"Masya Allah, anak Ustadz Mahmud? Yang benar saja!" Begitu bisik-bisik yang terdengar ketika berita penangkapannya tersebar. Ayahnya yang selama ini menjadi imam besar di masjid jami' kota itu sempat tak kuasa menahan malu. Tapi setiap malam, Hamid tahu, ayahnya tak pernah absen mendoakannya.
Lima tahun di penjara mengajarkan banyak hal. Di sanalah ia kembali menemukan Al-Quran, kembali mendengar ayat-ayat yang dulu dihafalnya mengalun dalam hati. Setiap malam ia bermunajat, memohon ampun dan petunjuk.
Kini, setelah bebas, Hamid memilih membuka usaha kecil-kecilan. Gerobak gorengan di sudut gang dekat masjid menjadi pilihan. Setidaknya ia masih bisa mendengar azan lima waktu, meski belum berani masuk ke dalam masjid. Tatapan sinis jamaah terlalu menusuk untuk dihadapi.
"Sudah tutup, Bang?" tanya Pak RT yang kebetulan lewat.
"Iya, Pak. Mau shalat ashar dulu," jawab Hamid sopan.
"Di mushola belakang saja ya, jangan di masjid. Nanti jamaah resah," ujar Pak RT dengan nada yang dibuat sehalus mungkin, tapi tetap saja menyayat hati.
Hamid mengangguk paham. Ia sudah terbiasa. Sajadah lusuh pemberian ibunya selalu ia bawa dalam tas, siap digelar di sudut gang atau mushola kecil yang sepi. Yang penting masih bisa sujud kepada Allah, pikirnya.
Ramadhan datang membawa sejuta kenangan. Hamid ingat bagaimana dulu ia mengajar anak-anak mengaji, bagaimana suaranya yang merdu melantunkan ayat-ayat suci membuat jamaah terpesona. Kini, ia hanya bisa mendengarkan samar-samar suara tadarus dari masjid tempatnya berjualan.
Malam itu, seperti biasa Hamid menggelar sajadah di sudut gang untuk shalat tarawih. Namun tiba-tiba terdengar keributan dari arah masjid.
"Imam kita mendadak sakit! Bagaimana ini?"
"Ustadz pengganti sedang ke luar kota!"