid. Hidup itu perlu keseimbangan," kata Dani suatu malam, sambil menyodorkan sebatang rokok yang ternyata bukan rokok biasa.

Ganja menjadi pintu masuk Hamid ke dunia yang lebih gelap. Sensasi melayang membuatnya lupa akan semua beban dan tuntutan. Hafalan Al-Quran yang dulu ia banggakan perlahan memudar, tergantikan oleh hafalan harga berbagai jenis narkoba.

"Lo tahu Mid? Barang yang kemarin itu masih kurang greget. Gue punya yang lebih mantap," Dani mengeluarkan serbuk putih dari sakunya.

Sabu-sabu menjadi pelarian terakhir sebelum akhirnya polisi menangkap mereka dalam sebuah razia di rumah kos. Saat borgol mengekang tangannya, yang Hamid ingat hanya wajah ayahnya yang membeku di depan pintu masjid, mendengar kabar penangkapan putra kebanggaannya.

Lima tahun penjara adalah harga yang harus ia bayar. Tapi mungkin hukuman terberat adalah saat mendengar ibunya jatuh sakit karena shock, dan ayahnya yang sempat berhenti menjadi imam karena malu. Setiap malam di selnya, Hamid menangis mengingat ayat-ayat yang dulu ia hafal - ayat-ayat yang kini seolah mengejek kebodohannya memilih jalan yang salah.

"Ya Allah, kalau masih ada pintu taubat untukku..." doanya selalu terputus oleh isak tangis.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun