"Tidak ada yang namanya mantan penjahat, yang ada hanya penjahat yang sedang bersembunyi." Kalimat itu terngiang di telinga Hamid, seperti mantra yang terus diulang masyarakat. Padahal, bukankah Allah berfirman bahwa pintu taubat selalu terbuka? Bahwa setiap dosa bisa diampuni kecuali syirik? Tapi mengapa manusia lebih suka menutup pintu maaf mereka?
Hamid menghela nafas panjang sambil membereskan gerobak gorengannya. Matahari sudah condong ke barat, pertanda waktu ashar akan segera tiba. Dari sudut gang tempatnya berjualan, azan berkumandang memanggil. Suara yang dulu sangat dirindukannya ketika di balik jeruji besi.
"Bang Hamid, pisangnya masih ada?" seorang anak kecil menghampiri gerobaknya.
"Udah habis dek, besok ya," jawab Hamid sambil tersenyum. Lengan bajunya yang panjang sedikit tersingkap, menampakkan ujung tato yang mencuat. Segera ditariknya lengan baju itu, menutupi jejak masa lalu yang tak bisa dihapus.
***
Dulu, tidak ada yang menyangka putra Ustadz Mahmud yang hafiz Quran bisa terjerumus begitu dalam. Hamid kecil selalu menjadi kebanggaan. Di usia sembilan tahun, ia sudah hafal lima juz. Setiap Ramadhan, suaranya yang merdu menggetarkan hati jamaah ketika memimpin tarawih. Wajahnya yang berseri, persis seperti ayahnya di masa muda, membuat orang-orang tak henti memuji.
"Mashaa Allah, Ustadz. Putra bapak ini pasti akan jadi ulama besar."
"Lihat cara dia membaca Al-Quran, persis seperti Syekh Al-Ghamidi!"
"Alhamdulillah, ada penerus Ustadz Mahmud."
Pujian demi pujian itu perlahan berubah menjadi beban. Di sekolah, teman-temannya mulai menjaga jarak. "Jangan ajak Hamid, nanti dilaporkan ke ayahnya," begitu mereka berbisik. Di rumah, ibunya selalu mengingatkan untuk menjaga sikap. "Kamu anak ustadz, Nak. Orang-orang selalu memperhatikan."Â