"Ya Allah, terima kasih telah memberiku kesempatan kedua," bisiknya dalam sujud.
Keesokan harinya, gerobak gorengan Hamid tetap mangkal di sudut gang. Tapi kini, setiap waktu shalat, ia tak perlu lagi menggelar sajadah di pinggir jalan. Pintu masjid telah terbuka untuknya, seperti pintu rahmat Allah yang tak pernah tertutup bagi siapapun yang ingin kembali.
Tato di lengannya memang tak bisa hilang, tapi hati yang telah dibasuh dengan air mata taubat itu kini terasa lebih bersih dari sebelumnya. Karena terkadang, justru dari tempat tergelap, cahaya hidayah bisa memancar paling terang.
"Innama a'malu binniat - Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya," begitu Hamid selalu mengingatkan dirinya sendiri. Dan niatnya kini hanya satu: menebus masa lalu
 dengan kebaikan, setetes demi setetes, seperti tinta yang perlahan mengukir kisah baru dalam lembar kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H